Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Operet cup cup cup

Karya: w.s gilbert & a. sullivan sutradara: andy auric thespian produksi: paduan suara divina konduktor: yudianto hinupurwadi. ( ter).

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE MIKADO Karya: W.S. Gilbert & A. Sullivan Sutradara: Andy Auric Thespian Produksi: Paduan Suara Divina Konduktor: Yudianto Hinupurwadi NANKI Poo mencium Yum Yum, kekasihnya: cup. Yum Yum membalas cup. Ketika percintaan makin menggelora, terdengar bunyi cup cup cup yang seru. Tentu saja penonton, yang memenuhi Studio V RRI Jakarta 8 dan 9 Juli itu, tertawa-tawa. Juga Ny. Nelly Adam Malik dan Menko Kesra Surono yang pada malam pertama ikut menyaksikan operet The Mikado. Dimainkan sekitar 35 orang -- dari kelompok Paduan Suara Divina pimpinan Max Rukmarata -- pementasan itu terbilang meriah. Terkadang malah hiruk-pikuk panggung seperti diserbu sekelompok penyanyi mabuk yang kehabisan tempat. Andy Auric Thespian, 27 tahun, sutradaranya, nampak agak kesulitan menyusun blocking. Nama bekas bintang film (Mama, Suster Maria, misalnya) yang barusan pulang dari belajar akting di London itu, cukup menunjukkan kecermatannya -- khususnya pada disain pakaian pemain. Ia mengaku mengadakan riset lebih dulu sebelum menyuruh buat kostum model Jepang yang menghabiskan sekitar Rp 4 juta. Potongan maupun warnanya memang memberi kesan gemerlap, dan itu menjadi unsur penting yang -- setidak-tidaknva -- membuat pertunjukan masih enak ditonton. Tapi memang, sebagai mana diakui Andy -- bekas anak buah'Teguh Karya di Teater Populer -- tak ada akting. Bisa dimaklumi: mereka anggota sebuah kelompok paduan suara, bukan para aktor. "Di sini 'kan tidak ada aktor opera," ujar Andy yang baru sekali itu menyutradarai (operet). Sudah tentu dengan modal pemain yang hanya pandai mengolah vokal, sutradara muda itu pusing juga. Dan ia jadi tak berani ambil risiko untuk memberikan dialog beberapa kalimat saja -- yang sebenarnya ada dalam skenario -- kepada mereka. Pernah, katanya, dialog hendak disisipkan secara play back. Tapi lantas diurungkannya. Kawin Kontrak Meski begitu, tontonan yang juga melibatkan para penari balet (yang kayaknya baru belajar) asuhan Farida Feisol itu, cukup menghibur. Terutama karena juga musik yang dimainkan Orkes Simfoni RRI Jakarta terbilang "ringan". Itu saja sudah mematahkan kaki sutradaranya, akibat kecelakaan ketika pentas-coba. Kisah yang di samping dinyanyikan juga dituturkan narator James Wrightsman itu (pemain teater Jakarta Players), sesungguhnya cukup kocak. Nanki Poo (Deddy Lesmana), putra Kaisar Mikado (Dr. Vincent Gan), jatuh cinta kepada Yum Yum (Dr. Mandarwati Wijayakusumah). Tapi Yum Yum yang anak jelata sudah dijodohkan dengan Koko (Dr. Abimanyu Sahir), tukang jahit. Koko kemudian menjadi seorang algojo -- setelah ia dipenjarakan dengan vonis hukuman mati, karena dituduh menyeleweng. Kaisar Mikado tiba-tiba memerintahkan si algojo melakukan upacara pemenggalan kepala. Tentu saja ia bingung mencari calon korban. Untunglah ada Nanki Poo yang -- karena patah hati sebab tak mungkin memiliki Yum Yum -- ingin bunuh diri. Koko lantas membujuknya agar rela jadi sasaran pemenggalan -- daripada mati konyol. Imbalannya: ia boleh 'kawin kontrak' dengan Yum Yum untuk satu bulan. Soalnya, kalau Koko tak berhasil melaksanakan perintah, ia bakal kena hukum. Nanki Poo -- yang sebenarnya sudah dijodohkan dengan Katisha (Elsini Tirta), gadis ningrat yang tua dan jelek-pun menikah dengan Yum Yum si jantung hati. Dan ketika tiba saatnya ia harus dipenggal, Katisha dan Mikado mengetahuinya. Tentu saja pemenggalan dibatalkan -- sebab kalau tidak, cerita 'kan tidak menyenangkan. "Sayang, dialog-dialognya yang kocak itu harus dihilangkan," keluh Andy Auric. Sehingga, lakon yang seluruhnya disampaikan dalam bahasa Inggris itu menjadi kurang utuh. Sayang pula, tak ada usaha menggantikan bagian yang terbuang itu -- yang memang kelihatan tetap sulit, mengingat modal yang dimiliki para pendukung. Mungkin sama sulitnya dengan misalnya menerjemahkan kisah itu ke dalam bahasa Indonesia, ataupun mengadaptasi. Apalagi bentuk aslinya yang asing 'kan lebih mentereng. YANMM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus