Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesan pendek mampir di ponsel Harry Dagoe Suharyadi. Sutradara film Pachinko ini adalah salah satu dari sembilan anggota Komite Seleksi Film Bioskop Festival Film Indonesia 2006. Isi pesan: ”Nanti bakal ada kejutan yang sungguh tidak terduga.”
Harry penasaran. Pengumuman FFI baru dua minggu lagi, tapi hasil penjurian ”yang tak terduga” itu sudah beredar melalui pesan pendek. Ia ingin memastikan soal ”kejutan” itu, tapi hasilnya nihil. Rasa ingin tahu Harry terjawab begitu menonton penganugerahan Piala Citra di Assembly Hall, Senayan, pada 21 Desember lalu. Benar saja, film Ekskul garapan sutradara Nayato Fio Nuala benar-benar memberi kejutan: terpilih sebagai Film Terbaik 2006. Sutradaranya pun dipilih sebagai Sutradara Terbaik.
Harry mengamuk di depan beberapa anggota panitia pelaksana. ”Ini benar-benar tak lucu,” katanya.
Bukan cuma Harry yang notabene ”orang dalam”—anggota komite seleksi memilih 10 film dari 34 film yang beredar sebelum diserahkan kepada juri¯yang kaget. Puluhan sineas, aktor, aktris, dan pekerja film berkumpul di Grand Kemang dan rumah makan Dimsum di kawasan Kemang, Jakarta, pada malam pengumuman. ”Ini sangat konyol, film Ekskul masih jauh untuk itu,” kata sutradara Joko Anwar.
Kekecewaan para sineas muda tentu saja bukan soal ”pasukan sakit hati”. Mereka adalah orang-orang yang sangat mengikuti perkembangan perfilman internasional. Mereka menganggap para juri tampaknya sudah lama tak mengikuti perkembangan perfilman dunia sehingga film seperti Ekskul dianggap layak menang. Aksi marah ini tampaknya akan berlanjut pada rencana pengembalian penghargaan sejumlah penerima Piala Citra 2004 hingga 2006 pada pekan ini. ”Janganlah sampai begitu. Pikirkan hingga tujuh kali,” kata ketua panitia penyelenggara Festival Film Indonesia 2006 Djonny Syafruddin.
Inilah puncak kontroversi penjurian FFI. Tahun lalu, kontroversi juga terjadi untuk dua kategori: Sutradara Terbaik (diraih oleh Hanung Bramantyo untuk film Brownies) dan Aktris Terbaik (Marcella Zalianty untuk film Brownies). Produser Indika Shanker B.S. sempat menuding ada isu suap di dewan juri. Tudingan itu redup karena para juri minta bukti konkret. Tahun ini, justru film Ekskul yang diproduksi Shanker B.S. menang festiva. Dan giliran kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik (diraih Nayato Fio Nuala) yang dipertanyakan.
Sumbu kontroversi lain adalah tak masuknya Opera Jawa garapan Garin Nugroho dan Berbagi Suami karya Nia Dinata, ke dalam lima besar nominasi film terbaik. Dua film itu diputar di beberapa festival film internasional. Berbagi Suami bahkan terpilih sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Hawaii dan dipilih sebagai wakil dari Indonesia untuk mengikuti Academy Awards kategori Best Foreign Film.
Sebagus apa Ekskul sehingga menyisihkan dua film itu dan Denias, Senandung di Atas Awan karya John DeRantau, salah satu film yang banyak dijagokan di FFI ini? Noorca M. Massardi, Chaerul Umam, dan Remy Sylado, tiga dari tujuh juri, menyebut kuatnya tema: kekerasan yang kini mendera negeri ini. ”Tema ini sangat dekat dengan keseharian kita,” kata Noorca.
Menurut Noorca, film Denias juga bagus, menceritakan bagaimana seorang anak di Papua ingin mendapat pendidikan yang baik. ”Hanya saja, tema pendidikan di sini menjadi pedagog,” ujarnya.
Chaerul Umam menyebut nilai lebih lain Ekskul. Film itu, katanya, digarap dengan irama cepat namun komunikatif. ”Teror yang ditampilkan dalam film stabil, tidak menurun. Bahkan cenderung menanjak dan progresif,” ucapnya.
Dari situ, juri sepakat memilih film Ekskul. Keputusan itu diambil sekitar sebulan sebelum pengumuman. Tak ada voting. Remy Sylado menyebut memang ada perdebatan seru, namun saat diminta memberikan nilai antara 40 dan 80, ada tiga juri yang menaruh angka tertinggi bagi Ekskul. ”Ini sudah barang tentu menjadikan Ekskul lebih condong untuk menang,” kata Remy.
Menurut Remy, juri berpegang pada aturan penilaian yang sudah dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan FFI 2006. Mereka menilai aspek penyutradaraan, skenario, pemeran, sinematografi, artistik, editing, tata suara, dan tata musik.
Hanung Bramantyo (sutradara Brownies) dan Joko Anwar (sutradara Janji Joni) menganggap justru ketika diuraikan ke dalam unsur-unsur yang lebih detail, Ekskul memiliki banyak kelemahan—pada skenario, penokohan, pengadeganan, penyutradaraan, dan terutama tata musik. ”Score musiknya mengambil dari film lain seperti dari Tae Guk Gi, Gladiator, bahkan ada dari Black Hawk Down,” kata Hanung.
Dua sineas lain yang enggan disebut namanya sudah meneliti, ada lagi beberapa bagian dari score musik Ekskul yang jelas mencomot dari film Narnia.
”Orisinalitasnya patut dipertanyakan,” kata Joko. Juri, menurut dia, semestinya memeriksa lebih dalam ide cerita dan teknik penyutradaraan sebuah film. ”Saya tak hendak mengecap film ini menyontek Elephant, tapi semestinya para juri mengikuti perkembangan pesat dunia perfilman, termasuk ilustrasi musik,” kata Joko.
Tanggapan juri soal pencomotan musik itu? ”Pada saat penilaian, tudingan penjiplakan itu tak ada, dan itu bukan urusan kami. Silakan diproses ke penegak hukum. Ini kan menyangkut soal hak cipta,” Noorca menambahkan. Lho? Bukannya juri juga pihak yang berwenang menilai orisinalitas karya?
Rima Melati, ketua dewan juri FFI, tak hendak larut ke dalam perdebatan atas hal yang sudah diputuskan. Ia ingin melihat ke depan. Rima menyarankan bahwa sebaiknya memang golongan sineas muda dilibatkan dalam tim juri pada festival mendatang. ”Dengan masuknya golongan muda, pasti ada sesuatu yang baru,” katanya.
Rima sendiri tak hadir pada malam pengumuman. Begitu pula Remy Sylado dan W.S. Rendra. Padahal, di masa lalu sebelum Festival Film Indonesia ”mati” pada 1993, lazimnya dewan juri memberi sebuah pertanggungjawaban kepada publik secara terbuka. Rima mengaku malam itu ia merayakan ulang tahun pernikahan bersama sang suami. Sementara Remy? Ia mengaku gundah lantaran sejumlah pesan pendek bernada mengancam yang masuk ke ponselnya. ”Saya memutuskan tak datang. Saya merasa orang film tak siap berkompetisi,” ucapnya. Tampaknya drama FFI ini masih akan terus bergulir di awal tahun baru ini.
Andi Dewanto, Yandi MR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo