Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pada Diyat, Satinah Berharap

Satinah disebut bakal bebas paling lama dua bulan lagi. Mengapa diyat yang dibayarkan bisa sangat besar?

21 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI penjara Buraidah, Provinsi Al-Qassim, Arab Saudi, Satinah binti Jumadi Ahmad, 40 tahun, berpesan kepada keluarga yang menjenguknya agar menikahkan anaknya dengan pria baik-baik. Saat itu awal Februari lalu, dua bulan menjelang ia dihukum pancung setelah divonis bersalah membunuh majikannya di distrik paling kaya di negeri itu. Kini, setelah tanggal eksekusi 3 April lewat, Satinah, yang telah 7 tahun ditahan, mesti bersiap menyaksikan sendiri pernikahan putrinya, Nur Apriyani, 20 tahun.

Ketua Tim Satuan Tugas Pembebasan Satinah, Maftuh Basyuni, mengumumkan tenaga kerja asal Ungaran, Jawa Tengah, itu bakal bebas paling lama dua bulan lagi. Keluarga sang majikan sudah menyepakati angka pembayaran diyat atau tebusan sebesar 7 juta riyal atau sekitar Rp 21 miliar. "Eksekusi tak akan dilakukan karena keluarga korban sudah menerima angka itu," ujar Maftuh, Selasa pekan lalu.

Pemerintah, kata Maftuh, sudah menyimpan uang 7 juta riyal itu di sebuah bank di Arab Saudi. Namun pembayaran diyat belum dilakukan karena masih ada perbedaan pandangan di antara keluarga korban ihwal pembagian uang itu kepada tujuh ahli waris mereka. Tapi, menurut Maftuh, "Sudah ada jaminan mereka akan menyelesaikan masalah internal itu dalam satu-dua bulan ke depan."

Jika serah-terima diyat berlangsung Juni nanti, perjuangan panjang pemerintah dalam membebaskan Satinah sejak tiga tahun lalu berakhir menggembirakan. Pemerintah berhasil melobi Raja Arab Saudi serta Lembaga Pemaafan dan Perdamaian di antara Kedua Pihak (Lajnah Al Afwu Wa Islah Dathil Bain) agar meringankan hukuman Satinah dari hukuman mati mutlak menjadi hukuman mati kisas dengan peluang pemaafan melalui mekanisme pembayaran diyat.

Hukuman mati mutlak, dalam sistem hukum di Arab Saudi, dijatuhkan jika terbukti ada pembunuhan berencana (had qat'ul ghilah) dan ada unsur penyiksaan. Awalnya Satinah divonis hukuman mati had qat'ul ghillah tanpa peluang pemaafan. Ia terbukti membunuh Nura binti Muhammad al-Garib dan mencuri uang majikan sebesar 38 ribu riyal untuk melarikan diri. Pengadilan Arab Saudi pun menjatuhkan vonis pancung pada April 2011.

Gatot Abdullah Mansyur, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), menceritakan kasus Satinah telah melalui tiga kali peradilan, dari pengadilan umum, banding, sampai kasasi. Tiga hakim di pengadilan umum dan lima hakim di pengadilan banding memutuskan kasus itu sebagai pembunuhan berencana.

Tapi pemerintah berhasil meyakinkan lima hakim Mahkamah Agung Arab Saudi bahwa pembunuhan tersebut tak direncanakan. "MA tidak yakin (pembunuhan itu) disengaja karena hubungan keduanya (pelaku dan korban) baik-baik saja selama ini dan tidak ada penyiksaan," kata Gatot. "Pemukulan juga tidak menggunakan alat pembunuh."

Satinah telah bekerja setahun sebelum hari pembunuhan. Alat yang digunakan untuk membunuh pun disebut berupa kayu adonan kue. Dalam pembelaannya, Satinah mengatakan ia melakukan itu lantaran tersinggung setelah dimaki dan ditampar majikan.

Yunahar Ilyas, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah yang membidangi Tarjih dan Tajdid serta pernah belajar tentang hukum Islam di Timur Tengah, mengatakan alat pembunuh memang menjadi pertimbangan utama peradilan di Arab Saudi untuk menentukan apakah pembunuhan itu disengaja, setengah disengaja, atau tidak disengaja. "Pada pembunuhan disengaja, kriterianya apabila alat yang digunakan mematikan," ujarnya.

Sedangkan pembunuhan setengah sengaja apabila pembunuh sengaja menyakiti tanpa menggunakan alat yang mematikan, misalnya menampar hingga menyebabkan kematian. Hukuman kasus ini biasanya berupa penjara atau dengan diyat yang ditentukan oleh pengadilan dengan syarat dimaafkan keluarga korban serta dimaafkan tanpa diyat.

Pembunuhan tidak disengaja, misalnya meninggal tertabrak, mendapat hukuman berupa diyat yang ditentukan pengadilan atau dimaafkan tanpa diyat. Pada tiga jenis pembunuhan itu, kata Yunahar, menggunakan dasar hukum Al-Quran dan Sunah.

Al-Quran, misalnya, secara khusus mengatur hukum kisas. Amin Suma, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengatakan, di antara hukum pidana Islam, berlaku kisas atau hukum setimpal. "Kalau luka fisik dilukai fisik, kalau menghilangkan nyawa hukum mati," ucap Amin. "Itu diatur di Quran surat Al-Baqarah 178-179."

Pelaksanaannya, negara menerapkan bentuk masing-masing. Ada yang ditembak, digantung, atau dipancung. Tapi pada surat yang sama pula disebutkan bahwa hukuman kisas dimungkinkan diganti diyat. Diyat adalah ganti kerugian berupa jaminan harta benda atau uang untuk keluarga yang terbunuh. Sebagian lain mengartikannya sebagai tebusan. "Syaratnya kalau ahli waris korban memaafkan," ujar Amin.

Kendati ganti kerugian itu telah disebut, kata Amin, Al-Quran tak mengatur nilai diyat. "Pada zaman Rasul menggunakan 100 ekor unta sebagai ukuran," ucapnya.

Hasanuddin A.F., Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, sebaliknya berpendapat bahwa diyat memiliki ketentuan yang jelas. "Hadisnya jelas," ujarnya. Untuk pembunuhan disengaja, misalnya, nilai diyat-nya 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya sedang bunting. Sedangkan diyat untuk pembunuhan setengah disengaja dan tidak disengaja adalah 100 ekor unta. Nilai seratus unta itu setara dengan Rp 1,5 miliar saat ini.

Dengan panduan tersebut, mengapa nilai diyat dalam banyak kasus tenaga kerja dijadikan ajang tawar-menawar antara keluarga korban dan juru runding TKI? Pada kasus Satinah, misalnya, awalnya keluarga korban meminta 15 juta riyal, tapi kemudian melunak menjadi 7 juta riyal. Pemerintah sempat menawar 5 juta riyal, tapi keluarga korban menolaknya. Sedangkan pada kasus TKI Darsem tiga tahun lalu, pemerintah hanya membayar seperempat diyat Satinah.

Gatot mengatakan hukum acara di Arab Saudi sebenarnya sudah mengatur besarnya diyat adalah 400 ribu riyal untuk korban laki-laki (sekitar Rp 1,2 miliar) dan 200 ribu diyat buat korban perempuan. "Tapi itu nilai minimal." Nilai yang melonjak sangat besar dimungkinkan datang dari permintaan keluarga korban. Dasar argumennya kembali pada surat Al-Baqarah yang memberi tempat utama kepada keluarga korban dalam memutuskan diyat.

Di Arab Saudi, kata Gatot, diyat minimal dikenakan pada kasus pembunuhan yang tidak disengaja. Sedangkan kebanyakan kasus pembunuhan besar tak memiliki batas uang tebusan. Ia pernah membaca ada warga Arab yang membayar diyat hingga 60 juta riyal (sekitar Rp 180 miliar) sehingga membuat susah keluarga dan suku pelaku. "Untuk TKI, rekornya Satinah," ujarnya.

Dengan nilai tanpa batas tersebut, tak mengherankan jika keluarga pembunuh menyewa pengacara atau juru runding untuk menegosiasikan tebusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, menelepon dan mengirim surat permintaan bantuan kepada Raja Arab Saudi. "Tapi Raja hanya bisa membujuk, tak sampai membebaskan. Seratus persen keputusan ada di tangan keluarga korban," ucap Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi periode 2010-2013 ini.

Pesan raja dalam kasus kisas, kata Gatot, disampaikan melalui Lembaga Pemaafan. Lembaga ini pula yang memfasilitasi negosiasi tim Satgas Indonesia dengan para kepala suku, syekh, dan keluarga korban. Lembaga ini diketuai oleh Wakil Gubernur Al-Qassim Dr Faisal bin Mishaal bin Saud bin Abdulaziz.

Hasil negosiasi itu, seperti diungkapkan Maftuh, berupa pembebasan Satinah setelah 7 juta riyal diyat diterima keluarga Nura binti Muhammad Al-Garib nanti. Tapi pembebasan itu disertai catatan bahwa keluarga Nura lebih dulu menyelesaikan masalah internal mereka.

Tatang Budi Utama Razak, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Internasional Kementerian Luar Negeri yang juga anggota tim Satgas, mengaku masih menyimpan cemas atas nasib Satinah. Ia mengatakan tujuh ahli waris korban terpecah dalam menyikapi diyat: dua orang sangat keras menginginkan eksekusi, tiga orang memberikan pemaafan, dan dua lainnya menerima apa pun keputusan bersama yang dibuat.

Dua ahli waris yang menghendaki eksekusi, kata Tatang, marah karena pemberitaan di Indonesia menyebutkan Satinah membunuh karena sering dianiaya. "Padahal ibu mereka berusia 70 tahun dan duduk di kursi roda. Mereka tak terima orang tua mereka dibilang jahat," ujar Tatang.

Jika amarah itu terus berlanjut, bukan mustahil hasrat Nur Apriyani menikah dengan didampingi sang ibu akan berakhir sia-sia.

Erwin Zachri, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus