Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN tertutup Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan para pemimpin 13 bank besar di kantor bank sentral, 13 Desember lalu, sejatinya berlangsung santai. Ditemani kacang rebus dan teh hangat, selama dua jam mereka berbincang tentang bagaimana caranya mempercepat pertumbuhan ekonomi pada 2007.
Namun, keesokan harinya baru ketahuan bahwa ternyata pertemuan tak berjalan setenang yang dibayangkan. Saat membuka Rapat Kerja Nasional Real Estate Indonesia, Kalla menyitir pembicaraan di bank sentral sehari sebelumnya dan menyampaikan kegusarannya atas keengganan perbankan mengucurkan kredit.
Menurut orang nomor dua di republik ini, para bankir tak peduli terhadap pertumbuhan ekonomi. ”Enak amat jadi direktur bank,” kata Kalla. Mereka kebanyakan memilih menyimpan dananya di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan mendapatkan bunga 9,75 persen. ”Neraca bank pun langsung untung, padahal Anda tidur,” ujarnya dengan nada tinggi.
Kekecewaan Wakil Presiden memang bisa dipahami. Di saat pemerintah menghadapi persoalan membludaknya pengangguran dan membengkaknya angka kemiskinan, sekitar Rp 202 triliun duit perbankan justru ngendon di SBI. Dari jumlah itu, lebih dari Rp 30 triliun milik bank negara dan Rp 45 triliun milik bank pembangunan daerah.
Dengan dana menganggur sebesar itu, kucuran kredit bank ke sektor riil pun otomatis seret bukan kepalang. Akibatnya, BI menurunkan target pertumbuhan kredit dari semula 22 persen menjadi hanya separuhnya, 11 persen atau sekitar Rp 97 triliun, hingga akhir 2006.
Jika sudah begitu, meski itu tentu bukan satu-satunya penyebab, kereta pembangunan ekonomi jelas tak bisa lari kencang. Pemerintah bahkan sampai harus tiga kali merevisi target pertumbuhan ekonominya: dari semula 6,2 persen diturunkan menjadi 5,9 persen, kemudian turun lagi jadi 5,8 persen. Itu pun belum cukup.
Pada Desember lalu, pemerintah menyadari pertumbuhan bakal lebih rendah lagi: paling banter hanya 5,5–5,6 persen. Sebab, seperti dituturkan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, untuk mencapai angka 5,8 persen, setidaknya perlu pertumbuhan ekonomi 8 persen pada triwulan keempat. Pertumbuhan setinggi itu dibutuhkan karena pada tiga triwulan sebelumnya, tingkat pertumbuhannya masing-masing hanya 4,8 persen, 5,0 persen, dan 5,5 persen.
Kini tahun telah berganti. Sebuah tantangan baru terhampar di awal Tahun Babi Api ini (tahun berdasarkan penanggalan kalender Cina yang dimulai sekitar Februari—Red). Menurut ramalan Cina, tahun ini, konon, merupakan saatnya untuk berhati-hati dan mawas diri mengingat orang ber-shio Babi Api punya kecenderungan memiliki nafsu dan ambisi besar untuk mewujudkan harapannya.
Terlepas dari benar-tidaknya isi ramalan itu, banyak pihak berkeyakinan perekonomian Indonesia tahun ini akan lebih benderang dibandingkan pada 2006. Optimisme itu bukan hanya datang dari pemerintah, tetapi juga dari Bank Indonesia, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan sejumlah bank internasional seperti Citigroup, ANZ Bank, dan Standard Chartered Bank. Umumnya mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sekitar 6 persen. Harapan pemerintah malah melesat hingga 6,3 persen, tertinggi sejak krisis ekonomi.
Proyeksi itu tentu bukan ramalan tanpa dasar. Semua kalkulasi, kata mereka, dibuat setelah mencermati dan memperhitungkan perkembangan indikator makroekonomi yang semakin membaik: suku bunga terus menurun, inflasi terkendali, kurs rupiah stabil, dan cadangan devisa terus meningkat (akhir tahun ini diperkirakan mencapai US$ 47 miliar).
Penurunan suku bunga tecermin pada penurunan BI Rate, yang menjadi patokan lelang suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dan menjadi acuan suku bunga perbankan. Menurut para analis, BI Rate yang kini sudah mencapai satu digit (9,75 persen) diperkirakan masih akan turun di tahun ini meski tidak sekencang tahun lalu. Pemerintah bersama DPR pun telah menetapkan suku bunga bank sentral ditargetkan rata-rata 8,25 persen sepanjang tahun ini.
Inflasi tahun ini juga diperkirakan bakal merosot ke kisaran 5-7 persen setahun. Prediksi ini didukung oleh rendahnya tekanan harga komponen administered atau kenaikan harga barang yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memastikan tahun ini tidak akan ada kenaikan tarif listrik. Pemerintah juga telah berkomitmen menjaga kelancaran pasokan beras lewat operasi pasar di berbagai kota pada Desember lalu dan impor beras pada Januari ini. Dengan kebijakan ini, diperkirakan tekanan inflasi terhadap kelompok barang pokok bakal tetap rendah.
Meski begitu, roda perekonomian tampaknya masih akan lebih banyak digerakkan oleh sektor konsumsi dan ekspor ketimbang investasi. Konsumsi masyarakat akan meningkat seiring dengan membaiknya daya beli akibat kenaikan gaji pegawai negeri dan Upah Minimum Regional pada triwulan pertama.
Sedangkan ekspor, menurut Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, diperkirakan masih akan naik 15 persen pada tahun ini dari tahun sebelumnya yang hampir mencapai US$ 100 miliar. Kenaikan itu ditopang oleh peningkatan ekspor komoditas primer dan produk manufaktur, meski harga beberapa komoditas pertanian diperkirakan akan menurun seiring dengan melambatnya perekonomian dunia.
Sejumlah sektor ekonomi yang diperkirakan bakal menjadi lokomotif pertumbuhan tahun ini, menurut Rusman Heriawan, tak akan jauh beda dengan 2006. Sektor-sektor andalan itu, antara lain, telekomunikasi, konstruksi, perkebunan, perikanan, perdagangan, serta pertambangan nonmigas seperti batu bara dan tembaga.
”Telekomunikasi dan konstruksi masih akan booming tahun ini karena tingginya permintaan domestik,” kata Rusman. Sedangkan pertumbuhan sektor perkebunan, perikanan, pertambangan, serta industri manufaktur—seperti tekstil, peralatan listrik, produk kimia, dan peralatan mesin—lebih cenderung dipicu oleh meningkatnya permintaan dari pasar luar negeri.
Dari sisi eksternal, kecenderungan bakal melambatnya perekonomian Amerika Serikat akibat membengkaknya defisit anggaran, memang menimbulkan kekhawatiran akan memukul ekspor banyak negara, termasuk Indonesia.
Namun, menurut kalkulasi Kepala Ekonom Internasional ANZ Bank, Amy Auster, pengaruhnya buat Indonesia dan negara berkembang lain sesungguhnya tak besar. Alasannya, total ekspor negara-negara Asia—kecuali Cina—ke Amerika sudah lama turun. ”Sekarang, ekspor sumber alam Indonesia, seperti batu bara, karet, dan minyak sawit, lebih tertuju ke Cina dan Eropa,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Berpijak pada besarnya potensi permintaan domestik dan ekspor itulah, harapan ekonomi Indonesia akan tumbuh 6,3 persen pada tahun ini bisa jadi bukan sekadar mimpi kosong. Namun, sudah tentu, untuk bisa mewujudkannya setumpuk pekerjaan rumah masih harus dibereskan pemerintah. Salah satunya adalah perbaikan iklim investasi, seperti penyelesaian revisi Undang-Undang Perpajakan, UU Penanaman Modal, dan revisi UU Perburuhan, yang hingga kini masih ngendon di DPR.
Tanpa penuntasan ketiga persoalan itu, bisa dipastikan rencana pembangunan infrastruktur yang telah digembar-gemborkan pun kembali bakal menemui jalan buntu. Sebab, bagaimanapun, proyek infrastruktur butuh dana besar, yang sebagian di antaranya diharapkan datang dari pihak asing. Tanpa pembenahan ketiga landasan hukum itu, niscaya upaya menarik masuk dana investasi asing tak bakal bersambut.
Pekerjaan rumah lainnya adalah mendorong perbankan agar mau menyuntikkan pinjaman baru ke sektor riil sekitar Rp 150 triliun. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memaksimalkan penyerapan anggaran pembangunan di daerah.
Adriansyah, Direktur Informasi Keuangan Daerah Departemen Keuangan, mengakui selama ini banyak proyek tersendat akibat penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terlambat dari jadwal semestinya. Seharusnya APBD ditetapkan pada November sebelum anggaran baru dimulai pada Januari. Kenyataannya, banyak daerah baru menetapkan APBD pada Juni. ”Akibatnya, pembangunan tersendat dan pertumbuhan ekonomi terganggu.”
Menurut ekonom senior ANZ Bank, Jasmine Robinson, jika saja semua kendala itu bisa diatasi dan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen per tahun bisa dipertahankan, bukan tidak mungkin Indonesia bahkan akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang layak diperhitungkan. Dari segi volume, kata dia, ekonomi Indonesia pada 2015 akan menempati urutan terbesar ke-11 di dunia, dengan nilai produk domestik bruto mencapai US$ 1,75 triliun atau sekitar Rp 15.750 triliun, lima kali lipat dibanding 2006.
Heri Susanto, Ariyani, Anton Aprianto, Sutarto, Suryani Ika Sari,
Rieka Rahadiana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo