Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenghis Khan, Legenda Sang Penakluk dari Mongolia
Penulis: John Man
Penerbit: Alvabet, cetakan 1, November 2008
Tebal: 453 halaman
Seekor kuda tangguh dan sebatang busur panah, di tangan bangsa Mongol, menjadi senjata ampuh untuk meraih kejayaan. Perpaduan tanduk hewan, kayu, dan otot binatang ini senantiasa menemani orang Mongol mengarungi lautan rerumputan yang membentang beratus kilometer. Ke tempat-tempat yang begitu menggigit di saat musim dingin inilah John Man mengajak kita bertamasya: historis dan faktual.
Bagai pembukaan sebuah film epik besar, Man memulai tamasya ini dengan bertutur perihal lanskap tanah bangsa Mongol dan misteri yang dikisahkan kitab Sejarah Rahasia Bangsa Mongol—yang menjadi titik berangkat Man dalam menyusun buku ini. Sebuah pembukaan yang mengesankan tentang resep masakan kaserol marmut dan shamanisme—kepercayaan kuno terhadap kesucian berbagai peristiwa dan benda alam.
Sejak halaman awal, Man mengerjakan tugas amat sulit dan kemudian menghadiahkan cerita yang memikat kepada kita. Ia mengunjungi Merv kuno, kota kaum muslim masa lampau yang ditaklukkan Jenghis Khan. Ia menyusuri Gurun Gobi yang teramat luas, yang dilintasi pasukan Jenghis dalam ekspedisi penaklukannya. Ia mendaki Gunung Jantung Hitam dan mendatangi Danau Biru, tempat Temujin mungkin dinobatkan menjadi Jenghis Khan.
Perjalanan menapaki jejak-jejak Jenghis Khan membuat kita seakan menyaksikan kehadiran kembali ”sang penguasa pilihan langit” itu dari masanya delapan abad yang silam. Sepertinya tidak ada yang berubah. Dan, sesungguhnyalah, sejauh penuturan Man, Jenghis Khan memang masih hidup di hati bangsa Mongol hingga kini. ”Jenghis Khan adalah roh bagi kita semua,” kata Sharaldai, seorang teolog yang tinggal di Mongolia Dalam.
Di tanah airnya, nama Jenghis terdengar keras dan jelas. Kekejamannya terlupakan dalam ingar-bingar pemujaan. Di Mongolia, setelah 70 tahun penindasan yang diilhami Soviet, orang bebas mengarak gambarnya, merayakan kelahirannya, dan menamai segala macam hal dengan memakai namanya: kelompok musik pop, minuman bir, tim olahraga, ataupun nama lembaga, dan ratusan bayi—suatu ketika Mongolia akan dipimpin seorang Jenghis yang lain. Bagi bangsa Mongol, Jenghis adalah lelaki setengah dewa.
Begitu membujuk ketika Man mengisahkan bagaimana seorang pelarian muda—yang beberapa kali bercumbu dengan maut—di suatu masa yang anarkis tumbuh menjadi penguasa imperial. Jenghis menghabiskan 10 tahun untuk menyatukan bangsa Mongol, menghapus afiliasi kesukuan, dan menerapkan hukum yang tegas berbekal kuda serta busur, keyakinan shamanistik-nya, dan kesetiaan pasukannya.
Setelah suku-suku tertaklukkan, tibalah saatnya kematian menjemput kaum muslim yang menghuni Urgench, Merv, Samarkand, Bukhara, dan lainnya. Jumlah muslim di Merv yang dibantai diperkirakan mencapai 1,3 juta orang, dan lebih dari 1 juta orang di Urgench. Mengingat sikap bangsa Mongol terhadap non-Mongol, kepatuhan, dan keterampilan membunuh mereka, tulis Man, secara teknis mereka mungkin membunuh tiga juta orang, atau lebih, selama rentang dua tahun penyerangan terhadap muslim. Tak ada alasan ras, ideologis, ambisi yang berlatar agama, kata Man. Satu-satunya pertimbangan ialah bahwa penaklukan itu merupakan takdir yang dibebankan Langit kepada Jenghis, dengan suatu alasan yang tidak jelas.
Tahun 1224, Jenghis akhirnya bebas untuk memalingkan perhatiannya pada Xi Xia, gerbang menuju Asia Dalam, kunci bagi perluasan lebih lanjut ke Cina. Tapi ini tidak mudah. Perang yang terus-menerus akhirnya menguras kesehatan Jenghis. Demam tinggi membuatnya mengungsi, hingga maut menjemputnya, tahun 1227. Berita kematian dan penyebabnya dirahasiakan, seperti yang ia inginkan: agar tak memompakan semangat baru ke dalam jiwa musuhnya dan memadamkan dengan cepat mimpi penaklukannya.
Jejak-jejak genetis pasukan Jenghis pun memperkuat cerita kehebatan lelaki ini. Sebuah artikel luar biasa muncul, Maret 2003, dalam American Journal of Human Genetics. Dalam studi DNA terhadap sekitar 2.000 orang di penjuru Eurasia, para ahli genetika menemukan pola yang sama pada beberapa lusin pria yang mereka teliti—sebuah pola yang terdapat pada 16 kelompok populasi yang tersebar dari Laut Kaspia hingga Samudra Pasifik. Mereka sampai pada kesimpulan mengejutkan: mungkin seorang lelaki, yang hidup di abad ke-12, menebarkan material genetikanya di separuh Eurasia. Dan, lelaki itu adalah Jenghis Khan.
Dian R. Basuki, pencinta buku, tinggal di Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo