Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik dalam gelap

Musisi tuna netra kita ternyata juga punya bakat musik. festival di senayan 5 maret lalu, mereka membuat kegiatan dengan beberapa lagu. tak kalah dari musik profesional.

19 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU di mancanegara ada dedengkot buta seperti Ray Charles atau Stevie Wonder, dunia gelap pribumi juga memiliki bakat "musik gelap" yang tidak kecil. Bonor, misalnya, adalah salah seorang yang sudah sempat membuktikan kebolehan sampai sekarang. Ini agaknya yang mendorong hati grup Panbers untuk menjadi pendukung utama Festival Musik Tuna Netra di Senayan, Jakarta, 5 Maret yang lalu. "Ah di manakah mereka. Mata terbuka lebar. Tapi tiada nampak mereka. Gelap, gelap yang ada... ", ucap Wacih, membaca sajak dalam huruf braille mengawali keramaian itu. Karya Yani Haryani dari Wiyata Guna tersebut, kendati tidak begitu istimewa sebagai sajak, tentu saja mengharukan para hadirin. "Pesta ini bukan semata-mata malam dana. Tapi untuk mempelopori pembinaan musik tuna netra dalam suatu wadah" kata Nyonya Dandi Kadarsan yang menjadi ketua panitia. Dang-dut Malam yang digerakkan oleh lebih 100 musisi tuna netra itu, sempat juga mengetuk hati Tuti Taher, Denok Wahyudi dan Frans Daromez untuk menyumbang beberapa lagu. Walau hujan keras menghantam Senayan, musik mereka tak kehilangan kegairahan. Olan Sitompul yang menjadi gembala acara, tidak lupa mengutip kata-kata Ali Sadikin yang membuat hati para pendukung jadi girang. "Rupanya untuk mendapat medali emas kita harus menderita cacat dulu", katanya, mengoper sambutan Gubernur tatkala olahragawan cacat pulang dari luar negeri mengantongi emas. Pada awal acara, kelompok angklung Tan Miyat yang didukung rombongan band sudah menaburkan lagu Gambang Suling dengan terpuji. Keplok panjang terdengar sepert, hendak melupakan suara hujan. Kemudian Orkes Keroncong Teratai Jaya P3KT, Cawang, mengambil oper suasana dengan 3 lagu yang lumayan. Agak fals memang, tapi tak apalah. Olah Sitompul segera menggebrak suasana yang nyaris turun itu dengan melepaskan kelompok 'Tuna Netras' asuhan Panbers. Terlihatlah 8 lelaki mengenakan baju oranye, celana krem, hadir dengan yakin dan siap. Salah seorang bernama Rachman. Suaranya hampir serupa dengan Benny Pandjaitan. Ia melantunkan lagu Hidup di Balik Kabut, sebuah ratapan dari dunia gelap. Langsung dikombinasikan dengan lagu dang dut Saliya karangan Rachman sendiri yang membuatnya sibuk bergoyang-goyang. Cukup hingar bingar. Syukur tidak berlarut-larut, karena corong kemudian berada di tangan Purwanto yang dengan manisnya membawakan lagu Souncl of Love. Penyanyi ganteng ini, sebelum menderita kebutaan adalah mahasiswa fakultas hukum tinkat IV. "Yang penting dalam pesta ini adalah pemunculan mereka ke depan publik", ujar Benny Pandjaitan. "Untuk mendidik mereka, kami bersikap pasrah. Tidak mengharap imbalan. Walau mereka punya bakat, kami harus mulai dari nol. Ibarat orang yang bisa jalan tapi nggak tahu jalan A atau B", tambah Asido yang menemani Benny. Dijelaskannya bahwa pertemuan Panbers dengan mereka terjadi secara kebetulan: tatkala suatu hari datang seorang utusan yang menyampaikan hasrat ketunanetra Cawang itu. Kemudian 2 kali setiap minggu dilangsungkan latihan di rumah Panbers di Kebayoran. Benny menolak keras tuduhan komersiil atau tambahan publikasi terhadap usaha itu. "Apa salahnya mendorong kaum mereka mencintai musik dan kreatif. Kalau Pemerintah sudah turun tangan, saya kira jalan mereka akan terbuka lebar", katanya. Melebihi Orang Awas Acil Bimbo, Indra dan Wandi - 3 musisi Bandung - juga memberi andil malam itu dengan asuhan mereka: kelompok paduan suara Wiyata Guna. Diperlengkapi 2 gitar akustik, seperangkat gendang, tamborin, kelompok yang para anggotanya berpendidikan SD sampai tingkat sarjana muda ini menunjukkan hasil kerja yang padu. Kejutan mereka yang pertama dengan lagu Lembah Biru terasa menyingkapkan persiapan latihan yang panjang. "Tapi mereka kami latih belum ada 1 bulan. Hanya karena disiplin mereka punya kelebihan", ujar Wandi kepada TEMPO. "Target kami asal tidak fals dan kompak saja. Aransemennya pun masih biasa". Kemudian lagu tersebut disempurnakan lagi oleh Bubuy Bulan. Di sana terdengar suara gendang menyusup-nyusup lincah, menjambret ke sana ke mari dibuntuti suara tamborin. Pantas memang untuk dapat tepukan panjang. Toh mereka tidak menunggu lama-lama untuk memasukkan lagu Blowing in The Wind - diteruskan dengan lagu Kumis. Aransemennya bagus, terdengar suara bersahut-sahutan yang segar. Kelompok ini memang pantas dikasih tangan. "Ingatan mereka melebihi daya ingat orang awas. Sampai-sampai pada interval lagu", kata Wandi memberi kecap. "Semula saya sih ingin tahu saja. bagaimana orang buta menyanyi. Eh, nggak tahunya bagus juga". Memang. Tidak sedikit bibit-bibit yang "boleh" bisa dipergoki hari itu. Dari kelompok anak-anak misalnya banyak sekali harapan. Seperti terasa pada anak-anak Bramajaya dan Tan Miyat. Seorang pemain gitar Tan Miyat begitu kecil, toh garukan tangannya pada dawai sudah bukan main Apalagi Zulkarnaen, yang tak segan-segan disebut pemetik gitar maut, sempat menghebohkan dengan lagu Ketagihan Narkotika. Ia membawakan lagu sambil mengucapkan dialog: antara si morfinis, ibunya dan alat negara. Boleh dikata ia sudah cukup siap dilepaskan di pasar musik profesional. Penting sekali disebutkan, terutama bagi pencinta musik tradisionil, bahwa malam itu tidak hanya dikuasai suara gitar. Adalah sekelompok pria dan wanita asal Kuningan yang membawakan calung -- lengkap dengan gerakan putar-putar. Meski improvisasi mereka belum kaya, tapi kata banyak pengamat, garapan mereka tidak kurang dari yang biasa dilakukan orang awas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus