Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Narasi Kemiskinan Teater Lungid

Lakon Tuk yang ditulis pada 1989 itu masih relevan dengan kehidupan masa kini.

2 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
foto-foto: TEMPO/ahmad rafiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cerita tentang problematika hidup masyarakat di perkampungan padat tidak pernah lekang saat diangkat ke panggung teater. Kisah-kisah di dalamnya seolah-olah terus berulang dan tetap relevan sejak zaman baheula hingga di era modern ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambaran kesulitan ekonomi masyarakat pinggiran, percekcokan antar-tetangga, pergunjingan hingga perselingkungan menjadi warna yang menghiasinya. Teater Lungid membawanya ke atas panggung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, 29-30 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Drama teater berjudul Tuk itu bercerita tentang sekumpulan warga yang magersari alias menumpang di tanah milik mendiang Den Mas Darsoyang yang dermawan dan murah hati. Mereka tinggal di rumah-rumah kecil dan alakadarnya. Tentu saja, hanya orang-orang desa yang berharap bisa memperoleh rezeki kota yang sanggup bertahan tinggal di lingkungan seperti itu.

Persoalan rumah tangga Romli dengan istrinya menjadi pembuka pertunjukan berdurasi lebih dari dua jam itu. Sang istri menuduh Romli yang bekerja sebagai penjahit berbuat serong. Piring dan perkakas lain terbang berhamburan dan pecah di tengah panggung.

Konflik itu selesai begitu saja dengan pulangnya sang istri ke rumah orang tuanya. Adegan-adegan selanjutnya adalah pergunjingan warga magersari seperti Bismo, Mbah Kawit, Bibit, serta Soleman Lempit. Selalu saja, perselingkuhan menjadi bahan perbincangan menarik.

Janda Den Mas Darso, ibunya Menik, paling kerap menjadi bahan gunjingan karena kedekatannya dengan seorang pria yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi, tarif sewa yang dipungutnya kepada warga magersari makin memberatkan dari tahun ke tahun. Mereka mulai membandingkan kondisi mereka dengan saat Den Mas Darso masih hidup.

Menyusul naiknya harga sewa, para penghuni makin resah karena muncul desas-desus lain, lahan magersari tengah diincar pengembang properti. Orang-orang miskin itu makin pusing memikirkan nasib tempat tinggalnya yang bakal tergusur. Soleman Lempit seolah-olah menjadi musuh bersama karena dianggap sebagai calo yang menawarkan lahan itu ke calon pembeli.

Sumur yang berada di tengah permukiman menjadi pusat interaksi warga. Di sumur itu mereka bergunjing, bertengkar, hingga mencari solusi atas berbagai persoalan. Di sumur itu juga Soleman Lempit membuang sial dengan mengencingi sumber air atau tuk tersebut.

Teater Lungid yang telah berusia sebelas tahun itu membawakan lakon yang disutradari Djarot Darsono dengan gaya khasnya, realis. Menonton penampilan kelompok teater tradisional berbahasa Jawa itu seperti menyaksikan kehidupan nyata di depan mata. Seolah-olah tidak ada jarak antara penonton dan cerita dalam pertunjukkan itu.

Dialog para pemain sedemikian mengalir. Tidak jarang pisuhan atau umpatan muncul di sela-sela percakapan. Para pemain Teater Lungid memang rata-rata sudah lama malang melintang di dunia peran, terutama teater realis.

Bagi Lungid, naskah Tuk adalah lakon yang sangat dihormati, atau jika boleh dibilang keramat. Saat kelahiran Lungid pada 2008, mereka mementaskan lakon ini di Salihara. "Kami pentaskan lagi dengan konsep yang benar-benar sama tanpa ada perubahan," kata sutradara Djarot Darsono.

Naskah itu ditulis oleh mendiang Bambang Widoyo S.P., biasa dipanggil Kenthut, salah satu pentolan Teater Gapit. Lungid sendiri disebut-sebut sebagai reinkarnasi Teater Gapit yang mati suri sejak 1996. Lungid lahir dengan konsep yang sama, teater bahasa Jawa. Sebagian besar personelnya merupakan jebolan Gapit.

Menurut Djarot, dia bahkan menggunakan konsep yang sama persis dengan saat naskah itu dimainkan oleh Teater Gapit dan disutradai langsung oleh Kenthut. "Sebagai bentuk penghormatan kami kepada mendiang (Kenthut)."

Salah satu penggiat seni tradisional Solo, Udin U.P.W., mengatakan Tuk menjadi bukti keandalan Bambang ‘Kenthut’ Widoyo sebagai seorang penulis naskah. Lakon yang ditulis pada 1989 itu masih sangat relevan dengan kehidupan pada masa kini. "Masalah kemiskinan dan sejenisnya menjadi permasalahan yang selalu muncul di setiap masa," katanya.

Dialog dibangun melalui diksi-diksi sederhana,lugas, dan terkesan spontan. "Penonton seperti melihat kehidupannya sehari-hari."

AHMAD RAFIQ

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus