Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Palu diketukkan. Harga lelang jatuh pada angka HK$ 58,36 juta (US$ 7,5 juta atau sekitar Rp 85,7 miliar). Itulah harga lukisan S. Sudjojono berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro. Harga yang lebih dari Rp 50 miliar itu mengagetkan para peserta lelang 6 April lalu di Sotheby's Hong Kong. Bisa dibilang lukisan yang dibuat Sudjojono pada 1979 itu mencapai harga paling tinggi dari sejarah lukisan Indonesia. Angka ini bahkan disebut-sebut memecahkan rekor untuk seniman Asia Tenggara.
Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro semula dimiliki keluarga grup Djarum di Semarang. Memang harga yang dicapai lukisan itu bukan yang teratas pada lelang awal April tersebut. Angka tertinggi dihasilkan lukisan perupa Cina, Zhang Xiaogang, yang berjudul Bloodline: Big Family No. 3 dengan harga ketuk palu HK$ 94,2 juta (US$ 12,1 juta). Betapapun demikian, melesatnya harga Diponegoro mengejutkan. Sebab, lukisan ini sebelumnya-pada masa sebelum penjualan-diperkirakan harganya hanya laku sepertiganya.
"Angka untuk lukisan Diponegoro itu masih angka ketuk palu, belum ditambah komisi Sotheby's," ujar Siont Tedja, kolektor yang saat itu hadir mengikuti lelang di Hong Kong tersebut. Syakieb Sungkar, kolektor lain, menyebutkan harga lukisan itu jika ditambah komisi Sotheby's sebesar 20-21 persen bisa mencapai sekitar Rp 100 miliar.
Karena itu, angka penjualan karya Sudjojono ini menembus rekor harga karya pelukis istana, Lee Man Fong, November tahun lalu, di balai Lelang Christie's. Lukisan Lee Man Fong, Bali Procession, yang semula diperkirakan HK$ 12-16 juta ternyata terjual pada harga HK$ 22,5 juta atau sekitar Rp 34 miliar. Bisa dibilang waktu itu lukisan berukuran 90 x 180 sentimeter tersebut adalah lukisan termahal sepanjang sejarah seni rupa Indonesia. Namun, belum genap enam bulan, lukisan itu telah dilampaui oleh lukisan Sudjojono-bahkan dua kali lipatnya.
Sudjojono membuat lukisan bertema Pangeran Diponegoro sebanyak dua buah. Semuanya dibuat pada 1979. Maya Sudjojono, putri Sudjojono, membenarkan hal itu. "Lukisan yang terjual di lelang Sotheby's lalu pembeli pertamanya adalah direksi Djarum Semarang," ujar Maya kepada Tempo. Sedangkan lukisan Diponegoro lain, menurut dia, dimiliki pemerintah DKI Jakarta.
Maya tak mengetahui persis berapa lama lukisan itu dibuat oleh ayahnya. Tapi, mengutip ibunya, Rose Pandanwangi, rata-rata dibutuhkan waktu dua bulan untuk tiap lukisan. Sayangnya, tak ada data yang menjelaskan tentang lukisan itu. Rose dan anak-anaknya tak ingat siapa yang menjadi model lukisan yang menggambarkan Pangeran Diponegoro naik kuda tengah memimpin para prajurit bertempur itu. Di lukisan tersebut juga terdapat serdadu Belanda yang terlihat kewalahan.
Meskipun tak ingat model dan tak ada data tertulis soal ini, Maya ingat ayahnya pernah mendatangi Bukit Menoreh di Jawa Tengah. Diperkirakan daerah itu merupakan tempat pertempuran Pangeran Diponegoro. "Kami masih memiliki beberapa koleksi tulisan dan sketsa SS hasil studi sejarah perang Diponegoro yang beliau lukis," ucapnya.
Soedarmadji J.S. Damais, pengamat seni dan sejarah, memperkirakan lukisan ini sudah terinspirasi pada 1973-1974. Ketika pemerintah DKI Jakarta di bawah pimpinan Ali Sadikin membangun Museum Fatahillah atau Museum Sejarah, Ali meminta Sudjojono melukis Sultan Agung dan J.P. Coen untuk mengisi museum. "Mungkin Sudjojono sudah ingin membuat lukisan bertema Pangeran Diponegoro, tapi baru dibuat pada 1979," ujarnya.
Siapa pembeli Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro? Beberapa kolektor yang ditemui Tempo masih menduga-duga siapa pembelinya. Yang jelas, banyak kolektor yang hakulyakin pembelinya masih orang Indonesia, bukan orang Singapura atau Cina. Syakieb juga yakin pembeli lukisan Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro adalah orang Indonesia.
"Ya, orang Indonesia. Untuk lukisan mahal biasanya jatuh ke tangan kolektor seperti keluarga Sampoerna," katanya. Ada selentingan di kalangan kolektor bahwa yang membeli lukisan itu bisa jadi pengusaha kopi Kapal Api asal Surabaya yang kini tinggal di Hong Kong atau salah satu anak Eka Tjipta Widjaja dari grup Sinar Mas. Tapi Syakieb dan beberapa kolektor lain yang ditemui Tempo tak berani memastikan hal itu.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo