Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

P-tiga dan film "woyla"

Beberapa produser film indoensia menyatakan minat untuk memfilmkan drama pembajakan pesawat garuda dc-9 woyla. komentar pelbagai pihak tentang rencana itu. (fl)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA dalam tempo tiga menit Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) melumpuhkan pembajak. Di lapangan terbang Don Muang, Bangkok, drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla itu berakhir dengan tewasnya lima pembajak pada dinihari 31 Maret. Semua 36 penumpang selamat, kecuali captain pilot Herman Rante, dan Calon Perwira A. Kirang, anggota pasukan pembebas, gugur. Kisah sukses operasi militer di Don Muang itu dengan cepat menaikkan pamor Angkatan Bersenjata RI. Sejumlah kalangan kemudian menyamakan prestasi Kopassandha tersebut dengan kisah sukses pasukan komando Grenzschutzgruppe Neun (GSG 9, Grup Perlindungan Perbatasan 9, Jerman Barat) mengakhiri pembajakan pesawat Boeing 737 Lufthansa di Mogadishu, Oktober 1977. Dengan cepat pula beberapa produser film Indonesia menyatakan minat untuk memfilmkannya. Dari drama pembajakan pesawat Woyla, mereka berambisi melahirkan film seperti Raid on Entebbe -- diangkat dari kisah komando Israel membebaskan pesawat El Al yang dibajak ke Entebbe, Uganda, April 1976. Tapi berbeda dengan di Amerika, di sini pemerintah biasa turun tangan. Maka segera diambilalihlah usaha pembuatan film itu. Pemerintah konon tidak ingin peristiwa besar itu hanya dikerjakan seperti film Tragedi Tinombala, yang diangkat dari peristiwa jatuhnya pesawat Twin Otter MNA di Gunung Tinombala, Sulawesi Tengah, Maret 1977. 200 Alim Ulama Menteri Penerangan Ali Moertopo pun dengan Surat Keputusan 24 April kemudian menunjuk Dewan Film Nasional (DFN) sebagai penanggungjawab pelaksana produksi film itu. Dalam pelaksanaan pembuatannya, DFN ditugasi membentuk kerjasama antara unsur produser Indonesia mau pun luar negeri. Konon sudah empat produser Indonesia yang menyatakan ingin menyertakan modal di dalamnya. Tapi semudah itukah? Belum lagi gagasan pemerintah tadi dilontarkan secara formal, Drs. H.A. Chalik Ali, anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan memberikan komentar. Ia memperingatkan agar usaha memfilmkan pembajakan pesawat Garuda Woyla tidak merusakkan jiwa konsensus 20 April. Maksudnya tentu, ia tidak menghendaki film tersebut kembali mengemukakan sebutan Komando Jihad yang sudah disepakati tidak akan dipakai lagi. Konsensus itu dicapai sesudah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Agama Alamsyah bertemu dengan 200 alim ulama dan tokoh Islam di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Dan jika pembuatan film tadi diteruskan, Chalik Ali menganjurkan, isinya agar tidak untuk kepentingan politik dalam kampanye memenangkan suatu golongan. Pokoknya "film tersebut jangan sampai menimbulkan ketakutan di kalangan pemilih," lanjutnya. Peringatan dini Chalik Ali di koran Pelta ternyata ditanggapi. Dirjen Radio, Televisi dan Film Drs. Sumadi dan Ketua DFN Drs. Asrul Sani, segera menyelenggarakan pertemuan pers 1 Mei. Di situ Asrul (dia wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan, lho) menyatakan bahwa usaha memfilmkan pembajakan pesawat Garuda Woyla "tidak akan digunakan buat kepentingan politik." Film itu, katanya, akan menonjolkan sikap pemerintah yang antiterorisme. Juga untuk menunjuckan bahwa ABRI, sesudah konsolidasi, punya cukup kemampuan melindungi warganegaranya. Menurut Asrul, film itu akan dibuat sebagai film feature yang tidak semata-mata mendokumentasikan suatu peristiwa. Tentu saja fakta pembajak dan keberhasilan Kopassandha membebaskan sandera juga harus dikemukakan. Untuk menghidupkan suasana mencapai kebenaran, lanjutnya, peristiwa itu sendiri perlu didramatisasi tanpa membuat resah suatu golongan. "Kami (DFN) tidak mau terlibat dalam kontroversi politik," katanya. Namun Drs. Husni Thamrin, anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan, yang dalam kampanye pemilu yang lalu bersama-sama rekan separtainya, Asrul Sani, menilai kebijaksanaan pemerintah memfilmkan pembajakan itu justru merupakan "keputusan politik". Hal itu dikatakannya, kelihatan lebih menonjoi ketimbang sekedar niat mendokumentasikan suatu peristiwa. Alasannya: peristiwa pembajakan itu sendiri sesungguhnya merupakan peristiwa politik. Agak lain, tapi sejajar adalah pandangan -- atau harapan -- Buya Hamka, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI). Film itu hendaknya, kata Buya, lebih menonjolkan bahwa pembajak itu telah memakai ajaran Islam secara salah. "Harus diikhtiarkan setelah menonton filmitu, penonton akan berkesimpulan menyalahkan oknum pembajak, bukan Islam," kata Buya. Asrul menerima baik saran Buya Hamka itu. Menghindari terlibat dalam konflik politik, film itu, kata Asrul, hanya akan mengungkapkan latar belakang pribadi pembajak. Soal kegiatan dan operasi militer direncanakan akan menjadi perhatian utama -- mirip dengan film Raid on Entebbe. "Di situ akan ditunjukkan suatu usaha ABRI melindungi warganegaranya," lanjutnya. "Tidak ada suatu target politik. Dan juga film itu bukan merupakan propaganda." Kini DFN tengah mengumpulkan segala informasi mengenai peristiwa pembajakan tersebut. Tapi toh Husni Thamrin tetap kurang sepakat. Bagi dia lebih mendesak jika pemerintah membuat film mengenai soal transmigrasi. Masalahnya, tentu, bagi penonton: mana yang lebih memikat?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus