BAGI Munaip Saleh, Tour de Jawa III yang berakhir pekan lalu,
tak hanya sekadar lomba sepeda yang meriah. Peristiwa itu
sebagian merupakan kenangan manis bagi juara Tour de Jawa I
(1958) itu. Tapi sebagian lagi mungkin harus dilupakan begitu
saja. Sebab gelar juara ketika itu diraihnya setelah
bersusah-payah mencari pinjaman sepeda untuk menyertai
perlombaan itu.
Sekarang, Munaip Saleh, 47 tahun, memang bukan salah satu
peserta lomba sepeda keliling Jawa 1983. Tapi sebagai pelatih
dan pengurus ISSI Jawa Barat, ia menerjunkan satu regu pembalap
dalam lomba itu. Walaupun anak-anak asuhannya tak begitu
menonjol dalam Tour de Jawa 1983 ini, yang penting bagi ayah
tiga anak yang sudah dewasa itu ia tetap mempunyai andil dalam
dunia balap sepeda. "Karena saya sudah telanjur cinta pada balap
sepeda," tuturnya.
Lebih dari itu, gelar juara pada Tour de Jawa I tetap menjadi
kebanggaan laki-laki kelahiran Bandung itu. "Sebab, waktu itu
jalan yang ditempuh tidak semulus sekarang," ungkapnya. Ditambah
lagi, katanya, "jarak yang ditempuh 1.400 km -- dan semua serba
sulit."
Tour de Jawa I yang dimulai dari Kota Bandung, dibagi dalam 11
etape. Pembalap Ja-Bar merajai jalanan. Munaip Saleh keluar
sebagai juara umum setelah memenangkan tujuh etape. Hadiahnya,
sebuah piala dari Presiden Soekarno, sebuah sepeda balap dan
radio transistor. Hanya itu.
Jumlah peserta Tour de Jawa I sekitar 75 orang. Karena situasi
keamanan masih rawan, pembalap dikawal dengan jip penuh tentara
bersenjata lengkap, di depan maupun di belakangan rombongan
pembalap. Bahkan di daerah yang dianggap lebih gawat ketika itu,
seperti Majenang dan Leles, jalan dijaga ketat, sampai ke
bukit-bukit sekitar jalan yang dilalui.
Sebelum itu, 1954, Munaip telah menjuarai balap sepeda Jawa
Barat menempuh jarak Bandung-Sumedang p.p. sejauh 90 km.
Kemudian namanya melambung lagi setelah menjuarai Balap Sepeda
Pekan Pemuda di Surabaya, 1957.
Munaip terpilih mewakili Indonesia ke balap sepeda Pekan Pemuda
se-Dunia, Agustus 1959 di Austria. "Saya merupakan pembalap
Indonesia pertama yang dikirim ke luar negeri dan satu-satunya
wakil Indonesia dalam lomba itu," katanya.
Perjalanan ke Austria itu pun penuh kenangan. Jauh berbeda
dengan atlet zaman sekarang. Dari Jakarta, Munaip menumpang
kapal laut menuju Kanton, terus ke Beijing. Dengan kereta api
trans-Siberia, perjalanan dilanjutkan ke Austria. Munaip lupa,
berapa lama perjalanan itu. Yang jelas, begitu sampai di arena
lomba, ia sudah merasa amat lelah. "Saya tak memperoleh medali
apa-apa, tetapi pengalaman itu sangat berharga," katanya.
Lawatan ke Austria itu juga membawa akibat lain. Munaip tak bisa
mempertahankan gelarnya di turnamen Tour de Jawa II, yang
diadakan bersamaan waktu dengan kepergiannya ke luar negeri itu.
"Tetapi saya tak menyesal ketika itu, karena cita-cita saya
mencoba kemampuan dengan pembalap asing tercapai," kata Munaip.
Lagi pula, "ketika itu saya berpikir, saya masih bisa merebut
Tour de Jawa III dan seterusnya."
Niat merebut juara itu tak sampai. Karena sejak 1960 turnamen
balap sepeda terhormat di Indonesia ini yang mestinya diadakan
tiap tahun macet dan baru berlangsung pekan lalu. Munaip Saleh
sudah terlalu tua untuk bertanding.
Munaip memperoleh sepeda balap bikinan luar negeri, ketika ia
pulang dari Olympiade Roma, 1960, bersama pembalap Theo
Pelupessy, Hendrik Brook, Sanusi, dan Hamsin Rusli. Tim
olimpiade ini sesungguhnya gagal. namun ISSI (Ikatan Sport
Sepeda Indonesia) menghadiahi mereka sepeda balap merk Lagnano
buatan Italia Sejak itu anak sulung dari 11 bersaudara keluarga
Talib Saleh ini pun ke mana-mana membanggakan sepeda luar
negerinya.
Munaip mengenal sepeda sejak berusia 9 tahun. Ayahnya ketika itu
bekerja sebagai montir di pangkalan udara Tasikmalaya. Ibu dan
adik-adiknya tinggal di Banjar, sekitar 45 km dari Tasikmalaya.
Jarak itu hampir tiap minggu ditempuh Munaip dengan sepeda merk
Herkules, jika ia ingin menemui ayahnya. Kebiasaan ini tak ia
lepaskan, meski keluarga itu berkumpul kembali dan tinggal di
Bandung, sejak 1949.
Bandung waktu itu sudah menyelenggarakan balap sepeda. Tetapi
pesertanya kebanyakan Indo-Belanda. Pemuda pribumi hanya satu
dua saja. Balap sepeda belum begitu populer.
Ketika Sanatorium Salsana, Bandung, membentuk klub balap sepeda
"Super Jet", Munaip mendaftarkan diri dengan satu tekad: ingin
mengalahkan Sinyo Belanda di jalanan. Sepeda balap masih langka.
Munaip tak kekurangan akal. Sepeda Herkules kesayangannya diubah
menjadi sepeda balap. "Saya merancang bentuk stang dan
kerangkanya supaya enak dikendarai sesuai dengan tubuh saya yang
tak begitu jangkung," kenang Munaip. Untunglah, salah seorang
kenalannya punya bengkel, dan Munaip numpang mengelas di sana.
Dengan sepeda balap buatan sendiri itu, Munaip mulai merajai
sirkuit balap sepeda di Bandung. Setiap ada perlombaan, selalu
diikutinya. Namanya mulai dikenal di dunia balap sepeda
Indonesia sejak 1954.
Ia tak punya pelatih fisik. "Yang melatih cuma Pak Lasidu
pimpinan Super Jet," kata Munaip sambil menyebutkan juga, ia
banyak membaca buku teori mengenai balap sepeda. Waktu itu
memang pelatih fisik masih langka. Bahkan sepeda balap pun
ketika itu sulit dicari karena harganya cukup mahal. Tak heran,
untuk mengikuti Tour de Jawa I, Munaip harus meminjam sepeda
balap pada seorang temannya.
Walau sarana latihan serba kurang, "nyaris tak ada waktu lowong
buat berlatih." Latihan jarak pendek dipilihnya rute
Bandung-Cicalengka pulang pergi dengan jarak 60 km, ditempuh
rata-rata satu setengah jam. Untuk jarak jauh dilewatinya jalur
Bandung-Cianjur atau Bandung-Purwakarta, pulang pergi, dengan
jarak 130 km. Selama latihan ia pantang mengaso di jalanan.
Begitu ketatnya berlatih, sampai-sampai ia mengatur acara
berkunjung ke rumah pacarnya, Pipih Napisah. Wanita ini yang
kini menjadi istrinya, agaknya maklum. "Saya tak bisa berbuat
lain kecuali mendorongnya untuk mencapai sukses," ujar Ny.
Pipih.
Sayang, sukses Munaip Saleh di cabang balap sepeda, tidak
diikuti sukses materi. Jebolan SMA Muhammadiyah, Bandung, tahun
1959 ini mengundurkan diri dari arena balap tahun 1961. Ia
membuka bengkel sepeda motor sebagai gantungan hidup
keluarganya. Olah raga hanya membuat ia bangga, sementara masa
depannya ia nilai sangat suram.
Dari ke-3 anaknya, si sulung, Dino Mundiarno, rupanya mewarisi
bakat sang ayah sebagai pembalap. Munaip pun membimbingnya,
sampai Dino sempat menjadi juara yunior Jawa Barat tahun 1979.
Harapan mengantarkan Dino ke prestasi lebih tinggi buyar, karena
pada tahun itu pula Dino tewas dalam kecelakaan lalu lintas.
Sejak kehilangan putranya ini, Munaip tak lagi mengharapkan
anak-anaknya yang lain terjun ke olah raga itu. "Balap sepeda
merupakan olah raga keras, membutuhkan ketahanan fisik yang
tinggi," katanya.
Sampai tahun 1970, nama Munaip Saleh lenyap dari dunia balap
sepeda. "Saya bangkit lagi ketika mendengar balap sepeda di
Bandung mulai merosot, padahal pembalap tangguh dulu semua dari
Bandung," ujar Munaip. Akhirnya ia tampil sebagai pelatih. Ia
menerima tawaran pimpinan klub Super Jet sebagai pembina,
setelah klub itu berubah nama menjadi Sangkuriang -- sampai
kini.
Bengkel motornya dilanjutkan salah seorang famili Munaip.
Istrinya membantu menghidupi keluarga dengan menjadi guru di
sebuah SMA. "Sampai tua saya akan tetap di dunia balap sepeda,
walau sampai sekarang masih menumpang di rumah mertua," katanya
dengan nada rendah.
Prestasi Munaip sebagai pembina tampaknya lancar juga. Ia bahkan
terpilih sebagai Ketua Pengurus Daerah ISSI Jawa Barat anggota
komisi teknik KONI Jawa Barat dan dalam Tour de Jawa III ini, ia
penanggung jawab dan koordinator tim. Dari tangan dingin Munaip
muncul pembalap nasional seperti Enceng Durahman, Mohamad Yusuf,
Joni Harun, Yusuf Kibar, Muhidin Sanam, dan Munari Saleh. Yang
terakhir ini adik bungsu Munaip. Bukan hanya itu. Munaip sempat
menjadi pelatih tim balap sepeda nasional untuk SEA Games, baik
di Manila maupun di Singapura, pelatih di Asian Games dan
kejuaraan balap sepeda Asia.
Apa komentarnya tentang pembalap sekarang ? "Prestasi yang
mereka berikan belum seimbang dengan fasilitas yang mereka
terima," jawabnya. Munaip menyebutkan, pembalap sekarang
sebenarnya serba enak. Sarana latihan lengkap, ada pelatnas, ada
uang saku. Bertanding ke luar Jawa saja naik pesawat terbang.
"Waktu saya ke Austria, tak ada uang saku," ujarnya
membandingkan.
Tapi jadwal latihan pembalap sekarang dinilainya kurang ketat.
"Tak ada program latihan yang kontinyu secara nasional," ujarnya
dengan nada agak kesal. Para atlet hanya berlatih jika akan
menghadapi perlombaan. Padahal, menurut dia, latihan yang
kontinyu berguna untuk menjaga stamina, sehingga setiap atlet
selalu siap tempur kapan saja. Ada satu lagi yang menarik
perhatian Munaip Saleh. "Pembalap sekarang tak mau pakai helm
meskipun telah disediakan. Dulu, helmnya yang tidak ada,"
katanya. Barangkali saja, pembalap sekarang tak khawatir
terjerumus. Maklum jalanan telah lebih mulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini