THE MIKADO
Karya: W.S. Gilbert & A. Sullivan
Sutradara: Andy Auric Thespian
Produksi: Paduan Suara Divina
Konduktor: Yudianto Hinupurwadi
NANKI Poo mencium Yum Yum, kekasihnya: cup. Yum Yum membalas
cup. Ketika percintaan makin menggelora, terdengar bunyi cup cup
cup yang seru. Tentu saja penonton, yang memenuhi Studio V RRI
Jakarta 8 dan 9 Juli itu, tertawa-tawa. Juga Ny. Nelly Adam
Malik dan Menko Kesra Surono yang pada malam pertama ikut
menyaksikan operet The Mikado.
Dimainkan sekitar 35 orang -- dari kelompok Paduan Suara Divina
pimpinan Max Rukmarata -- pementasan itu terbilang meriah.
Terkadang malah hiruk-pikuk panggung seperti diserbu sekelompok
penyanyi mabuk yang kehabisan tempat.
Andy Auric Thespian, 27 tahun, sutradaranya, nampak agak
kesulitan menyusun blocking. Nama bekas bintang film (Mama,
Suster Maria, misalnya) yang barusan pulang dari belajar akting
di London itu, cukup menunjukkan kecermatannya -- khususnya pada
disain pakaian pemain. Ia mengaku mengadakan riset lebih dulu
sebelum menyuruh buat kostum model Jepang yang menghabiskan
sekitar Rp 4 juta.
Potongan maupun warnanya memang memberi kesan gemerlap, dan itu
menjadi unsur penting yang -- setidak-tidaknva -- membuat
pertunjukan masih enak ditonton. Tapi memang, sebagai mana
diakui Andy -- bekas anak buah'Teguh Karya di Teater Populer --
tak ada akting. Bisa dimaklumi: mereka anggota sebuah kelompok
paduan suara, bukan para aktor.
"Di sini 'kan tidak ada aktor opera," ujar Andy yang baru sekali
itu menyutradarai (operet). Sudah tentu dengan modal pemain yang
hanya pandai mengolah vokal, sutradara muda itu pusing juga. Dan
ia jadi tak berani ambil risiko untuk memberikan dialog beberapa
kalimat saja -- yang sebenarnya ada dalam skenario -- kepada
mereka. Pernah, katanya, dialog hendak disisipkan secara play
back. Tapi lantas diurungkannya.
Kawin Kontrak
Meski begitu, tontonan yang juga melibatkan para penari balet
(yang kayaknya baru belajar) asuhan Farida Feisol itu, cukup
menghibur. Terutama karena juga musik yang dimainkan Orkes
Simfoni RRI Jakarta terbilang "ringan". Itu saja sudah
mematahkan kaki sutradaranya, akibat kecelakaan ketika
pentas-coba.
Kisah yang di samping dinyanyikan juga dituturkan narator James
Wrightsman itu (pemain teater Jakarta Players), sesungguhnya
cukup kocak. Nanki Poo (Deddy Lesmana), putra Kaisar Mikado (Dr.
Vincent Gan), jatuh cinta kepada Yum Yum (Dr. Mandarwati
Wijayakusumah). Tapi Yum Yum yang anak jelata sudah dijodohkan
dengan Koko (Dr. Abimanyu Sahir), tukang jahit.
Koko kemudian menjadi seorang algojo -- setelah ia dipenjarakan
dengan vonis hukuman mati, karena dituduh menyeleweng. Kaisar
Mikado tiba-tiba memerintahkan si algojo melakukan upacara
pemenggalan kepala. Tentu saja ia bingung mencari calon korban.
Untunglah ada Nanki Poo yang -- karena patah hati sebab tak
mungkin memiliki Yum Yum -- ingin bunuh diri. Koko lantas
membujuknya agar rela jadi sasaran pemenggalan -- daripada mati
konyol. Imbalannya: ia boleh 'kawin kontrak' dengan Yum Yum
untuk satu bulan. Soalnya, kalau Koko tak berhasil melaksanakan
perintah, ia bakal kena hukum.
Nanki Poo -- yang sebenarnya sudah dijodohkan dengan Katisha
(Elsini Tirta), gadis ningrat yang tua dan jelek-pun menikah
dengan Yum Yum si jantung hati. Dan ketika tiba saatnya ia harus
dipenggal, Katisha dan Mikado mengetahuinya. Tentu saja
pemenggalan dibatalkan -- sebab kalau tidak, cerita 'kan tidak
menyenangkan.
"Sayang, dialog-dialognya yang kocak itu harus dihilangkan,"
keluh Andy Auric. Sehingga, lakon yang seluruhnya disampaikan
dalam bahasa Inggris itu menjadi kurang utuh.
Sayang pula, tak ada usaha menggantikan bagian yang terbuang itu
-- yang memang kelihatan tetap sulit, mengingat modal yang
dimiliki para pendukung. Mungkin sama sulitnya dengan misalnya
menerjemahkan kisah itu ke dalam bahasa Indonesia, ataupun
mengadaptasi. Apalagi bentuk aslinya yang asing 'kan lebih
mentereng.
YANMM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini