Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Daripada UU Kebahasaan

19 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Bujono

  • Wartawan

    PEMBACAAN cerita silat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, mengingatkan kembali betapa bahasa Melayu Betawi memperkaya bahasa Indonesia. Dulu, pada tahun 1960-an atau sebelumnya, oleh guru-guru bahasa Indonesia (terutama di daerah yang tak begitu mengenal dialek Betawi) bahasa cerita silat ini dikecam sebagai ”bahasa yang merusak”. Misalnya mendusin, mengegos, melengak, ngambul, mengaung, menyampok, molos, dan pelabi.

    Acara di pertengahan bulan lalu itu juga mengingatkan pada sastra Melayu Tionghoa yang disebut juga Melayu rendah, yang sudah hidup pada abad ke-19 di Hindia Belanda. Dalam hal sastra ini, ”kekhasan” itu antara lain karena cara menuliskan bunyi kata begitu ”subyektif”: diya (dia), nyang (yang), brangkat (berangkat), prenta (perintah), stenga (setengah), tida (tidak), buwat (buat), dan banyak lagi.

    Melayu rendah inilah bahasa sehari-hari di seluruh Hindia Belanda. Bahasa ini menyebar ke seluruh Nusantara, berawal dari Samudra Pasai (Aceh) pada abad ke-13, kemudian meluas ke berbagai penjuru, dibawa para pedagang atau penyebar agama Islam. Bahasa pergaulan ini makin hari makin luas pemakainya. Karena itu, ketika kaum pergerakan mencari bahasa persatuan untuk menyatukan berbagai etnis di Nusantara, dipilihlah bahasa Melayu ini, yang disebut sebagai bahasa Indonesia (peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Sebelumnya, lewat perjuangan antara lain Ki Hadjar Dewantara, bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pribumi. Ki Hadjar mengusulkan ini pada 1916, karena ”untuk mempelajarinya tidak diperlukan banyak dasar filologi dan yang sudah lama menjadi bahasa pengantar di antara orang Eropa dan penduduk pribumi dan juga di antara penduduk pribumi dari berbagai bagian dari Insulinde...” (lihat Ki Hadjar Dewantara, Kebudajaan, 1967, halaman 154). Pemerintah kolonial punya sumbangan juga dalam memudahkan bahasa Melayu menyebar: dibakukannya ejaan Melayu dalam huruf Latin pada 1901, yang kemudian disebut ejaan Van Ophuysen.

    Pengantar yang agak panjang ini sekadar mengingatkan kembali bahwa bahasa Melayu rendahlah yang memungkinkan komunikasi antaretnis di Hindia Belanda, dan ini menjadikan perjuangan kemerdekaan lebih mudah digerakkan. Bila kemudian bahasa Indonesia (Melayu tinggi) yang berkembang dan Melayu rendah tak digunakan, hal itu antara lain karena bahasa Melayu tinggi yang diajarkan dan dijadikan bahasa pengantar di sekolah-sekolah, juga karena bahasa ini yang digunakan dalam birokrasi kolonial. Ini perlu dicatat sehubungan dengan Rancangan Undang-Undang Kebahasaan, yang oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sedang diperjuangkan agar disahkan menjadi undang-undang.

    RUU ini terkesan sangat mengkhawatirkan penggunaan bahasa Indonesia akhir-akhir ini. Yang dijadikan ukuran, antara lain, beberapa orang asing yang heran bahwa secara visual Indonesia seperti negeri berbahasa Inggris: banyak nama hotel, toko, kompleks perumahan, bukan dalam bahasa Indonesia. Kemudian, siaran televisi, terutama dalam film-film yang disebut sinetron itu, bahasa pergaulan lebih mendominasi—dan itu artinya banyak bahasa asing dan bahasa yang tidak baku digunakan.

    Tapi efektifkah sebuah RUU?

    Saya kira, dalam berbahasa ada juga semacam trendsetter, yang diikuti. Tinggal kita simpulkan, siapa saja trendsetter dalam hal berbahasa itu. Bukankah mereka adalah para pemimpin masyarakat, birokrat, cendekiawan, sastrawan, pers—setidaknya? Mereka itu semua tentulah produk dari pendidikan. Sampai di sini kayaknya jelas, andai kata dirasakan ada gejala berbahasa semakin kacau, di mana sumber kekacauan itu. Dan ini tak akan teratasi hanya dengan undang-undang.

    Yang bisa jadi lebih praktis, diterbitkannya majalah atau tabloid mingguan atau dua kali sepekan tentang berbahasa Indonesia. Salah satu rubrik berkala ini kritik atau ulasan tentang pemakaian bahasa Indonesia yang tidak jernih dan jelas di berbagai media, di sinetron, di siaran berita media elektronik, di situs-situs di Internet, atau di mana saja. Dan berkala ini sebenarnya sudah ada. Situs Pusat Bahasa menyajikan berita dan artikel tentang bahasa Indonesia. Tinggal ditambah dengan rubrik ”kritik” itu tadi.

    Masalahnya, adakah sejumlah ”kritikus” bahasa yang mampu dan bersedia bekerja untuk berkala ini. Mereka harus memantau pemakaian bahasa Indonesia di berbagai bidang, mencatat ”kesalahan-kesalahan”-nya, mengomentarinya.

    Bila bahasa Indonesia ternyata bisa keren, tanpa diminta pun nama hotel atau toko akan menggunakan bahasa yang ternyata bisa jernih, jelas, kreatif.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus