PAKAI kain. Atau pakai rok dan jeans, semua bergoyang. Gesekan
rebab yang meliuk-liuk, disertai teriakan, di tengah pukulan
gendang yang menghentak-hentak, tambah memancing gerakan
kepala, bahu, tangan -- dan seluruh tubuh.
Tari Jaipongan dengan cepat menyerang segala lapisan kawasan
Bandung. Bukan saja menyertai pesta-pesta di rumah dan
tempat-tempat disko, malahan juga diajarkan di gelanggang
remaja.
Tarian ini adalah kombinasi Ketuk Tilu dan Tari Topeng Banjet
yang biasa disebut Tari Goyang Karawangan. Cuma dalam Jaipongan
gerakan penari lebih bebas. Juga tidak ada ikatan untuk menari
terus menerus seperti Ketuk Tilu. Seseorang boleh saja
menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gaya malas, tapi seluruh
bagian tubuh boleh bergerak sebebas-bebasnya, begitu hentakan
gendang ditalu.
Selain musik Dabub, Jaipongan juga diiringi suara pesinden yang
melagukan nyanyian-nyanyian bersyair. Misalnya "ya aki kolot,
maneh geus peot, kena ngibing pogot" ("Aki Nyentrik " dari kaset
Sunda Jaipongan, pimpinan Udi Samkara). Tidak jarang pula,
terselip bait-bait yang agak mesum. Misalnya "susu rayut'
"henteu karasa" (dalam lagu "Cambang"). Ketika pesinden Ati
Rohayati melagukan Randa Ngora, yaitu janda sopan neng Masitoh,
terdengar selingan barade randa? -- apakah anda ingin janda?
Nama jaipong diduga berasal dari bunyi gendang "blak-ting-pong,
blak-ting-pong." Dipopulerkan oleh Gugum Gumbira Tirasondjaja,
35 tahun, jaipong ini pernah memeriahkan Pekan Kesenian Rakyat
ASEAN di Hongkong Oktober 1978. Di luar dugaan, "sambutan
hadirin hebat," kata Gugum, "sampai beberapa kali minta diulang,
karena iramanya hampir sama dengan dangdut maupun rock 'n roll."
Gugum adalah seorang seniman Sunda yang bekerja di Pemda Kodya
Bandung.
Sementara itu, anak-anak Parahiangan makin meninggalkan
tarian-tarian lama, seperti Topeng Banjet dan Ketuk Tilu-karena
merasa iramanya kurang menyengat. Dan mereka pun demam Jaipong
untuk berdisko.
Trisayusiani S., 17 tahun, yang pernah jadi juara lomba disko
se-Kodya Bandung tahun lalu, mengakui: "Jaipongan lebih dinamis,
bagi saya bukan 3-G yang jadi perhatian, tapi seluruh gerak
tarinya, memang mengasyikkan."
Dan apakah 3-G itu? Ini singkatan dari gitek (goyang dada),
geyol (goyang pinggul) dan goyang (gerak keseluruhan tubuh).
Karena 3-G, ditambah peminatnya yang cepat meluas, timbul sikap
prokontra terhadap Jaipong. Yang kontra tentunya kalangan tua,
yang melihat tarian ini sudah cukup keterlaluan dan dapat
merangsang kemesuman. Sebaliknya kalangan remaja yang setuju,
melihat Jaipongan sebagai tarian yang mengasyikkan dan penuh
dinamika.
Maka Bappeda Jawa Barat, 2 Mei lalu mengadakan sarasehan dengan
mengundang para seniman dan tokoh masyarakat. Maksudnya untuk
meredakan sikap pro-kontra yang makin meruncing. "Ini instruksi
Gubernur," kata Ir. Arifin Yusuf, Ketua Bappeda Jawa Barat
"sebab Jaipongan begitu menghangat dalam waktu singkat, Gubernur
khawatir ada unsur-unsur negatif."
Serdadu Berbaris
Sarasehan memperdengarkan berbagai pendapat. Daeng Sutigna, 73
tahun, pelopor angklung, berkomentar: "Yang menyebabkan kita
berkumpul di sini, hanya satu unsur saja dari Jaipongan. Yakni:
geol !". Berputarnya pinggul, kata Sutigna, mengingatkan orang
pada Tari Longser atau Doger yang oleh kaum priayi dulu hanya
boleh ditarikan wanita nakal.
Pendapat ini disanggah oleh Nyonya Cornelia Y. Benny. Sarjana
IKIP dan juga alumnus ASTI (Akademi Seni Tari) Bandung ini
menyangkal kalau Ronggeng (atau Doger atau Longser) mengandung
hal-hal yang negatif. "Zaman dulu," kata Nyonya Benny, "Ronggeng
adalah wanita baik-baik yang menjadi mak jomblang keluarga
raja." Adapun, "kalau Ronggeng sampai menimbulkan gambaran jelek
sekarang ini, itu karena salahnya kaum pria! "
Tapi nyonya ini masih melanjutkan: "Di masyarakat Sunda, banyak
sekali tarian yang memakai geol. Sebab kalau kaki bergerak, tapi
pinggul tidak, itu mah sama saja dengan serdadu baris!"
Seniwati Sunda, Tati Saleh, menimpali pula: "Bagi wanita yang
pinggulnya besar, jalan biasa saja sudah menggeol. Apalagi
menari!" Tati kemudian mendemonstrasikan Tari Jaipong bersama
Gugum. Sarasehan itu menjadi segar.
Seorang anggota Daya Mahasiswa Sunda percaya bahwa lewat Tari
Jaipong, generasi muda akan lebih tertarik pada kesenian daerah.
Untuk itu Daeng Sutigna menimpali: "Pokoknya kalau Jaipongan
adalah seni sejati, pasti akan tahan lama, seperti halnya Tari
Topeng atau Tayuban. Kita lihat sajalah nanti."
Sarasehan kemudian berkesimpulan: menyetujui Jaipongan, dengan
catatan, agar gerak dan liriknya diperhalus.
Dua hari berikutnya, 4 dan 5 Mei lalu, diadakan Festival
Jaipongan se-Bandung Selatan di Bale Endah, Bandung. Lebih dari
100 pasangan mengikutinya, sebagian besar pelajar SLTP dan SLTA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini