Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari dunia aktivisme, Ken Zuraida bergabung dengan Bengkel Teater.
Seperti Rendra, Ken Zuraida sangat serius dengan pengembangan teater.
SAAT itu awal 1974. Anak-anak muda dari Bandung bergerak ke Yogyakarta. Hari itu dimulai pergerakan besar-besaran anak muda di Indonesia untuk meneriakkan perubahan. Memang, demonstrasi di Jakarta yang menolak masuknya investasi Jepang telah menyulut unjuk rasa mahasiswa di mana-mana. Di Yogyakarta, aksi protes itu salah satunya terjadi di bundaran depan Rumah Sakit Panti Rapih. Di antara mahasiswa itu terselip seorang remaja putri dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Ken Zuraida.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia bersama teman-temannya naik mobil bak terbuka menuju Yogyakarta. "Aku mulai dari sini," tutur Ken Zuraida, yang bergabung dalam aksi "menolak investasi Jepang" itu. Dari sana protes meluas besar-besaran dan dikenal sebagai peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam aksi itu saya pertama kali bertemu dengan Ken Zuraida. Saat itu saya baru sehari masuk sebagai anggota Bengkel Teater yang dibentuk seniman kelahiran Solo, Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra. Bertempat di sebuah rumah di Ketanggungan Wetan, ada tulisan besar di dekat cakruk: Kaum Urakan.
Bengkel Teater yang digerakkan Mas Rendra terbentuk menjadi wadah perjuangan yang melambung hingga dunia internasional. Dimulailah tren remaja merumuskan gagasan cerdas sekaligus mendidik masyarakat untuk meninggalkan "budaya kasur tua" yang "macet". Dari dunia aktivisme, Ken Zuraida, perempuan asal Salatiga, Jawa Tengah, yang lincah dan cerdas, memilih bergabung dalam Bengkel Teater. Ia segera cocok dengan Rendra dan kemudian menikah dengan pemimpin "Kaum Urakan" itu. Setelahnya mereka mendirikan padepokan baru, Bengkel Teater Rendra, di kawasan Depok, Jawa Barat.
Di tempat yang baru ini lahirlah karya-karya baru yang mendunia. Salah satu yang terkenal adalah karya berjudul Selamatan Anak Cucu Sulaiman yang dipentaskan di New York, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain, seperti Jepang dan Korea Selatan. Pentas tersebut juga dihelat di kota-kota besar di Indonesia.
Kekuatan utama karya-karya Bengkel Teater Rendra adalah menggali kekayaan kreativitas bangsa Indonesia dan autentisitas yang lahir dari kebudayaan yang tinggi dan tua. Dan pelajaran yang paling diminati anggotanya adalah latihan olah kesadaran, yakni kesadaran naluri, kesadaran pancaindra, kesadaran insting, dan kesadaran akal sehat.
Sebagai teman di Bengkel Teater, saya mengagumi Ken Zuraida yang amat kreatif dalam menemukan kalimat yang menyatu dengan tingkah lakunya. Dalam soal ini, Mas Rendra nyata benar amat mengaguminya.
Sewaktu pentas Kisah Perjuangan Suku Naga pada 1975, misalnya, Ken Zuraida masih berusia 21 tahun dan berperan sebagai Setyawati. Di panggung ia tampak "menggemaskan" sekali. Ini bukti Ken Zuraida sangat mahir berakting. Sejak saat itu ia dikenal sebagai artis yang amat luwes dan menawan.
Persiapan pentasnya ketika itu tidak mudah. Tentu saja karena pentas diadakan di atas panggung besar. Jadi pemain harus luwes berdiri dan bergerak anggun. Karena itu, aktor atau aktris harus berlatih di halaman rumah dan di panggung yang besar sehingga mampu "sadar bentuk" dan "sadar ruang". Mas Rendra pasti akan marah besar bila mendapati aktor atau aktrisnya kedodoran di panggung.
Dalam menjalani perannya, Ken Zuraida selalu berfokus. Kemunculan dia sesingkat apa pun memikat penonton karena memang auranya di panggung menggugah siapa pun.
Ken Zuraida mengagumkan dalam kehadiran di rumah dan di mana pun saat acara yang megah ataupun yang sangat artistik. Saat menjadi pemeran utama di panggung, orang-orang segera dibuat terkesima oleh kehadirannya. Jika di rumah akan segera kita menangkap aura artistiknya yang lembut. Bila hadir di acara besar, siapa pun akan mengakui Ken Zuraida amat memukau.
Ia juga sangat menguasai seni grafis. Dia terpilih mendesain sampul buku-buku terbitan Dunia Pustaka Jaya yang saat itu di bawah pimpinan Ajip Rosidi. Saya mengingat ia pasti sampai lupa waktu bila sedang bekerja di bidang grafis. Ia sering pulang pagi. Padahal setiap saat ia bisa menghabiskan berbatang-batang rokok. Makanya paru-parunya sakit. Soal rokok saya selalu cerewet mengingatkannya, tapi tidak pernah berhasil menyetopnya mengisap rokok. Terakhir jantungnya juga sakit. Riwayat paru-paru dan jantung itu pula yang membuat Ken Zuraida berpulang pada usia 67 tahun, Senin, 9 Agustus lalu.
Seperti Mas Rendra, Ken Zuraida sangat serius terhadap pengembangan teater. Termasuk perannya dalam membesarkan Bengkel Teater Rendra. Saya ikut merasakan jatuh-bangun di masa yang sulit saat Bengkel Teater Rendra tertumbuk masalah logistik. Ketika itu terjadi maka Ken Zuraida segera menolong dan membantu Mas Rendra. Kecintaannya terhadap teater dan Bengkel Teater Rendra dibuktikannya dengan terus memimpin sebagai pemilik utama setelah Mas Rendra meninggal. Ini sangat sulit bagi orang panggung saat ini, terutama di tengah masa pandemi. Di mana-mana terkunci.
Adegan pembuka dalam pentas Panembahan Reso di Ciputra Artprenuer, 25 Januari 2020. LASSAK IMAJI/Tagor Siagian
Ken Zuraida, misalnya, turut menggarap kembali pentas Panembahan Reso di gedung Ciputra Artpreneur, Jakarta, 25 Januari 2020. Penontonnya melimpah karena bermain cuma semalam dan pementasannya dipadatkan hanya menjadi tiga jam. Di balik layar, Ken Zuraida memilih merancang kostum dan properti. Intuisinya berskala panggung besar.
Penonton kagum akan naskah yang ditulis Mas Rendra tersebut. Panembahan Reso pertama kali dipentaskan di Istora Senayan, Jakarta, selama dua malam dan berdurasi 7,5 jam nonstop pada 1986. Pertunjukan pertama Panembahan Reso kala itu dibanjiri 10 ribu penonton. Ini tentu pementasan terbesar sepanjang sejarah.
Terakhir Ken Zuraida dan putri bungsunya, Maryam Supraba, tampil memukau dalam acara bincang-bincang bertajuk “Kangen Rendra” yang dipandu Rosianna Silalahi di Kompas TV pada 2019. Kelincahannya berimprovisasi dalam ungkapan-ungkapan artistik mengejutkan pemirsa. Pembicaraan sastra yang spontan dan bermutu itu pasti mengendap di ingatan publik.
EDI HARYONO, ANGGOTA BENGKEL TEATER RENDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo