Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKONOMI tahun lalu jalan beringsut bak siput. Orang banyak berharap di Tahun ”Babi Api” 2007 ekonomi akan bergerak lebih kencang. Itu bukan harapan kosong.
Sejumlah indikator makro bisa bicara. Kurs rupiah relatif stabil. Laju inflasi terkendali. Cadangan devisa terus meningkat. Dan suku bunga patokan Bank Indonesia terus menurun. Indikatornya, BI rate bahkan mencapai satu digit, yaitu 9,75 persen.
Penurunan bunga BI seharusnya menarik turun suku bunga pinjaman bank. Dengan begitu, kalangan industri dan dunia usaha bisa mendapat kredit lebih murah. Sektor riil, yang selama ini mati suri, diharapkan kembali bergerak. Di sisi lain, perbankan bisa kembali menjalankan fungsi intermediasinya secara normal dengan memupuk keuntungan lewat penyaluran kredit. Semoga tak lagi terjadi hal buruk seperti tahun ini, ketika bank-bank dengan nyaman ”menidurkan” lebih dari Rp 200 triliun dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia.
Jika semua skenario itu berjalan, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditaksir bakal lebih tinggi dari 5,5 persen yang dicatat tahun ini. Bank Indonesia, Bank Dunia, dan sejumlah bank internasional memprediksi ekonomi akan tumbuh 6 persen. Prediksi pemerintah bahkan lebih tinggi: 6,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi setinggi itu memang harus diraih. Sebab, seperti dinyatakan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, untuk bisa mengatasi angka pengangguran dan kemiskinan yang kian membengkak, dalam tiga tahun ke depan pertumbuhan ekonomi harus mencapai 6 sampai 7 persen.
Tidak mudah mencapai angka setinggi itu. Setumpuk pekerjaan rumah harus segera dirampungkan. Salah satu yang terpenting adalah realisasi program pembangunan infrastruktur. Dana yang dibutuhkan memang tak sedikit. Dengan target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, per tahunnya diperlukan dana investasi Rp 200 triliun-300 triliun. Dari jumlah itu, hanya kurang dari seperlima yang bisa dikeluarkan dari kocek pemerintah. Sedangkan sisanya mesti dipikul oleh perbankan bersama investor lokal dan asing.
Artinya, upaya memikat investor swasta lokal dan asing perlu ditingkatkan. Salah satu caranya adalah merampungkan revisi sejumlah undang-undang yang kerap dianggap sebagai penghambat minat investasi, seperti Undang-Undang Tenaga Kerja, UU Perpajakan, dan UU Penanaman Modal. Pungutan liar yang sekarang jadi momok investor juga perlu segera dihalau. Praktek pungutan liar konon sempat hilang pada masa-masa awal pemerintahan SBY-JK, tapi kini kembali merajalela.
Ada ”penyakit” lain, pemerintah daerah lamban dalam menyusun rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, seharusnya RAPBD tahun berjalan sudah diajukan ke Departemen Dalam Negeri selambat-lambatnya Oktober tahun sebelumnya. Tapi, kenyataannya, pembahasan APBD rata-rata baru dimulai awal tahun dan baru disahkan pada Februari-April. Padahal, setelah itu masih ada penyusunan daftar anggaran satuan kerja, baru kemudian tender proyek yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Praktis lebih dari setengah tahun dana pembangunan daerah menganggur. Inilah jawaban mengapa laju pertumbuhan ekonomi nasional tersendat.
Sebagai solusi, ada baiknya dipikirkan reward and punishment. Bagi pemda yang taat aturan, bisa diberikan insentif berupa alokasi anggaran yang lebih besar pada tahun berikutnya. Sedangkan bagi daerah yang lelet, bisa dikenakan penalti. Dengan begitu, ekonomi tahun baru ini diharapkan tak jalan beringsut lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo