Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Odong-odong Tintin dan Gong Wukir

Sejumlah seniman menampilkan karya eksperimentasi, yang mempertemukan karya instalasi dan musik.

21 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang tiga pekan pada Maret lalu, Tintin Wulia sibuk mondar-mandir di beberapa bengkel kerja dan Alun-alun Selatan Yogyakarta. Bersama beberapa temannya, seniman Indonesia yang kini bermukim di Brisbane, Australia, itu terlihat mengayuh sepeda berwarna mencolok yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa di Alun-alun Selatan. Sepeda itu acap disebut odong-odong.

Belakangan odong-odong menjadi wahana permainan anak-anak yang populer, terutama di area Alun-alun Selatan Yogyakarta. Selain menggunakan warna dan lampu gemerlap sebagai daya tarik, hampir semua odong-odong di kawasan itu riuh dengan musik ingar-bingar. Dibantu beberapa teknisi dan ahli elektronik, Tintin memanfaatkan kepopuleran odong-odong menjadi sebuah karya dalam pameran "Instrument Builders Project #2", yang dibuka pada 11 April lalu.

"Instrument Builders Project" merupakan pameran kolaborasi yang melibatkan seniman visual dan musik dari Indonesia dan Australia. Kristi Monfries, inisiator proyek itu, mengundang seniman untuk berproses bersama. Selama sebulan mereka bergulat di studio Indonesian Contemporary Arts Network. Selama proses berlangsung, para pengunjung pun bisa datang untuk berinteraksi dan melihat proses kerja seniman.

Beberapa seniman berlatar belakang musik terlibat. Tintin Wulia sesungguhnya sempat belajar ilustrasi musik untuk film di salah satu sekolah musik terbaik di dunia, Berkeley Music Institute, di Boston, Amerika Serikat. Yang lain adalah Mas Bowo, pembuat gamelan; Wukir Suryadi, yang sering membuat instrumen gitar metal dari bambu; Jompet Kuswidananto, seniman visual yang dulu aktif menggeluti eksperimen musik elektronik; dan Bagus Pandega dari Bandung, yang dikenal sering membuat instalasi kinetik. Dari Australia, selain Kristi Monfries, ada Dale Gorfinkel, Peter Blamey, dan Caitlin Franzmann. Mereka dipilih oleh kurator Joel Stern.

Para seniman itu masing-masing mempresentasikan karya sekaligus mengundang pengunjung untuk menjadi bagian dari proyek mencipta instrumen ini. Karya Caitlin Franzmann, misalnya. Caitlin tertarik pada tradisi masangin (melintas di tengah dua pohon beringin) di Alun-alun Selatan. Bila malam, Alun-alun Selatan selalu semarak karena banyak pengunjung dengan mengenakan penutup mata berusaha berjalan dari depan gedung Siti Hinggil ke arah ruang kosong di antara dua beringin. Ada kepercayaan, mereka yang bisa berjalan lurus melintas di tengah-tengah beringin tersebut akan menerima keberuntungan. Toh, banyak yang melenceng.

Caitlin kemudian menciptakan penutup mata yang dilengkapi suara yang bisa menjadi penunjuk arah ketika mata ditutup saat melintasi dua beringin. Ia mencoba alat ini langsung di Alun-alun Selatan. Ia mengajak pengunjung pameran beramai-ramai pergi ke Alun-alun Selatan menggunakan becak. Pada saat bersamaan, karya Tintin Odong-odong Dang Ding di Alun-alun Selatan sudah dilengkapi alat musik angklung di bagian atas.

Selain karya Tintin dan Caitlin, yang disajikan di Alun-alun, seniman-seniman lain menciptakan instalasi suara di ruang pamer. Meski ruang pameran tidak terlalu besar, pameran ini cukup berhasil menampilkan aspek eksperimentasi, yang memang menjadi target penting dalam proyek ini. Kristi Monfries menekankan bahwa pertemuan antara instrumen berbasis tradisi dan kerajinan tangan dan alat musik avant garde, serta persinggungan antara instumen dan patung, instalasi, suara, gagasan seni konseptual, dan performativitas, merupakan konsep-konsep kunci yang dipegangnya untuk menyelenggarakan proyek ini.

Karya Wukir Suryadi yang dikerjakan bersama Peter Blamey, misalnya, menyambut pengunjung dengan pemandangan seperti sesaji, lengkap dengan bau dupa yang menyengat, pohon teh yang telah kering, serta keris tradisional. Wukir Suryadi mengundang Peter untuk merespons instalasinya. Wukir juga menciptakan karya Ecology Gong. Karya ini berangkat dari ketertarikan Wukir menjelajahi kemungkinan menggunakan gong sebagai sebuah instrumen musik yang mandiri. Ia meletakkan gong itu dalam sebuah kolam buatan, yang di atasnya penuh konstruksi bambu dengan alat-alat musik lain terpasang di sana, seperti trompet.

Dengan teknik dan tampilan lebih sederhana, Mas Bowo menggubah bentuk saron gamelan menjadi semacam kincir angin yang diputar oleh mesin. Pada karya berjudul Auto Gender, di bagian atas putaran itu diberi pemukul, sehingga jika pemukul seperti palu itu bertemu dengan permukaan alat musik, kita bisa mendengar bunyi. Alat itu dihubungkan dengan mikrofon, sehingga pengunjung bisa berbicara di depan mikrofon, menggantikan fungsi pemberi energi yang membuat saron bisa berputar.

Jompet Kuswidananto membuat karya tanpa judul (Untitled). Ia menggunakan lempengan logam. Masing-masing lempengan digantung dari atap, hampir menyentuh lantai. Secara otomatis Jompet mengatur setiap beberapa waktu lempengan itu jatuh dengan entakan yang cukup kuat ke lantai, memberi bunyi nyaring yang menggema di ruangan.

Karya Dale Gorfinkel berangkat dari pertanyaannya tentang kebudayaan, Do It Yourself (Kerjakan Sendiri Olehmu). Dale membangun instrumen dari berbagai benda temuan. Bersama asisten, ia mengumpulkan bahan bekas pakai, termasuk slang dan trombon. Pengunjung bisa memanfaatkan karya Dale ini sebagai alat olahraga dengan teknologi yang sederhana. Tinggal menginjak pedal dengan kecepatan dan irama tertentu, lalu kita pun bisa mendengar suara yang diciptakan dari berbagai instrumen. Akan halnya Bagus Pandega membangun semacam orkestrasi di antara semua instrumen yang tercipta. Karya ini diberi judul Use and Reuse.

"Instrument Builders Project" menarik karena menciptakan dialog antara seniman dan praktisi musik, ahli elektronik, dan sebagainya. Hal penting lainnya, proyek ini tetap menstimulus seniman agar membuat karya bertolak dari konteks sosial. Tintin Wulia, misalnya, melihat odong-odong adalah produksi yang memiliki dampak ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat. "Bagi saya, odong-odong menunjukkan suatu kreativitas ekonomi," katanya.

Alia Swastika, Pemerhati Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus