Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA kado istimewa diantar untuk Grup Bakrie bulan ini. Belum lama ini, pemerintah mengumumkan pemberian dana talangan untuk perbaikan infrastruktur akibat semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. senilai Rp 3,8 triliun. Pekan lalu, Grup Bakrie menerima hadiah baru: pinjaman senilai Rp 1,39 triliun dari dua bank milik negara.
Kado terakhir itu disampaikan dalam sebuah acara penandatanganan kerja sama yang cukup meriah di sebuah hotel bintang lima Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Hadir dalam acara itu, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Sofyan Basir, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Sigit Pramono, serta penerus Grup Bakrie, Anindya Bakrie. Anak Aburizal Bakrie, pendiri Grup Bakrie, ini terlihat murah senyum hari itu.
Sebagai penerus generasi bapak dan kakeknya, Anindya agaknya berbangga. Ia mencatat sejarah. Hari itu ia mendapat pinjaman yang nilainya wah. Bukan itu saja. Proyek jalan tol Kanci (Cirebon)-Pejagan (Brebes) yang ditandatangani kreditnya hari itu merupakan proyek tol pertama yang digarap oleh Grup Bakrie melalui anak perusahaan, PT Semesta Marga Raya. Saham Semesta dimiliki oleh PT Bakrie Investindo 35 persen, PT Satria Cita Perkasa 25 persen, Transglobal Finance Ltd. 25 persen, dan Pan Galactic Investment Ltd. 15 persen.
Total investasi yang dikucurkan untuk jalan tol sepanjang 35 kilometer ini mencapai Rp 2,1 triliun. Dari jumlah itu sebanyak 70 persen berasal dari pinjaman, yakni Rp 897,6 miliar dari BNI dan Rp 483,3 miliar dibiayai BRI. Suku bunga pinjaman 14 persen dan jangka waktu 10 tahun. Sedangkan kelompok usaha Bakrie memasok dana internal sebesar Rp 734 miliar.
Dalam acara yang disertai telekonferensi dengan pejabat Semesta di Cire-bon, Anindya dan para krunya cukup antusias meyakinkan bahwa Bakrie mampu mewujudkan proyek ini. Itu dibuktikan dengan pembebasan lahan yang dikatakannya berjalan lebih cepat. Bahkan jalan sepanjang 14 kilometer untuk seksi pertama sudah dibebaskan dengan dana talangan Badan Layanan Umum Rp 122 miliar. Pembangunan konstruksi dijadwalkan pada 29 Mei. ”Kami optimistis jalan tol ini dapat beroperasi pada Juni 2008, lebih cepat dari target semula 2009,” ujar Direktur Utama Semesta, Sahid Mahudie.
Sigit dan Sofyan, dua petinggi bank pemerintah, rupanya oke-oke saja, sebab, menurut Sigit, proses pemberian kredit sudah mengikuti semua prosedur yang benar. Semesta sudah mengikuti saringan berlapis oleh Badan Pengatur Jalan Tol, baik dari sisi kemampuan teknis maupun keuangan. Kredit ini diyakini didasarkan atas studi kela-yakan, termasuk asumsi jumlah kendaraan dan tarif yang menjanjikan. ”Seandainya proyek itu macet, pemerintah turut memberi jaminan. Tapi, itu jaminan perpanjangan masa konsesi, bukan jaminan kredit,” Sofyan menjelaskan.
Meski kedua bos bank pelat merah cukup yakin dengan keamanan kredit itu, kalangan ekonom justru merasa cemas. Ekonom Faisal Basri heran mengapa Grup Bakrie yang tak berpengalaman membangun jalan tol seperti halnya PT Jasa Marga mendapat pinjaman cukup besar dari bank negara. Bahkan BRI yang keahliannya di kredit usaha kecil menengah dan pertanian malah ikut-ikutan membiayai proyek infrastruktur. ”Ini kan berisiko macet,” ujar Faisal.
Anggota DPR Dradjad H. Wibowo dan ekonom Iman Sugema mempertanya-kan soal jaminan pemerintah untuk Grup Bakrie. Menurut dia, pemerintah terkesan pilih kasih karena jaminan dalam jumlah besar lebih dulu diberikan kepada grup terkait dengan penguasa, sementara jaminan untuk proyek monorel yang bakal dinikmati rakyat banyak tidak jelas. ”Jadi, wajar kalau masyarakat bertanya-tanya.”
Masalah yang lebih besar adalah Grup Bakrie sedang menghadapi lumpur Lapindo. Menurut Dradjad, harus ada jaminan bahwa kredit BNI dan BRI tidak dialihkan untuk kepentingan Lapindo. Semesta sebagai debitor juga harus diproteksi dari klaim terhadap Lapindo, termasuk klaim yang dikenakan secara pribadi terhadap pemegang saham. Namun, Dradjad dan Iman tetap khawatir kelompok usaha besar itu akan memanfaatkan kredit jalan tol untuk kepentingan Lapindo yang membutuhkan dana besar.
Bayangkan, sampai saat ini Bakrie masih kesulitan menangani lumpur panas itu. Padahal, luapan lumpur ini telah mengubur 10 ribu rumah, memaksa 15 ribu warga mengungsi, 20 ribu orang kehilangan pekerjaan, berbagai infrastruktur rusak parah. Bahkan ekonomi Jawa Timur menjadi lumpuh. ”Jadi, patut dicurigai mengapa Bakrie tertarik membangun jalan tol,” katanya.
Berbagai kekhawatiran itu ditepis oleh Sofyan dan Sigit. Menurut kedua bankir, pinjaman tidak bisa dicampuradukkan dengan masalah Lapindo yang dihadapi Bakrie. BRI atau BNI adalah bank negara yang berorientasi bisnis. Pemberian pinjaman ke Semesta semata-mata adalah pertimbangan bisnis yang menguntungkan bagi bank. Bahwa ada perusahaan Bakrie yang bermasalah, memang benar. ”Tapi, mengacu kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas, perusahaan lain tidak harus ikut kena getahnya.”
Pinjaman ini, kata Sofyan, justru diberikan untuk membantu pemerintah menggerakkan sektor riil, mengatasi pengangguran, dan mengurangi kemiskinan. Ini lantaran bank negara mengemban misi sebagai agen pembangunan seperti berulang kali ditekankan pemerintah dan Bank Indonesia. Apalagi, pinjaman diberikan bukan hanya untuk Bakrie. Jasa Marga malah mendapatkan pinjaman lebih besar, Rp 7,2 triliun dari tiga bank negara. ”Apakah Anda senang duit BRI hanya disimpan di Sertifikat Bank Indonesia?” ia balik bertanya.
Sofyan justru mempertanyakan sikap bank-bank swasta yang lebih suka mencari untung untuk kartu kredit dan kredit konsumer yang berbunga 36 persen per tahun. Ini jauh lebih besar ketimbang kredit infrastruktur yang berbunga cuma 14 persen per tahun. ”Karena itu bank-bank negara perlu lebih berperan di infrastruktur.”
Soal tudingan bahwa Bakrie tak punya pengalaman membangun jalan tol dibantah oleh Direktur Utama BNI. Menurut Sigit, sebagian dari personel manajemen Semesta terdiri atas mantan pejabat di PT Jasa Marga yang sudah berpengalaman dalam pembangunan dan pengoperasian jalan tol.
Lantas, bagaimana komentar Keluarga Bakrie atas kekhawatiran kredit tol dimanfaatkan untuk menangani lumpur Lapindo? ”Nggak ada urusan Lapindo sama tol,” ujar Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie seusai rapat di Departemen Pendidikan Nasional pekan lalu. ”Justru bagus ada swasta yang mau memulai membangun jalan tol.”
Dalam sebuah wawancara khusus dengan Tempo pada September tahun lalu, Anindya menekankan bahwa lumpur Lapindo tak akan mengganggu perusahaan-perusahaan Bakrie yang lain. Faktanya, sampai akhir 2006, kinerja perusahaan Bakrie memang tak terpengaruh Lapindo. Sebut saja Bakrie Brothers, Bakrie Sumatra Plantation, dan Bakrie Telecom kinerjanya tetap kinclong dengan pertumbuhan pendapatan 31–131 persen. Bahkan PT Energi Mega Persada yang menjadi pengendali Lapindo masih untung Rp 237,5 miliar tahun lalu.
Karena yakin Semesta juga tak terganggu, Anindya pekan lalu optimistis bisa memenuhi komitmen mewujudkan proyek jalan tol yang telah dijanjikan.
Pertanyaannya, setelah mengantongi kredit dari bank negara, apakah keluarga Bakrie, yang menurut majalah Forbes Asia memiliki kekayaan US$ 1,2 miliar atau Rp 10,8 triliun, tetap teguh memegang janji membantu penuh korban Lapindo?
Heri Susanto, Retno Sulistyowati,Suryani Ika Sari, Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo