Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kanvas untuk Perang Sparta

Terinspirasi oleh novel grafis Frank Miller tentang perang klasik pasukan Sparta versus Persia. Karya indah Zack Snyder.

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

300 Pemain: Gerard Butler, Lena Headey, Dominic West, David Wenham, Rodrigo Santoro Naskah: Frank Miller (novel grafis), Zack Snyder (skenario) Sutradara: Zack Snyder Produksi: Legendary Pictures (2006)

Leonidas berlutut. Raja Sparta­ itu telah menjatuhkan tombak dan perisai. Xerxes, raja Persia yang berdiri jauh di depannya, tersenyum penuh kemenangan. Sparta­ yang tangguh akhirnya jatuh. Tapi tidak, Leonidas tak kenal menyerah. Se­cepat kilat ia melontarkan tombak ke arah Xerxes, menyobek mulutnya. Secepat itu pula ratusan panah pasukan Persia menembus dada Leonidas.

Sutradara Zack Snyder menggambarkan akhir peperangan klasik anta­ra Sparta dan Persia di bukit Thermopylae pada 480 Sebelum Masehi itu bak sapuan maestro seni rupa di atas kanvas. Darah yang muncrat dari mulut Xerxes tampil seperti sabetan kuas penuh cat merah di secarik lukisan. Dan panahpanah itu tergambar bagai goresangoresan tinta yang mengarsir keseluruhan lukisan.

Snyder mengemas sapuan kamera­nya itu dalam irama musik heavy me­tal­ yang kental. Cepat, bising, lalu ti­batiba melambat, dan larut dalam me­lodi kesedihan. Kemudian di ujung ade­gan ia membekukan gambar 300 ­tu­buh ksatria Sparta yang tersungkur. Persis seperti panel dari novel ­gra­fis Frank Miller (produksi Dark Horse Comics) yang tersohor itu.

Film 300 adalah visualisasi tiga dimensi dari novel grafis Miller 1998 yang berjudul sama. Miller sendiri meng­gambar epos di bukit Thermopy­lae, Yunani, itu setelah terinspirasi­ oleh film The 300 Spartans (1962) kar­ya Rudolph Maté. Jadi, 300 layaknya perjalanan pulang sebuah sinema. ­Bedanya, tentu saja pada gaya ungkap sang sutradara. Maté memilih realistis, Snyder memilih lebih komikal.

Miller tersentuh oleh kisah herois­me­ Leonidas, sang ksatria pembuka per­adaban Barat, dari film Maté. Ia tak memeriksa kembali sejarah asli kon­flik­ YunaniPersia itu. Begitu pula Sny­der. Ia seratus persen percaya pada Miller. Maka, wajar jika pemerintah Iran kemudian memprotes penggambaran pasukan Persia yang keji di film ini. Stereotipe Barat masih hinggap di film ini.

Tapi layar Snyder mesti dipahami dari sisi bagaimana sang sutradara menafsirkan gambar komik ke dalam film. Apakah Snyder mengambil jalan Robert Rodriguez ketika menggarap Sin City—juga karya Miller—atau mengikuti David Cronenberg saat mengolah A History of Violence (2005), novel grafis karya John Wagner? Rodri­guez taat sepenuhnya pada panelpa­nel Miller yang hitamputih. Bayangan dan ekspresi pemain pun seluruhnya diadaptasi dari komik. Sedangkan Cronenberg meremukkan kar­ya Wagner dan menjadikannya karya sendiri.

Sutradara 41 tahun itu memilih cara James McTeigue ketika menaklukkan­ novel grafis V for Vendetta (2005) karya Alan Moore. Ia patuh pada garis besar cerita dan angle gambar Miller, tapi memilih warna dan detail dramanya sendiri. Warna sepia dan bahkan biru yang over menonjol hampir sepanjang film. Gambar pun diambil dengan kecepatan gulung pita seluloid yang tak biasa—dua kali lipat dari kecepatan film normal yang cuma 7,2 meter per detik. Ia juga mengandalkan komputer­ grafis yang secanggih film The Lord of The Rings karya Peter Jackson.

Alhasil, 300 pun tampil kolosal dan megah. Pertarungan 300 ksatria Spar­ta melawan 10 ribu pasukan Persia­ bak pertempuran pasukan Gandalf melawan kerajaan setan Mordor dalam The Lord of The Rings. Pelbagai macam ­he­wan aneh dan manu­siamanusia raksa­sa merangsek ke medan pertempuran.

Nilai lebih sutradara yang juga diper­ca­ya menggarap novel grafis Watchmen­ karya Alan Moore pada tahun­ depan itu ada pada sentuhan ko­re­o­gra­fi pada setiap pertempuran. Sny­der juga memperhatikan betul efek ru­pa­ dari se­tiap gambar. Kekerasan dan da­rah yang mendominasi film ini—ju­ga kepa­lakepala yang terpenggal dari tu­buh­—mi­salnya, sama sekali tak tam­pak­ menjijikkan, sebaliknya justru artis­tik.

Maka, menyaksikan film yang me­ra­ih boxoffice pekan lalu itu—meraup US$ 71 juta dalam minggu pertama dan langsung menutup biaya produksi yang cuma US$ 60 juta—bagai menyaksikan pameran lukisan impresio­nistis sepanjang hampir dua jam di la­yar sinema. Di sini penonton akan se­gera bisa membandingkan dengan filmfilm terdahulu yang mengisahkan para ksatria Yunani. Terasa benar, setelah mengalami gelegar film 300, maka filmfilm seperti Troy, Alexander, dan Kingdom of Heaven menjadi film yang kelewat tenang dan sopan.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus