KALAU di mancanegara ada dedengkot buta seperti Ray Charles atau
Stevie Wonder, dunia gelap pribumi juga memiliki bakat "musik
gelap" yang tidak kecil. Bonor, misalnya, adalah salah seorang
yang sudah sempat membuktikan kebolehan sampai sekarang. Ini
agaknya yang mendorong hati grup Panbers untuk menjadi pendukung
utama Festival Musik Tuna Netra di Senayan, Jakarta, 5 Maret
yang lalu.
"Ah di manakah mereka. Mata terbuka lebar. Tapi tiada nampak
mereka. Gelap, gelap yang ada... ", ucap Wacih, membaca sajak
dalam huruf braille mengawali keramaian itu. Karya Yani Haryani
dari Wiyata Guna tersebut, kendati tidak begitu istimewa sebagai
sajak, tentu saja mengharukan para hadirin. "Pesta ini bukan
semata-mata malam dana. Tapi untuk mempelopori pembinaan musik
tuna netra dalam suatu wadah" kata Nyonya Dandi Kadarsan yang
menjadi ketua panitia.
Dang-dut
Malam yang digerakkan oleh lebih 100 musisi tuna netra itu,
sempat juga mengetuk hati Tuti Taher, Denok Wahyudi dan Frans
Daromez untuk menyumbang beberapa lagu. Walau hujan keras
menghantam Senayan, musik mereka tak kehilangan kegairahan. Olan
Sitompul yang menjadi gembala acara, tidak lupa mengutip
kata-kata Ali Sadikin yang membuat hati para pendukung jadi
girang. "Rupanya untuk mendapat medali emas kita harus menderita
cacat dulu", katanya, mengoper sambutan Gubernur tatkala
olahragawan cacat pulang dari luar negeri mengantongi emas.
Pada awal acara, kelompok angklung Tan Miyat yang didukung
rombongan band sudah menaburkan lagu Gambang Suling dengan
terpuji. Keplok panjang terdengar sepert, hendak melupakan suara
hujan. Kemudian Orkes Keroncong Teratai Jaya P3KT, Cawang,
mengambil oper suasana dengan 3 lagu yang lumayan. Agak fals
memang, tapi tak apalah. Olah Sitompul segera menggebrak suasana
yang nyaris turun itu dengan melepaskan kelompok 'Tuna Netras'
asuhan Panbers. Terlihatlah 8 lelaki mengenakan baju oranye,
celana krem, hadir dengan yakin dan siap.
Salah seorang bernama Rachman. Suaranya hampir serupa dengan
Benny Pandjaitan. Ia melantunkan lagu Hidup di Balik Kabut,
sebuah ratapan dari dunia gelap. Langsung dikombinasikan dengan
lagu dang dut Saliya karangan Rachman sendiri yang membuatnya
sibuk bergoyang-goyang. Cukup hingar bingar. Syukur tidak
berlarut-larut, karena corong kemudian berada di tangan Purwanto
yang dengan manisnya membawakan lagu Souncl of Love. Penyanyi
ganteng ini, sebelum menderita kebutaan adalah mahasiswa
fakultas hukum tinkat IV.
"Yang penting dalam pesta ini adalah pemunculan mereka ke depan
publik", ujar Benny Pandjaitan. "Untuk mendidik mereka, kami
bersikap pasrah. Tidak mengharap imbalan. Walau mereka punya
bakat, kami harus mulai dari nol. Ibarat orang yang bisa jalan
tapi nggak tahu jalan A atau B", tambah Asido yang menemani
Benny.
Dijelaskannya bahwa pertemuan Panbers dengan mereka terjadi
secara kebetulan: tatkala suatu hari datang seorang utusan yang
menyampaikan hasrat ketunanetra Cawang itu. Kemudian 2 kali
setiap minggu dilangsungkan latihan di rumah Panbers di
Kebayoran. Benny menolak keras tuduhan komersiil atau tambahan
publikasi terhadap usaha itu. "Apa salahnya mendorong kaum
mereka mencintai musik dan kreatif. Kalau Pemerintah sudah turun
tangan, saya kira jalan mereka akan terbuka lebar", katanya.
Melebihi Orang Awas
Acil Bimbo, Indra dan Wandi - 3 musisi Bandung - juga memberi
andil malam itu dengan asuhan mereka: kelompok paduan suara
Wiyata Guna. Diperlengkapi 2 gitar akustik, seperangkat gendang,
tamborin, kelompok yang para anggotanya berpendidikan SD sampai
tingkat sarjana muda ini menunjukkan hasil kerja yang padu.
Kejutan mereka yang pertama dengan lagu Lembah Biru terasa
menyingkapkan persiapan latihan yang panjang. "Tapi mereka kami
latih belum ada 1 bulan. Hanya karena disiplin mereka punya
kelebihan", ujar Wandi kepada TEMPO. "Target kami asal tidak
fals dan kompak saja. Aransemennya pun masih biasa".
Kemudian lagu tersebut disempurnakan lagi oleh Bubuy Bulan. Di
sana terdengar suara gendang menyusup-nyusup lincah, menjambret
ke sana ke mari dibuntuti suara tamborin. Pantas memang untuk
dapat tepukan panjang. Toh mereka tidak menunggu lama-lama untuk
memasukkan lagu Blowing in The Wind - diteruskan dengan lagu
Kumis. Aransemennya bagus, terdengar suara bersahut-sahutan yang
segar. Kelompok ini memang pantas dikasih tangan.
"Ingatan mereka melebihi daya ingat orang awas. Sampai-sampai
pada interval lagu", kata Wandi memberi kecap. "Semula saya sih
ingin tahu saja. bagaimana orang buta menyanyi. Eh, nggak
tahunya bagus juga". Memang. Tidak sedikit bibit-bibit yang
"boleh" bisa dipergoki hari itu.
Dari kelompok anak-anak misalnya banyak sekali harapan. Seperti
terasa pada anak-anak Bramajaya dan Tan Miyat. Seorang pemain
gitar Tan Miyat begitu kecil, toh garukan tangannya pada dawai
sudah bukan main Apalagi Zulkarnaen, yang tak segan-segan
disebut pemetik gitar maut, sempat menghebohkan dengan lagu
Ketagihan Narkotika. Ia membawakan lagu sambil mengucapkan
dialog: antara si morfinis, ibunya dan alat negara. Boleh dikata
ia sudah cukup siap dilepaskan di pasar musik profesional.
Penting sekali disebutkan, terutama bagi pencinta musik
tradisionil, bahwa malam itu tidak hanya dikuasai suara gitar.
Adalah sekelompok pria dan wanita asal Kuningan yang membawakan
calung -- lengkap dengan gerakan putar-putar. Meski improvisasi
mereka belum kaya, tapi kata banyak pengamat, garapan mereka
tidak kurang dari yang biasa dilakukan orang awas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini