APA kabar KKN, Kuliah Kerja Nyata? Meskipun sudah' memasuki
tahun keempat, program yang direncanakan bakal diintegrasikan ke
dalam kurikulum perguruan tinggi itu nampaknya baru bagus di
kertas saja. Sejak program yang mengharuskan setiap mahasiswa
masuk ke desa itu baru diikuti Universitas Gajahmada, Andalas
dan Hasanuddin (tahun kemarin sudah diikuti 29 perguruan tinggi
negeri) sampai kini, ketidakjelasan pada pelaksanaannya masih
tetap jadi masalah.
"Sampai sekarang di kalangan mahasiswa khususnya dan warga
perguruan tinggi umumnya, timbul pro dan kontra terhadap
eksistensi KKN, dan masih banyak yang sama sekali tidak mengenal
apa dan bagaimana KKN itu". Itu ditulis dalam Usulan Proyek:
Nasional DM Unpad - dalam rangka mengadakan Presentasi Kertas
Karya, Seminar dan Pameran Visuil tentang Pengabdian Masyarakat
dan KKN Mahasiswa, bulan Agustus mendatang. Dalam rencana yang
disampaikan kepada wartawan oleh ketua panitianya Didin S.
Damanhuri yang Sekjen DM Unpad 15 Mei kemarin, disebutkan juga
di kalangan warga perguruan tinggi belum terlihat adanya
motivasi yang cukup terhadap masalah dan peranan yang dapat
dilakukan melalui itu KKN. Juga terhadap program KKN yang telah
dilaksanakan, menurut DM Unpad dunia perguruan tinggi belum
sepenuhnya menunjang. Sedang bagi masyarakat desa, kegiatan KKN
mengundang kekhawatiran terhadap ekses yang mungkin terjadi:
diperkenalkannya tingkah laku kota yang dibawa
mahasiswa-mahasiswa itu diduga akan menimbulkan ketegangan
sosial atau lainnya.
Atas dasar itu DM Unpad berpendapat: sebelum-- dijadikan
kurikulum wajib bagi semua perguruan tinggi, lebih dahulu perlu
ditampung pendapat secara luas dari berbagai kalangan. Lewat
rencana untuk mengadakan Presentasi Kertas Karya itu, DM Unpad
mengharap KKN nanti dapat menemukan bentuk yang bisa diterima,
baik oleh mahasiswa, staf pengajar maupun masyarakat sendiri.
Selama ini, "KKN belum dihayati oleh staf pengajar perguruan
tinggi", ucap Prof. Dr. Achjani Atmakusuma, Direktur Pembinaan
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi.
Sementara Didin mengajukan persoalan lebih lanjut: "apakah para
mahasiswa sudah mempunyai rasa memiliki sehingga mereka merasa
berkepentingan dan ikut bertanggung jawab terhadap kelanjutan
dan pengembangan KKN?".
Dalam Rapat Kerja Tinjauan Tahunan KKN oleh pihak P&K tahun
lalu, kerepotan melaksanakan program itu sebenarnya sudah
digambarkan oleh rata-rata peserta. Utusan Universitas Lambung
Mangkurat (Unlam) misalnya sudah bilang bahwa di perguruan
tingginya ada tendensi menolak KKN. Program itu dianggap sebagai
program titipan. "Karena itu selama KKN tidak disatukan dalam
kurikulum, selama itu pula anggapan itu bakal ada", katanya.
Selama ini KKN dianggap, selain bakal menambah beban juga akan
memperpanjang masa kuliah. Dalam kondisi serupa itu "sulit
mencari peserta KKN di kalangan mahasiswa", ujar Ratusan
Universitas Sumatera Utara.
Tapi apakah dengan terintegrasinya dalam kurikulum, masalah KKN
akan selesai? Utusan Universitas Hasanuddin dalam pertemuan
tersebut, nampaknya lebih cenderung menerima adanya instruksi
tentang keterlibatan KKN dalam kegiatan intra kurikuler
perguruan tinggi. "Instruksi bukan berarti paksaan, tapi sekedar
dijadikan tantangan agar bisa dicarikan jalan keluar" katanya.
"Tanpa instsruksi, pelaksanaan KKN jadi masa bodoh". Namun Prof.
Achjani sebagai pejabat pemerintah, agaknya tidak ingin
menimbulkan kesan adanya paksaan. 'Mudah-mudahan tidak usah ada
instruksi" katanya, "tapi pokoknya program KKN merupakan
kegiatan intra kurikuler, bukan program titipan".
Program titipan atau bukan, bagi Achjani KKN tetap dianggap
program yang mampu mengundang manfaat. Beberapa alasan
disebutnya. Bahwa karir bagi mahasiswa tidak hanya terdapat di
kota adanya kerjasama inter-disipliner sehingga mahasiswa, kalau
kelak jadi pemimpin, bisa mengerti bahwa berbagai masalah bisa
dipecahkan bersama-sama juga mendewasakan-mahasiswa sehingga
bisa mengadakan pendekatan realistis terhadap permasalahan dan
feed-back ke universitas bisa diharap, sehingga kurikulum
pendidikan perguruan tinggi bisa dicocokkan dengan kebutuhan
masyarakat. "KKN ditujukan untuk pendidikan kepribadian dan
kepemimpinan", sambut Dr. WP. Napitupulu, Dirjen Pendidikan Luar
Sekolah dan Olahraga, ketika menjadi panelis pada diskusi
masalah program tersebut di ITB tahun lalu.
Baik Napitupulu maupun Achjani sependapat, bahwa dengan KKN
diharapkan para mahasiswa tidak hanya terus menjadi pembikin
problim (problem creator) tapi terlatih untuk menjadi pemecah
masalah (problem solver). Lewat program itu selain mahasiswa
dibiasakan bekerja dalam sebuah team yang terdiri dari pelbagai
keahlian, mereka--sambil mengurus kepentingannya dalam menuntut
ilmu pengetahuan --bisa berbuat sesuatu untuk pembangunan
pedesaan. Jadi, kapan KKN yang digambarkan itu bisa direalisir
di perguruan tinggi? Achjani memang tidak menjawab tegas. "Saya
tidak mau main target-targetan", katanya kalem setahun yang lalu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini