Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
300 Pemain: Gerard Butler, Lena Headey, Dominic West, David Wenham, Rodrigo Santoro Naskah: Frank Miller (novel grafis), Zack Snyder (skenario) Sutradara: Zack Snyder Produksi: Legendary Pictures (2006)
Leonidas berlutut. Raja Sparta itu telah menjatuhkan tombak dan perisai. Xerxes, raja Persia yang berdiri jauh di depannya, tersenyum penuh kemenangan. Sparta yang tangguh akhirnya jatuh. Tapi tidak, Leonidas tak kenal menyerah. SeÂcepat kilat ia melontarkan tombak ke arah Xerxes, menyobek mulutnya. Secepat itu pula ratusan panah pasukan Persia menembus dada Leonidas.
Sutradara Zack Snyder menggambarkan akhir peperangan klasik antaÂra Sparta dan Persia di bukit Thermopylae pada 480 Sebelum Masehi itu bak sapuan maestro seni rupa di atas kanvas. Darah yang muncrat dari mulut Xerxes tampil seperti sabetan kuas penuh cat merah di secarik lukisan. Dan panahpanah itu tergambar bagai goresangoresan tinta yang mengarsir keseluruhan lukisan.
Snyder mengemas sapuan kameraÂnya itu dalam irama musik heavy meÂtal yang kental. Cepat, bising, lalu tiÂbatiba melambat, dan larut dalam meÂlodi kesedihan. Kemudian di ujung adeÂgan ia membekukan gambar 300 ÂtuÂbuh ksatria Sparta yang tersungkur. Persis seperti panel dari novel ÂgraÂfis Frank Miller (produksi Dark Horse Comics) yang tersohor itu.
Film 300 adalah visualisasi tiga dimensi dari novel grafis Miller 1998 yang berjudul sama. Miller sendiri mengÂgambar epos di bukit ThermopyÂlae, Yunani, itu setelah terinspirasi oleh film The 300 Spartans (1962) karÂya Rudolph Maté. Jadi, 300 layaknya perjalanan pulang sebuah sinema. ÂBedanya, tentu saja pada gaya ungkap sang sutradara. Maté memilih realistis, Snyder memilih lebih komikal.
Miller tersentuh oleh kisah heroisÂme Leonidas, sang ksatria pembuka perÂadaban Barat, dari film Maté. Ia tak memeriksa kembali sejarah asli konÂflik YunaniPersia itu. Begitu pula SnyÂder. Ia seratus persen percaya pada Miller. Maka, wajar jika pemerintah Iran kemudian memprotes penggambaran pasukan Persia yang keji di film ini. Stereotipe Barat masih hinggap di film ini.
Tapi layar Snyder mesti dipahami dari sisi bagaimana sang sutradara menafsirkan gambar komik ke dalam film. Apakah Snyder mengambil jalan Robert Rodriguez ketika menggarap Sin City—juga karya Miller—atau mengikuti David Cronenberg saat mengolah A History of Violence (2005), novel grafis karya John Wagner? RodriÂguez taat sepenuhnya pada panelpaÂnel Miller yang hitamputih. Bayangan dan ekspresi pemain pun seluruhnya diadaptasi dari komik. Sedangkan Cronenberg meremukkan karÂya Wagner dan menjadikannya karya sendiri.
Sutradara 41 tahun itu memilih cara James McTeigue ketika menaklukkan novel grafis V for Vendetta (2005) karya Alan Moore. Ia patuh pada garis besar cerita dan angle gambar Miller, tapi memilih warna dan detail dramanya sendiri. Warna sepia dan bahkan biru yang over menonjol hampir sepanjang film. Gambar pun diambil dengan kecepatan gulung pita seluloid yang tak biasa—dua kali lipat dari kecepatan film normal yang cuma 7,2 meter per detik. Ia juga mengandalkan komputer grafis yang secanggih film The Lord of The Rings karya Peter Jackson.
Alhasil, 300 pun tampil kolosal dan megah. Pertarungan 300 ksatria SparÂta melawan 10 ribu pasukan Persia bak pertempuran pasukan Gandalf melawan kerajaan setan Mordor dalam The Lord of The Rings. Pelbagai macam ÂheÂwan aneh dan manuÂsiamanusia raksaÂsa merangsek ke medan pertempuran.
Nilai lebih sutradara yang juga diperÂcaÂya menggarap novel grafis Watchmen karya Alan Moore pada tahun depan itu ada pada sentuhan koÂreÂoÂgraÂfi pada setiap pertempuran. SnyÂder juga memperhatikan betul efek ruÂpa dari seÂtiap gambar. Kekerasan dan daÂrah yang mendominasi film ini—juÂga kepaÂlakepala yang terpenggal dari tuÂbuh—miÂsalnya, sama sekali tak tamÂpak menjijikkan, sebaliknya justru artisÂtik.
Maka, menyaksikan film yang meÂraÂih boxoffice pekan lalu itu—meraup US$ 71 juta dalam minggu pertama dan langsung menutup biaya produksi yang cuma US$ 60 juta—bagai menyaksikan pameran lukisan impresioÂnistis sepanjang hampir dua jam di laÂyar sinema. Di sini penonton akan seÂgera bisa membandingkan dengan filmfilm terdahulu yang mengisahkan para ksatria Yunani. Terasa benar, setelah mengalami gelegar film 300, maka filmfilm seperti Troy, Alexander, dan Kingdom of Heaven menjadi film yang kelewat tenang dan sopan.
Yos Rizal Suriaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo