Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Balada Lima Kalajengking

Scorpions, kelompok musik asal Jerman, berpentas di Jakarta. Ada regenerasi dalam personel mereka, upaya untuk bertahan hidup.

20 September 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ke mana-mana dia selalu mengenakan baret. Dia tentu saja bukan seniman eksistensialis yang hidup bagai kupu-kupu: hinggap dari satu kafe ke kafe lain, membahas topik melelahkan yang tak kunjung tuntas—kesendirian, keterasingan manusia.

Sebagai bagian dari generasi baby boom yang mengalami masa remaja pada era 1960-1970-an, dia sadar akan dua hal: politik, juga manisnya dunia komersial. Kita mungkin ingat sebuah karyanya yang istimewa, yang seolah-olah diciptakan lewat suatu penciuman arah sang waktu, Wind of Change. Sebuah karya yang muncul dengan timing hebat, tiga bulan sebelum runtuhnya Tembok Berlin pada 1988.

Wind of Change. Lagu yang dibuat dengan keyakinan bahwa potongan melodi utamanya layak diulang-ulang tanpa menimbulkan kebosanan. Dia bercerita tentang sebuah perjalanannya di Kota Moskow. Saat itu, suatu hari di musim panas pada Agustus, saat Tentara Merah berbaris, lalu-lalang di Taman Gorky, dia merasakan angin perubahan. Dia menggambarkan tipisnya perbedaan antara manusia, antara dirinya dan mereka, orang-orang di taman itu. "Seperti saudara," tuturnya.

Mulanya melodi sederhana tapi bagus itu dibawakan dengan bersiul. Kemudian vokalnya menyenandungkan lirik-lirik, lirih. Lantas giliran lead guitar menelusuri garis melodi yang sama. Memang ada akor mayor dan minor dalam ornamentasinya, layaknya lagu balada biasa. Tapi ada ruang yang dibiarkan terbuka, ada juga ketidakrelaan membebaskan musik dari barisan nada-nada itu barang sebentar.

Ya, dialah Klaus Meine, 56 tahun, personel grup asal Jerman, Scorpions. Dan baret bukanlah sesuatu yang simbolis. Suaranya yang tenor memang tak banyak berubah, tapi rambut di kepala penyanyi itu semakin jarang. Kamis pekan lalu, di Tenis Indoor Gelora Bung Karno, Jakarta, Scorpions tampil dengan formula lama: Klaus Meine yang bertugas mengartikulasikan melodi, Rudolph Shanker, 56 tahun, yang membubuhkan ritme khas musik rock, dan Mathias Jabs, 48 tahun, yang lebih jauh memberi warna rock dengan riff yang menonjol—sama seperti Van Halen dan rekan-rekan segenerasi mendominasi karakter musik kelompok masing-masing.

Di Jakarta, mereka membuka pertunjukannya dengan New Generation, lagu dari album terbaru mereka, The Unbreakable. Di atas panggung, Klaus Meine melonjak-lonjak, bergoyang-goyang, menelusuri setiap senti panggung. Ada balada-balada manis seperti Still Loving You, Always Somewhere, atau When the Smoke Was Going Down. Tapi konsentrasi mereka tampaknya pada rock seperti Rock You Like A Hurricane, Blackout, bahkan New Generation. Pesannya satu: waktu boleh berganti, tapi Scorpions masih eksis.

Apa pun, yang jelas usia para personel fundamental Scorpions kini sudah berada di atas 40 tahun, jauh melampaui usia "revolusioner" khas musik rock. Belakangan, kita melihat gejala menarik: para rocker yang mulai dimakan usia menolak tunduk pada tekanan sang waktu. Kini, jago tua Mick Jagger bersama Rolling Stones mengadakan tur keliling lebih sering dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Demikian pula kelompok-kelompok seperti The Who dan Paul McCartney. Entah apakah gejala yang sama juga menimpa maestro rock macam Jimi Hendrix jika ia tak mati muda.

Sebagaimana diketahui, Scorpions kelompok rock yang punya dua prestasi "historis". Bersama-sama Judas Priest pada 1970-an, Scorpions adalah pionir kelompok heavy metal asal Eropa. Satu dasawarsa berselang, pada 1980-an, mereka pula yang mencetak sukses komersial besar-besaran di Amerika Serikat. Keberhasilan yang menimbulkan pertanyaan serius di kalangan pencinta rock fanatik. Scorpions, yang banyak membawakan balada ketimbang heavy metal, dinilai tak pantas menyandang identitas sebagai kelompok rock.

Di Jakarta, barusan, mereka menegaskan identitas rock. Mereka merekrut pemain bas asal Polandia, Pawel Maciwoda, 35 tahun. Regenerasi terjadi, tapi para kalajengking tua belum siap mundur dari panggung.

Idrus F. Shahab, Darmawan Sepriyossa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus