Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Orang Biasa di Atas Panggung

Mahkamah bercerita tentang evaluasi diri seseorang pada akhir hidupnya. Karya Asrul Sani yang menuntut penghayatan dan pemahaman aktornya.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pentas dibuka dengan adegan pagi hari, saat Saiful Bahri (Ray Sahetapy) yang tengah sakit di kursi roda menanti sarapannya. Beberapa tahun belakangan ini Bahri sakit, sehingga tak lagi bisa memimpin perusahaannya. Sebuah perusahaan yang diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan para veteran perang. Jenderal Saiful Bahri ini adalah bekas pejuang yang memiliki prinsip sangat kuat. Sakit liver yang parah membuatnya merasa sebentar lagi bakal meninggal.

Sang istri, Murni (Mutiara Sani), setia menemani Bahri. Murni adalah mantan tenaga Palang Merah Indonesia saat perang revolusi. Menjelang kematiannya, Bahri didatangi dua orang cerminan dirinya (seperti malaikat pencatat kebaikan dan keburukan). Mereka mempermasalahkan Bahri sebagai pembunuh yang berdosa. Ternyata, dalam sejarah perjuangannya, Bahri telah memerintahkan menembak mati bawahannya, Kapten Anwar. Kapten ini sebelumnya telah mengikat janji menikahi Murni. Akhirnya sebuah mahkamah moral dihadirkan.

Kamis pekan lalu, naskah Mahkamah karya Asrul Sani kembali dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Penyair Jose Rizal Manua yang menyutradarainya mencoba mementaskan dengan setia pada naskah, namun memberikan interpretasi sendiri.

Naskah ini sangat ketat dalam bahasa. Ya, Asrul memang sangat paham pada arti kelengkapan yang harus dimiliki oleh dialog drama. Kelengkapan yang membuat dialog naskah drama ini jauh lebih kaya ketimbang naskah film. Tak pelak, malam itu para aktor harus memahami betul dialog sekaligus logika dialognya. Mereka benar-benar dituntut menjadi seorang aktor yang baik.

Sejak awal adegan, Jose tampak ketat menempatkan perlu-tidaknya sebuah adegan ditampilkan. Sehingga hampir tak ada adegan ataupun properti yang tak perlu muncul. Cuma, pada babak kedua ketika terjadi persidangan, sekumpulan pemain sebagai penonton sidang tampak mati. Total pada bagian kedua pementasan ini mereka diam terus tak ada reaksi. Kalau toh mereka ini dihilangkan sebenarnya tak begitu mengganggu cerita itu sendiri. Namun Jose punya alasan sendiri. ”Ini memang saya buat begitu, untuk menjaga wibawa sidang, penonton kan harus diam,” ujarnya.

Pada adegan awal, akting Ray Sahetapy sebagai seorang penderita liver yang mendekati kematian kurang mengena. Bicaranya masih lantang, sebagai gambaran seorang militer. Kesan sakit yang ia tampilkan di atas kursi roda menjadi pudar. Untungnya, pada adegan-adegan berikutnya karakter Saiful Bahri yang menderita menguat, seperti gerakan kecil pada tangan yang gemetar. Permainan menarik, karakter kuat, vokal yang prima dipertontonkan Aspar Paturusi, 64 tahun yang bermain sebagai Citra II dan Jaksa Penuntut Umum. Tak mengherankan, ia telah menggeluti dunia teater selama separuh abad. Staminanya masih prima untuk ikut berproses selama enam bulan.

Mutiara Sani memiliki kedekatan emosional dengan perannya. Pada saat penulisan naskah ini, Mutiara tengah mengandung Gibran. Nah, pada pentas ini, Murni yang ia perankan tengah mengandung juga. Makanya, penghayatan Mutiara Sani terlihat penuh. Mungkin saja ini juga dikuatkan dengan baju piyama asli milik Asrul Sani yang dipakai Ray Sahetapy dalam pentas. Tapi Mutiara menolak jika penggunaan baju ini untuk memancing emosinya.

Bagaimanapun, pementasan Mahkamah oleh Sanggar Pelakon ini mencoba menghadirkan Asrul Sani. Sejak masuk aula Graha Bhakti Budaya, penonton sudah disambut berbagai barang berharga milik Asrul Sani, mulai dari deretan mesin ketik elektrik, meja kerja, kursi baca, buku-buku, hingga beberapa kaset video karyanya. Asrul Sani mau tak mau bukan orang biasa, meski ia mewasiatkan kepada keluarganya bahwa ia ingin menjadi orang biasa saja.

Asrul Sani menyelesaikan naskah ini bersama sang istri pada 1984. Bahu-membahu menyelesaikan naskah yang mulanya hanya dipentaskan di televisi. ”Ini memang kita ambil dari kehidupan keseharian kita,” tutur Mutiara Sani.

Mahkamah pertama kali muncul versi layar kaca di TVRI pada 1984. Empat tahun berikutnya, naskah ini diangkat Asrul Sani dalam pertunjukan teater di Gedung Kesenian Jakarta. Ia sendiri yang memegang penyutradaraan pentas.

Andi Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus