Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang tahu nama aslinya kecuali dirinya sendiri dan orang tuanya. Ia punya beberapa nama: Nayato Fio Nuala, Koya Pagayo, Chisca Doppert, dan Pingkan Utari. Saat menggarap film horor, seperti pada film Hantu Jeruk Purut, ia memakai nama Koya Pagayo. Ketika menggarap film televisi seperti Ketika Cinta Harus Berdusta dan Bukan Cinta Semusim, ia memajang nama Pingkan Utari.
Pada film Ekskul, ia memasang nama Nayato. Ketika diumumkan sebagai Sutradara Terbaik, sutradara kelahiran Aceh, 20 Februari 1968, itu tak muncul. Dia memang jarang mau muncul di muka publik. Bahkan dalam film Di Balik Layar tentang pembuatan film-filmnya, lazimnya sutradara yang paling banyak muncul untuk bicara soal filmnya, Nayato tak kelihatan.
”Nayato pengagum berat Wong Kar Wai. Di dalam ranselnya selalu penuh dengan DVD film-film Korea dan Hong Kong yang dikaguminya,” kata seorang produser yang mengenalnya cukup dekat.
Film Ekskul bertutur tentang Joshua (dimainkan oleh Ramon D. Tungka), seorang murid SMA, yang menyandera enam orang temannya. Di sekolah, Joshua obyek olok-olok dan permainan. Ia selalu tertekan, menderita. Orang tuanya pemarah, sang pacar mengkhianati cintanya.
Ketika amarahnya meledak, maka ia membeli sebuah pistol di pasar gelap. Penjual memberinya satu peluru. Diapun menyandera kawan-kawan yang menindasnya.
Secara teknis, sutradara yang belajar film dari sebuah universitas di Taiwan ini memiliki penguasaan yang bagus. Gambar-gambarnya bergerak cepat dengan teknik fast motion dan freeze frame seperti klip video. Permainan cahayanya, dengan lebih banyak memainkan warna-warna gelap, juga menonjol. Dia bahkan tak peduli apakah adegan itu siang atau malam, pencahayaan dibuat seminim mungkin. Tampak secara sadar ia mengadopsi gaya Wong Kar Wai, sutradara Hong Kong favoritnya.
Pada segi cerita, Ekskul juga kedodoran. Semua pemain tampil dengan wajah kerasnya—hampir semua orang pemarah ya? Juga, tak jelas hubungan ekskul yang berarti ekstrakurikuler dengan aksi Joshua. Yang paling fatal—dengan satu peluru, dia menembak sebanyak dua kali!
Film Ekskul, kata Nayato, semula diberi judul Outsider. Produserlah yang mengganti judul itu. ”Kami diberi tahu jangan pakai bahasa Inggris. Kami sudah tak bisa mikir lagi, kecapekan. Tak tahu kenapa produser milih nama Ekskul,” kata Nayato, akhir Mei lalu.
Film ini, bagi Nayato, bukan film terbaiknya dan tak layak dibawa ke festival. ”Film seperti ini banyak banget. Nggak ada sesuatu yang baru,” ucapnya merendah.
Yos Rizal Suriaji, Istiqomatul Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo