Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Ledakan 3-g-jaipongan

Bappeda jawa barat mengadakan sarasehan dengan mengundang para seniman & tokoh masyarakat. untuk meredakan sikap pro dan kontra tentang jaipongan. di mana jaipongan disetujui. (hb)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAKAI kain. Atau pakai rok dan jeans, semua bergoyang. Gesekan rebab yang meliuk-liuk, disertai teriakan, di tengah pukulan gendang yang menghentak-hentak, tambah memancing gerakan kepala, bahu, tangan -- dan seluruh tubuh. Tari Jaipongan dengan cepat menyerang segala lapisan kawasan Bandung. Bukan saja menyertai pesta-pesta di rumah dan tempat-tempat disko, malahan juga diajarkan di gelanggang remaja. Tarian ini adalah kombinasi Ketuk Tilu dan Tari Topeng Banjet yang biasa disebut Tari Goyang Karawangan. Cuma dalam Jaipongan gerakan penari lebih bebas. Juga tidak ada ikatan untuk menari terus menerus seperti Ketuk Tilu. Seseorang boleh saja menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gaya malas, tapi seluruh bagian tubuh boleh bergerak sebebas-bebasnya, begitu hentakan gendang ditalu. Selain musik Dabub, Jaipongan juga diiringi suara pesinden yang melagukan nyanyian-nyanyian bersyair. Misalnya "ya aki kolot, maneh geus peot, kena ngibing pogot" ("Aki Nyentrik " dari kaset Sunda Jaipongan, pimpinan Udi Samkara). Tidak jarang pula, terselip bait-bait yang agak mesum. Misalnya "susu rayut' "henteu karasa" (dalam lagu "Cambang"). Ketika pesinden Ati Rohayati melagukan Randa Ngora, yaitu janda sopan neng Masitoh, terdengar selingan barade randa? -- apakah anda ingin janda? Nama jaipong diduga berasal dari bunyi gendang "blak-ting-pong, blak-ting-pong." Dipopulerkan oleh Gugum Gumbira Tirasondjaja, 35 tahun, jaipong ini pernah memeriahkan Pekan Kesenian Rakyat ASEAN di Hongkong Oktober 1978. Di luar dugaan, "sambutan hadirin hebat," kata Gugum, "sampai beberapa kali minta diulang, karena iramanya hampir sama dengan dangdut maupun rock 'n roll." Gugum adalah seorang seniman Sunda yang bekerja di Pemda Kodya Bandung. Sementara itu, anak-anak Parahiangan makin meninggalkan tarian-tarian lama, seperti Topeng Banjet dan Ketuk Tilu-karena merasa iramanya kurang menyengat. Dan mereka pun demam Jaipong untuk berdisko. Trisayusiani S., 17 tahun, yang pernah jadi juara lomba disko se-Kodya Bandung tahun lalu, mengakui: "Jaipongan lebih dinamis, bagi saya bukan 3-G yang jadi perhatian, tapi seluruh gerak tarinya, memang mengasyikkan." Dan apakah 3-G itu? Ini singkatan dari gitek (goyang dada), geyol (goyang pinggul) dan goyang (gerak keseluruhan tubuh). Karena 3-G, ditambah peminatnya yang cepat meluas, timbul sikap prokontra terhadap Jaipong. Yang kontra tentunya kalangan tua, yang melihat tarian ini sudah cukup keterlaluan dan dapat merangsang kemesuman. Sebaliknya kalangan remaja yang setuju, melihat Jaipongan sebagai tarian yang mengasyikkan dan penuh dinamika. Maka Bappeda Jawa Barat, 2 Mei lalu mengadakan sarasehan dengan mengundang para seniman dan tokoh masyarakat. Maksudnya untuk meredakan sikap pro-kontra yang makin meruncing. "Ini instruksi Gubernur," kata Ir. Arifin Yusuf, Ketua Bappeda Jawa Barat "sebab Jaipongan begitu menghangat dalam waktu singkat, Gubernur khawatir ada unsur-unsur negatif." Serdadu Berbaris Sarasehan memperdengarkan berbagai pendapat. Daeng Sutigna, 73 tahun, pelopor angklung, berkomentar: "Yang menyebabkan kita berkumpul di sini, hanya satu unsur saja dari Jaipongan. Yakni: geol !". Berputarnya pinggul, kata Sutigna, mengingatkan orang pada Tari Longser atau Doger yang oleh kaum priayi dulu hanya boleh ditarikan wanita nakal. Pendapat ini disanggah oleh Nyonya Cornelia Y. Benny. Sarjana IKIP dan juga alumnus ASTI (Akademi Seni Tari) Bandung ini menyangkal kalau Ronggeng (atau Doger atau Longser) mengandung hal-hal yang negatif. "Zaman dulu," kata Nyonya Benny, "Ronggeng adalah wanita baik-baik yang menjadi mak jomblang keluarga raja." Adapun, "kalau Ronggeng sampai menimbulkan gambaran jelek sekarang ini, itu karena salahnya kaum pria! " Tapi nyonya ini masih melanjutkan: "Di masyarakat Sunda, banyak sekali tarian yang memakai geol. Sebab kalau kaki bergerak, tapi pinggul tidak, itu mah sama saja dengan serdadu baris!" Seniwati Sunda, Tati Saleh, menimpali pula: "Bagi wanita yang pinggulnya besar, jalan biasa saja sudah menggeol. Apalagi menari!" Tati kemudian mendemonstrasikan Tari Jaipong bersama Gugum. Sarasehan itu menjadi segar. Seorang anggota Daya Mahasiswa Sunda percaya bahwa lewat Tari Jaipong, generasi muda akan lebih tertarik pada kesenian daerah. Untuk itu Daeng Sutigna menimpali: "Pokoknya kalau Jaipongan adalah seni sejati, pasti akan tahan lama, seperti halnya Tari Topeng atau Tayuban. Kita lihat sajalah nanti." Sarasehan kemudian berkesimpulan: menyetujui Jaipongan, dengan catatan, agar gerak dan liriknya diperhalus. Dua hari berikutnya, 4 dan 5 Mei lalu, diadakan Festival Jaipongan se-Bandung Selatan di Bale Endah, Bandung. Lebih dari 100 pasangan mengikutinya, sebagian besar pelajar SLTP dan SLTA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus