PENYANYI Ebiet G. Ade membangun rumah lebih dari Rp 50 juta. Ia
agaknya contoh terbaru bagaimana musik sudah benar-benar bisa
diandalkan sebagai bidang usaha -- dan bukan lagi sekedar hobi
atau "idealisme seni". Lebih-lebih karena bukan hanya dia
sendiri yang sukses secara finansial. Para "hartawan musik" itu
sekarang sudah atau hampir merupakan satu lapisan tersendiri --
termasuk ke dalamnya para biduan kanak-kanak seperti Chicha
Koeswoyo atau lainnya. Bagaimana para seniman itu hidup di
tengah kekayaan mereka?
Di Desa Karangwuni Jalan Kaliurang, Yogya, rumah Ebiet yang
terhitung paling baik di kawasan elite baru tersebut berdiri di
tanah seluas 1000 meter persegi. Dikelilingi pagar tembok
setinggi 3 m berwarna hijau. Dinding depan rumah berlapis marmar
hitam sekitar 12 m2. Genteng monier-nya juga hitam. Di garasi,
nongkrong sebuah Jeep CJ-7 ber-AC, warna hijau, dan sedan Corona
merah-hati. Dan pemuda yang dua tahun lalu masih bergelandangan
di sepanjang Jalan Malioboro itu kini sedang asyik dengan mobil
terbarunya, sebuah sedan merk BMW.
Itu hanya kekayaan yang tampak dari seorang yang semula bernama
Abdul Gaffar, pemuda Desa Wonodadi, sanjarnegara, Ja-Teng, yang
sekarang berusia 25 tahun. Rezeki Tuhan memang tak selalu bisa
ditebak. Semula ia hanya anak lulusan SMA Muhammadiyah -- yang
tak mampu melanjutkan sekolah karena soal duit. Lantas dengan
gitarnya mencoba mengarang lagu dengan lirik yang bagus -- dan
ia memang mengaku berangkat dari syair -- dan menyanyikannya di
depan teman-temannya. Pertengahan 1979, begitu lagu-lagunya
dikasetkan dengan merk Camelia IIV, ia pun melejit.
Tak Ada Telepon
Honor dari situ -- dengan royalties Rp 200 per kaset, ditambah
pendapatan sekitar Rp 3 - 5 juta sekali manggung dipakainya
untuk membuka perusahaan angkutan -- dan ia kini memiliki 20
truk. Juga sebuah kebun cengkih. Tambahan lagi sekarang ia
sedang merencanakan membeli dua ribu ekor sapi untuk
diternakkan. Semuanya ditaburkan di desanya sendiri, di tempat
orang tuanya di Banjarnegara. Di Yogya, ia pun tanam saham di
sebuah perusahaan kontraktor.
Dan Ebiet lantas "berubah" -- menurut teman-temannya. Linus
Suryadi A.G. misalnya -- penyair Yogya yang dulu didekati Ebiet,
di samping Emha Ainun Nadjib -- berkata: "Ia sudah jauh dari
kami. Sudah tenggelam dalam kekayaannya. " Memang, Ebiet sudah
tak pernah lagi sama-sama nongkrong di Malioboro seperti dulu.
Barangkali karena terlalu sibuk, tentunya. Di sanping itu
menjadi kaya memang tak selalu gampang, bila orang tak menjaga
diri dari "perubahan mendadak." Lebih-lebih di kalangan seniman,
yang dikatakan "kurang menghargai kekayaan". Bisa timbul salah
paham: beberapa kawan Ebiet misalnya merasa risi bertandang ke
gedung barunya -- karena, seperti dibilang Edi Kartanegara,
"pulangnya selalu diberi uang. Seakan-akan kami memerlukan
uangnya. Bukan orangnya."
Tapi Ebiet masih doyan tempe dan perkedel, meski mainannya walky
talky dan pakaiannya bermerk Lanvin serta Pierre Cardin. Menurut
Hamid, saudara sepupunya yang tinggal di rumah Jalan Kaliurang
itu, ia pun masih tetap sembahyang -- di sebuah ruang khusus
berkarpet merah. "Dia suka warna merah dan bunga," katanya. Yang
tak disukainya hanya satu: telepon. Karena itu, dirumah yang
berisi antara lain piano merk Yamaha, tape recorder stereo, tv
berwarna dan video tape itu, tak ada telepon. "Untuk menghindari
gangguan cewek-cewek penggemarnya," tutur Deded, kawan sang
penyanyi.
Sayang Ebiet sendiri tak bisa dijumpai -- sedang berbelanja di
Singapura, konon. Tak bisa ditanyai, misalnya, bagaimana
pandangannya terhadap harta -- mewakili para seniman kaya.
Pandangan serupa itu bisa diberikan oleh misalnya Raja Dangdut
Rhoma Irama, 35 tahun. Ialah tokoh yang lebih dulu dibanding
Ebiet -- setidak-tidaknya sudah lima tahun -- beroleh sukses
finansial. Malah sebagian orang memperkirakan kerajaan yang
dibangunnya ituakan lebih lama umurnya.
Tahun-tahun sesudah 1975 (saat lagu-lagunya Berkelana dan
Bergadang bergaung di mana-mana), dengan puluhan kaset dan
permainannya dalam 11 judul film (dua di antaranya diproduksi
perusahaannya sendiri, Rhoma Film) - ia terus mengeduk fulus.
Dari situ ia antara lain membeli sedan Mercedes 280 untuknya
sendiri -- sedang untuk istri dan anaknya Honda Civic. Tambah
lagi untuk grupnya, Soneta, sebuah kolt.
Rumahnya sendiri, yang cukup besar, tak mengesankan kemewahan.
Boleh dibilang sederhana, meski dengan perabot berukir. Kecuali
delapan piringan emas hadiah perusahaan yang tertempel di
dinding, di rumah itu hanya kelihatan video tape di atas tv
Grundig 28 inci. Apa katanya, tentang hartanya?
"Semua ini tidak punya nilai apa-apa. Semua ini hakikatnya milik
Allah." Harta itu hanya "menjadi batu ujian bagi saya, apakah
saya mampu dibebani amanat sebagai 'khalifatullah' -- yang harus
melaksanakan kewajiban -- atau tidak." Makna amanat itu, menurut
pak haji ini, "untuk membantu yang miskin dan menyelaraskan
hidup dengan lingkungan."
Orang Muslim yang menghendaki kebahagiaan dunia-akhirat -- ini
masih ceramah pak haji -- haruslah meletakkan harta pada tempat
semestinya. "Hakhak Allah, seperti zakat dan lainlain, harus
kita dahulukan." Agama tidak melarang umat memiliki banyak harta
-"asal tidak merugikan orang lain, dan tidak dipamer-pamerkan.
Jika dipamerkan, itu riya, dan itu dilarang."
Berpagar besi, dengan cat warna-warni -- sehingga mudah dikenali
-- rumah penyanyi yang satu ini dilengkapi sebuah gardu monyet.
Di situ berjaga sekretaris merangkap ajudannya. Tapi hubungannya
dengan para tetangga kelihatan setidak-tidaknya setiap
mengadakan previe film barunya. Ia selalu mengundang ratusan
tetangga -- di samping kerabat para pemain -- untuk menonton.
Setiap tahun ia membayar zakat, 2% dari penghasilan, sekitar Rp
5 sampai Rp 7 juta. Biasanya diberikan langsung kepada fakir
miskin maupun badanbadan agama yang setiap bulan puasa menjadi
tamunya. Sudahkah ia merasa bahagia? Ternyata belum. "Jika
impian saya dalam da'wah terwujud, barulah saya berbahagia,"
ujarnya. Tak jelas apakah impiannya dalam da'wah. Tapi ia ingin
mengubah nama grupnya menjadi 'Grup Haji Sembilan'. Maklum, para
anggotanya sudah naik haji semua.
Di tengah kesibukan dan keletihannya, setiap Jum'at Rhoma
memerlukan mengunjungi ibunya. Ia memang sulit ditemui,
berhubung acaranya yang padat. Tapi ia rajin mengunjungi kenalan
dan mengundang makan malam para tetangga, sambil
berbincang-bincang tentang agama. Karena itu ia tak ingin
tinggal di daerah terpencil yang mewah dan tenteram -- meski
sebenarnya ingin juga, supaya bisa beristirahat dari kebisingan.
"Tapi mungkin saya akan rugi," katanya. "Saya akan jauh dari
masyarakat. Padahal masyarakat amat bernilai bagi saya. "
"Putaran Roda"
Dengan kalimat berbeda, Elvi Sukaesih (29 tahun), juga
menyebutkan, ia tak ingin tinggal di daerah sejuk-sepi.
Alasannya "takut jika suatu saat saya jatuh miskin." Lantas tak
bisa pergi ke mana-mana karena kesulitan kendaraan. "Kalau di
sini 'kan tidak. Kendaraan umum banyak . Oplet juga banyak. "
Ia tinggal di daerah Cawang yang ramai -- di sebuah rumah mungil
-- bersama suami dan ke-5 anaknya. Berapa kekayaan persisnya,
sebagaimana Rhoma ia tak mau menyebutkan. Tapi sejak berpisah
dengan Rhoma (semula mereka berduet), 1976, dan jadi ratu
dangdut yang laris, antara lain ia bisa membeli sedan Mitsubishi
Gallant dan Jeep CJ -7.
"Tapi Gallant saya mau dijual. Lagi bokek, nih!" katanya. Yang
jelas honor nyanyinya satu lagu sekitar Rp 100 ribu. Jika main
film, ia dibayar Rp 10 juta. Setiap tahun ia membayar zakat.
"Tidak besar. Tapi memenuhi keharusan - 21%. Bahkan lebih." Dan
sebagai orang Islam ia memandang harta seperti diungkapkan
Rhoma. Sebagai titipan Tuhan. "Saya hanya boleh membelanjakan
hak saya, yaitu yang saya butuhkan sendiri. Sedang zakat adalah
hak Allah." "Saya sadar," katanya lagi, "hidup ini seperti
putaran roda."
Pemusik yang baru-baru ini malangmelintang dengan kegesitan yang
mengherankan, adalan Rinto Harahap. Tak syak lagi, orang inilah
-- dengan lagu-lagu ciptaannya -- yang menggagahi kancah musik
jenis pop hari ini.
Makan Pinggir Jalan
Orang Batak jebolan grup The Mercy's beranak dua orang itu
agaknya pencipta lagu yang dibayar paling mahal sampai sekarang.
Ia berkeberatan menyebut jumlah kekayaannya, tentu. Tapi
direktur perusahaan rekaman PT Lolipop berusia 32 tahun itu kini
memiliki sedan Mercedes Tiger berwarna hijau muda. Harganya
sekitar Rp 35 juta. Dan sebuah Toyota Hi-Ace. Rumahnya di Pluit.
"Bagaimanapun, saya bangga," ujarnya. "Saya membangun
keberhasilan ini melalui suatu usaha yang tak ringan. Saya
perjuangkan. Itulah kepuasan saya." Seluruh kekayaannya
digunakan untuk mengembangkan perusahaannya. "Dan itu bukan
untuk kepentingan saya pribadi," katanya. "Saya ingin agar
perusahaan ini bisa dinikmati semua kalangan, termasuk para
artis sendiri."
Setidak-tidaknya, sejak tahun lalu ia memberikan royalties
kepada para penyanyi yang melakukan rekaman di perusahaannya: Rp
150 per kaset. "Mungkin dengan begitu seniman akan lebih banyak
dihargai."
Karena beragama Kristen Protestan, ia tak mengenal zakat. Dan
tak menyediakan dana khusus untuk hal semacam itu. "Secara
insidentil saja: kalau ada yang meminta, saya beri." Tapi ia tak
lantas bermewah-mewah, katanya pula.
Bahkan ia ingin memberi contoh kehidupan yang sederhana kepada
sesama pemusik: "Saya acapkali makan di pinggir jalan bersama
mereka." Dan yang penting, "saya ingin menikmati kekayaan dari
hasil jerih payah saya, tanpa mengubah sikap saya sejak masih
naik bis kota."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini