Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Munaip tetap anak jalanan

Pembalap sepeda, menjadi pelatih dan pengurus issi jawa barat. juara tour de jawa i (1958) tahun 1959 mewakili indonesia ke balap sepeda pemuda se-dunia dari asuhannya muncul pembalap nasional. (tk)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Munaip Saleh, Tour de Jawa III yang berakhir pekan lalu, tak hanya sekadar lomba sepeda yang meriah. Peristiwa itu sebagian merupakan kenangan manis bagi juara Tour de Jawa I (1958) itu. Tapi sebagian lagi mungkin harus dilupakan begitu saja. Sebab gelar juara ketika itu diraihnya setelah bersusah-payah mencari pinjaman sepeda untuk menyertai perlombaan itu. Sekarang, Munaip Saleh, 47 tahun, memang bukan salah satu peserta lomba sepeda keliling Jawa 1983. Tapi sebagai pelatih dan pengurus ISSI Jawa Barat, ia menerjunkan satu regu pembalap dalam lomba itu. Walaupun anak-anak asuhannya tak begitu menonjol dalam Tour de Jawa 1983 ini, yang penting bagi ayah tiga anak yang sudah dewasa itu ia tetap mempunyai andil dalam dunia balap sepeda. "Karena saya sudah telanjur cinta pada balap sepeda," tuturnya. Lebih dari itu, gelar juara pada Tour de Jawa I tetap menjadi kebanggaan laki-laki kelahiran Bandung itu. "Sebab, waktu itu jalan yang ditempuh tidak semulus sekarang," ungkapnya. Ditambah lagi, katanya, "jarak yang ditempuh 1.400 km -- dan semua serba sulit." Tour de Jawa I yang dimulai dari Kota Bandung, dibagi dalam 11 etape. Pembalap Ja-Bar merajai jalanan. Munaip Saleh keluar sebagai juara umum setelah memenangkan tujuh etape. Hadiahnya, sebuah piala dari Presiden Soekarno, sebuah sepeda balap dan radio transistor. Hanya itu. Jumlah peserta Tour de Jawa I sekitar 75 orang. Karena situasi keamanan masih rawan, pembalap dikawal dengan jip penuh tentara bersenjata lengkap, di depan maupun di belakangan rombongan pembalap. Bahkan di daerah yang dianggap lebih gawat ketika itu, seperti Majenang dan Leles, jalan dijaga ketat, sampai ke bukit-bukit sekitar jalan yang dilalui. Sebelum itu, 1954, Munaip telah menjuarai balap sepeda Jawa Barat menempuh jarak Bandung-Sumedang p.p. sejauh 90 km. Kemudian namanya melambung lagi setelah menjuarai Balap Sepeda Pekan Pemuda di Surabaya, 1957. Munaip terpilih mewakili Indonesia ke balap sepeda Pekan Pemuda se-Dunia, Agustus 1959 di Austria. "Saya merupakan pembalap Indonesia pertama yang dikirim ke luar negeri dan satu-satunya wakil Indonesia dalam lomba itu," katanya. Perjalanan ke Austria itu pun penuh kenangan. Jauh berbeda dengan atlet zaman sekarang. Dari Jakarta, Munaip menumpang kapal laut menuju Kanton, terus ke Beijing. Dengan kereta api trans-Siberia, perjalanan dilanjutkan ke Austria. Munaip lupa, berapa lama perjalanan itu. Yang jelas, begitu sampai di arena lomba, ia sudah merasa amat lelah. "Saya tak memperoleh medali apa-apa, tetapi pengalaman itu sangat berharga," katanya. Lawatan ke Austria itu juga membawa akibat lain. Munaip tak bisa mempertahankan gelarnya di turnamen Tour de Jawa II, yang diadakan bersamaan waktu dengan kepergiannya ke luar negeri itu. "Tetapi saya tak menyesal ketika itu, karena cita-cita saya mencoba kemampuan dengan pembalap asing tercapai," kata Munaip. Lagi pula, "ketika itu saya berpikir, saya masih bisa merebut Tour de Jawa III dan seterusnya." Niat merebut juara itu tak sampai. Karena sejak 1960 turnamen balap sepeda terhormat di Indonesia ini yang mestinya diadakan tiap tahun macet dan baru berlangsung pekan lalu. Munaip Saleh sudah terlalu tua untuk bertanding. Munaip memperoleh sepeda balap bikinan luar negeri, ketika ia pulang dari Olympiade Roma, 1960, bersama pembalap Theo Pelupessy, Hendrik Brook, Sanusi, dan Hamsin Rusli. Tim olimpiade ini sesungguhnya gagal. namun ISSI (Ikatan Sport Sepeda Indonesia) menghadiahi mereka sepeda balap merk Lagnano buatan Italia Sejak itu anak sulung dari 11 bersaudara keluarga Talib Saleh ini pun ke mana-mana membanggakan sepeda luar negerinya. Munaip mengenal sepeda sejak berusia 9 tahun. Ayahnya ketika itu bekerja sebagai montir di pangkalan udara Tasikmalaya. Ibu dan adik-adiknya tinggal di Banjar, sekitar 45 km dari Tasikmalaya. Jarak itu hampir tiap minggu ditempuh Munaip dengan sepeda merk Herkules, jika ia ingin menemui ayahnya. Kebiasaan ini tak ia lepaskan, meski keluarga itu berkumpul kembali dan tinggal di Bandung, sejak 1949. Bandung waktu itu sudah menyelenggarakan balap sepeda. Tetapi pesertanya kebanyakan Indo-Belanda. Pemuda pribumi hanya satu dua saja. Balap sepeda belum begitu populer. Ketika Sanatorium Salsana, Bandung, membentuk klub balap sepeda "Super Jet", Munaip mendaftarkan diri dengan satu tekad: ingin mengalahkan Sinyo Belanda di jalanan. Sepeda balap masih langka. Munaip tak kekurangan akal. Sepeda Herkules kesayangannya diubah menjadi sepeda balap. "Saya merancang bentuk stang dan kerangkanya supaya enak dikendarai sesuai dengan tubuh saya yang tak begitu jangkung," kenang Munaip. Untunglah, salah seorang kenalannya punya bengkel, dan Munaip numpang mengelas di sana. Dengan sepeda balap buatan sendiri itu, Munaip mulai merajai sirkuit balap sepeda di Bandung. Setiap ada perlombaan, selalu diikutinya. Namanya mulai dikenal di dunia balap sepeda Indonesia sejak 1954. Ia tak punya pelatih fisik. "Yang melatih cuma Pak Lasidu pimpinan Super Jet," kata Munaip sambil menyebutkan juga, ia banyak membaca buku teori mengenai balap sepeda. Waktu itu memang pelatih fisik masih langka. Bahkan sepeda balap pun ketika itu sulit dicari karena harganya cukup mahal. Tak heran, untuk mengikuti Tour de Jawa I, Munaip harus meminjam sepeda balap pada seorang temannya. Walau sarana latihan serba kurang, "nyaris tak ada waktu lowong buat berlatih." Latihan jarak pendek dipilihnya rute Bandung-Cicalengka pulang pergi dengan jarak 60 km, ditempuh rata-rata satu setengah jam. Untuk jarak jauh dilewatinya jalur Bandung-Cianjur atau Bandung-Purwakarta, pulang pergi, dengan jarak 130 km. Selama latihan ia pantang mengaso di jalanan. Begitu ketatnya berlatih, sampai-sampai ia mengatur acara berkunjung ke rumah pacarnya, Pipih Napisah. Wanita ini yang kini menjadi istrinya, agaknya maklum. "Saya tak bisa berbuat lain kecuali mendorongnya untuk mencapai sukses," ujar Ny. Pipih. Sayang, sukses Munaip Saleh di cabang balap sepeda, tidak diikuti sukses materi. Jebolan SMA Muhammadiyah, Bandung, tahun 1959 ini mengundurkan diri dari arena balap tahun 1961. Ia membuka bengkel sepeda motor sebagai gantungan hidup keluarganya. Olah raga hanya membuat ia bangga, sementara masa depannya ia nilai sangat suram. Dari ke-3 anaknya, si sulung, Dino Mundiarno, rupanya mewarisi bakat sang ayah sebagai pembalap. Munaip pun membimbingnya, sampai Dino sempat menjadi juara yunior Jawa Barat tahun 1979. Harapan mengantarkan Dino ke prestasi lebih tinggi buyar, karena pada tahun itu pula Dino tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Sejak kehilangan putranya ini, Munaip tak lagi mengharapkan anak-anaknya yang lain terjun ke olah raga itu. "Balap sepeda merupakan olah raga keras, membutuhkan ketahanan fisik yang tinggi," katanya. Sampai tahun 1970, nama Munaip Saleh lenyap dari dunia balap sepeda. "Saya bangkit lagi ketika mendengar balap sepeda di Bandung mulai merosot, padahal pembalap tangguh dulu semua dari Bandung," ujar Munaip. Akhirnya ia tampil sebagai pelatih. Ia menerima tawaran pimpinan klub Super Jet sebagai pembina, setelah klub itu berubah nama menjadi Sangkuriang -- sampai kini. Bengkel motornya dilanjutkan salah seorang famili Munaip. Istrinya membantu menghidupi keluarga dengan menjadi guru di sebuah SMA. "Sampai tua saya akan tetap di dunia balap sepeda, walau sampai sekarang masih menumpang di rumah mertua," katanya dengan nada rendah. Prestasi Munaip sebagai pembina tampaknya lancar juga. Ia bahkan terpilih sebagai Ketua Pengurus Daerah ISSI Jawa Barat anggota komisi teknik KONI Jawa Barat dan dalam Tour de Jawa III ini, ia penanggung jawab dan koordinator tim. Dari tangan dingin Munaip muncul pembalap nasional seperti Enceng Durahman, Mohamad Yusuf, Joni Harun, Yusuf Kibar, Muhidin Sanam, dan Munari Saleh. Yang terakhir ini adik bungsu Munaip. Bukan hanya itu. Munaip sempat menjadi pelatih tim balap sepeda nasional untuk SEA Games, baik di Manila maupun di Singapura, pelatih di Asian Games dan kejuaraan balap sepeda Asia. Apa komentarnya tentang pembalap sekarang ? "Prestasi yang mereka berikan belum seimbang dengan fasilitas yang mereka terima," jawabnya. Munaip menyebutkan, pembalap sekarang sebenarnya serba enak. Sarana latihan lengkap, ada pelatnas, ada uang saku. Bertanding ke luar Jawa saja naik pesawat terbang. "Waktu saya ke Austria, tak ada uang saku," ujarnya membandingkan. Tapi jadwal latihan pembalap sekarang dinilainya kurang ketat. "Tak ada program latihan yang kontinyu secara nasional," ujarnya dengan nada agak kesal. Para atlet hanya berlatih jika akan menghadapi perlombaan. Padahal, menurut dia, latihan yang kontinyu berguna untuk menjaga stamina, sehingga setiap atlet selalu siap tempur kapan saja. Ada satu lagi yang menarik perhatian Munaip Saleh. "Pembalap sekarang tak mau pakai helm meskipun telah disediakan. Dulu, helmnya yang tidak ada," katanya. Barangkali saja, pembalap sekarang tak khawatir terjerumus. Maklum jalanan telah lebih mulus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus