Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Nyoman Gunarsa, Bali Luar-Dalam

Nyoman Gunarsa (1944-2017) tidak hanya melukis ornamen dan penari Bali yang membuatnya sukses. Ia pun mendirikan museum lukisan modern dan lukisan klasik Bali yang rawan “hilang”.

18 September 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nyoman Gunarsa, Bali Luar-Dalam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Patangpuluhan, Yogyakarta, pertengahan 1967. Nyoman Gunarsa hampir seminggu sekali, pada petang hari, datang ke rumah kontrakan Fadjar Sidik, membicarakan tugas akhirnya untuk ujian sarjana muda Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Nyoman memilih tugas akhir membuat sejumlah lukisan bergaya Affandi, pelukis yang ia kagumi, baik dari sisi estetika maupun dari sisi prestasi hingga pelukis itu bisa mendirikan museum pribadi.

Lukisan tugas akhir itu tak sebesar kanvas Affandi umumnya, tapi coraknya memang mirip gaya Affandi, hanya kurang dinamis. Mahasiswa yang mendapat penghargaan dari ASRI sebagai sketcher terbaik itu terlihat menguasai "menggambar": dari figur manusia sampai bentuk pepohonan. Lukisannya tak membuat orang memicingkan mata karena merasa ada yang janggal. Seingat saya, Fadjar Sidik tak banyak berkomentar. Menjelang ujian, ini yang saya ingat dari dosen tersebut: tugas akhir itu tugas sekolah, dan Nyoman dimintanya nanti harus menemukan gayanya sendiri.

Jakarta, 1974, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Dalam pameran ini, hadir tiga lukisan Nyoman, tak lagi mengingatkan pada lukisan Affandi, meski goresannya tetap ekspresif. Pokok lukisannya benda-benda upacara keagamaan Bali. Sejak 1970-an inilah saya kira lahir lukisan-lukisan khas Nyoman Gunarsa. Ia mulai dengan sungguh-sungguh menengok ke dalam diri yang Bali, meski ia tinggal di Yogya. Pelukis kelahiran Klungkung ini tampaknya "menemukan" Bali yang sudah mengendap di bawah sadarnya. Ornamen, wayang, dan tari Bali satu demi satu muncul sebagai pokok lukisan Nyoman. Dari karya-karyanya, tampak bahwa ia tak mengalami kesulitan memahami dan menggambarkan bentuk dan spirit ke-Bali-an pada kanvas-kanvasnya dalam corak yang khas Nyoman.

Meskipun tak secepat Affandi dalam melukis, Nyoman tergolong orang yang tidak bisa sabar di depan kanvas. Goresan dan sapuannya dinamis, dibuat dengan cepat, dengan gerakan seluruh tubuh, bukan hanya tangan. Cara ini, saya kira, ia pelajari selama mengamati lukisan-lukisan Affandi dan cara Affandi melukis untuk tugas akhirnya. Rupanya, corak dan gaya melukis seperti itu cocok dengan kepribadiannya yang tak sabaran tersebut, yang kemudian ia kembangkan sehingga menjadi corak Nyoman.

Sejak itu, orang dengan mudah menengarai lukisan Nyoman di antara lukisan-lukisan pelukis lain. Dan ketika dunia seni lukis Indonesia mengalami yang disebut "boom", lukisan Nyoman termasuk di dalamnya. Yang mesti dicatat, kesuksesan Nyoman sebagian dikembalikan ke dunia seni rupa: ia mendirikan museum seni lukis modern di Yogyakarta, 1987 (pada 2010 koleksi museum ia pindahkan ke Bali), dan kemudian museum seni lukis klasik Bali di Klungkung, 1994.

Dari sisi seni lukis Bali, Nyoman bisa dibilang salah seorang yang tak lagi mengikuti gaya klasik Bali, tapi dalam pokok dan spirit lukisan tetap Bali. Dan ia benar-benar memahami Bali. Misalnya, dalam sidang lukisan palsu Nyoman Gunarsa pada 2000, ia membuktikan lukisan yang dia perkarakan bukan karyanya dengan cara memperagakan posisi kaki dan tangan figur penari dalam lukisan tersebut. Segera saja Nyoman jatuh. Kepada hakim, dia mengatakan tidak mungkin membuat lukisan dengan posisi kaki dan tangan penari seperti itu karena itu salah dan pasti si penari akan jatuh.

Nyoman, lahir di Klungkung pada 1944, adalah perupa yang memilih jalan sendiri dengan yakin. Ia tak ikut perupa-perupa muda yang memprotes Pameran Besar Seni Lukis Indonesia 1974, awal lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, gerakan yang membuka jalan baru penciptaan dalam seni rupa Indonesia. Meski, setahu saya, Nyoman juga tak mencela mereka. Ia menyumbang pada dunia seni rupa Indonesia dengan caranya sendiri, seperti sudah disebutkan: mendirikan museum. Di antara koleksi lukisan modernnya, ada setidaknya dua lukisan abstrak karya Dos Laksono, mahasiswa ASRI 1960-an, nama yang terlupakan. Padahal membicarakan lukisan abstrak Yogya, mau tak mau, mesti membicarakan lukisan-lukisan Dos, yang diciptakannya semasa (mungkin lebih dulu) dosennya, Fadjar Sidik, berpindah ke abstrak.

Sedangkan tentang lukisan klasik Bali, sejauh ini, saya kira tak ada yang lebih komplet daripada koleksi museum Nyoman. Termasuk sebuah dinding rumah yang ia beli dari sebuah rumah di Desa Kamasan, karena pada dinding itu ada mural lukisan gaya Kamasan. Itulah koleksi yang pernah ditinjau Presiden Joko Widodo beberapa bulan sebelum sang pemilik tiada, yang tentu kini mengundang perhatian tentang keberlanjutannya setelah sang "pelindung" wafat pada 10 September lalu.

Bambang Bujono
Penulis dan Pengulas Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus