Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tarik suara -- dan kaya

Dunia musik bisa diandalkan. dari situ bisa dihasilkan imbalan yang lumayan. sosok musikus macam: ebiet g. ade, rhoma irama, elvi sukaesih dan rinto harahap bercerita. (ms)

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYANYI Ebiet G. Ade membangun rumah lebih dari Rp 50 juta. Ia agaknya contoh terbaru bagaimana musik sudah benar-benar bisa diandalkan sebagai bidang usaha -- dan bukan lagi sekedar hobi atau "idealisme seni". Lebih-lebih karena bukan hanya dia sendiri yang sukses secara finansial. Para "hartawan musik" itu sekarang sudah atau hampir merupakan satu lapisan tersendiri -- termasuk ke dalamnya para biduan kanak-kanak seperti Chicha Koeswoyo atau lainnya. Bagaimana para seniman itu hidup di tengah kekayaan mereka? Di Desa Karangwuni Jalan Kaliurang, Yogya, rumah Ebiet yang terhitung paling baik di kawasan elite baru tersebut berdiri di tanah seluas 1000 meter persegi. Dikelilingi pagar tembok setinggi 3 m berwarna hijau. Dinding depan rumah berlapis marmar hitam sekitar 12 m2. Genteng monier-nya juga hitam. Di garasi, nongkrong sebuah Jeep CJ-7 ber-AC, warna hijau, dan sedan Corona merah-hati. Dan pemuda yang dua tahun lalu masih bergelandangan di sepanjang Jalan Malioboro itu kini sedang asyik dengan mobil terbarunya, sebuah sedan merk BMW. Itu hanya kekayaan yang tampak dari seorang yang semula bernama Abdul Gaffar, pemuda Desa Wonodadi, sanjarnegara, Ja-Teng, yang sekarang berusia 25 tahun. Rezeki Tuhan memang tak selalu bisa ditebak. Semula ia hanya anak lulusan SMA Muhammadiyah -- yang tak mampu melanjutkan sekolah karena soal duit. Lantas dengan gitarnya mencoba mengarang lagu dengan lirik yang bagus -- dan ia memang mengaku berangkat dari syair -- dan menyanyikannya di depan teman-temannya. Pertengahan 1979, begitu lagu-lagunya dikasetkan dengan merk Camelia IIV, ia pun melejit. Tak Ada Telepon Honor dari situ -- dengan royalties Rp 200 per kaset, ditambah pendapatan sekitar Rp 3 - 5 juta sekali manggung dipakainya untuk membuka perusahaan angkutan -- dan ia kini memiliki 20 truk. Juga sebuah kebun cengkih. Tambahan lagi sekarang ia sedang merencanakan membeli dua ribu ekor sapi untuk diternakkan. Semuanya ditaburkan di desanya sendiri, di tempat orang tuanya di Banjarnegara. Di Yogya, ia pun tanam saham di sebuah perusahaan kontraktor. Dan Ebiet lantas "berubah" -- menurut teman-temannya. Linus Suryadi A.G. misalnya -- penyair Yogya yang dulu didekati Ebiet, di samping Emha Ainun Nadjib -- berkata: "Ia sudah jauh dari kami. Sudah tenggelam dalam kekayaannya. " Memang, Ebiet sudah tak pernah lagi sama-sama nongkrong di Malioboro seperti dulu. Barangkali karena terlalu sibuk, tentunya. Di sanping itu menjadi kaya memang tak selalu gampang, bila orang tak menjaga diri dari "perubahan mendadak." Lebih-lebih di kalangan seniman, yang dikatakan "kurang menghargai kekayaan". Bisa timbul salah paham: beberapa kawan Ebiet misalnya merasa risi bertandang ke gedung barunya -- karena, seperti dibilang Edi Kartanegara, "pulangnya selalu diberi uang. Seakan-akan kami memerlukan uangnya. Bukan orangnya." Tapi Ebiet masih doyan tempe dan perkedel, meski mainannya walky talky dan pakaiannya bermerk Lanvin serta Pierre Cardin. Menurut Hamid, saudara sepupunya yang tinggal di rumah Jalan Kaliurang itu, ia pun masih tetap sembahyang -- di sebuah ruang khusus berkarpet merah. "Dia suka warna merah dan bunga," katanya. Yang tak disukainya hanya satu: telepon. Karena itu, dirumah yang berisi antara lain piano merk Yamaha, tape recorder stereo, tv berwarna dan video tape itu, tak ada telepon. "Untuk menghindari gangguan cewek-cewek penggemarnya," tutur Deded, kawan sang penyanyi. Sayang Ebiet sendiri tak bisa dijumpai -- sedang berbelanja di Singapura, konon. Tak bisa ditanyai, misalnya, bagaimana pandangannya terhadap harta -- mewakili para seniman kaya. Pandangan serupa itu bisa diberikan oleh misalnya Raja Dangdut Rhoma Irama, 35 tahun. Ialah tokoh yang lebih dulu dibanding Ebiet -- setidak-tidaknya sudah lima tahun -- beroleh sukses finansial. Malah sebagian orang memperkirakan kerajaan yang dibangunnya ituakan lebih lama umurnya. Tahun-tahun sesudah 1975 (saat lagu-lagunya Berkelana dan Bergadang bergaung di mana-mana), dengan puluhan kaset dan permainannya dalam 11 judul film (dua di antaranya diproduksi perusahaannya sendiri, Rhoma Film) - ia terus mengeduk fulus. Dari situ ia antara lain membeli sedan Mercedes 280 untuknya sendiri -- sedang untuk istri dan anaknya Honda Civic. Tambah lagi untuk grupnya, Soneta, sebuah kolt. Rumahnya sendiri, yang cukup besar, tak mengesankan kemewahan. Boleh dibilang sederhana, meski dengan perabot berukir. Kecuali delapan piringan emas hadiah perusahaan yang tertempel di dinding, di rumah itu hanya kelihatan video tape di atas tv Grundig 28 inci. Apa katanya, tentang hartanya? "Semua ini tidak punya nilai apa-apa. Semua ini hakikatnya milik Allah." Harta itu hanya "menjadi batu ujian bagi saya, apakah saya mampu dibebani amanat sebagai 'khalifatullah' -- yang harus melaksanakan kewajiban -- atau tidak." Makna amanat itu, menurut pak haji ini, "untuk membantu yang miskin dan menyelaraskan hidup dengan lingkungan." Orang Muslim yang menghendaki kebahagiaan dunia-akhirat -- ini masih ceramah pak haji -- haruslah meletakkan harta pada tempat semestinya. "Hakhak Allah, seperti zakat dan lainlain, harus kita dahulukan." Agama tidak melarang umat memiliki banyak harta -"asal tidak merugikan orang lain, dan tidak dipamer-pamerkan. Jika dipamerkan, itu riya, dan itu dilarang." Berpagar besi, dengan cat warna-warni -- sehingga mudah dikenali -- rumah penyanyi yang satu ini dilengkapi sebuah gardu monyet. Di situ berjaga sekretaris merangkap ajudannya. Tapi hubungannya dengan para tetangga kelihatan setidak-tidaknya setiap mengadakan previe film barunya. Ia selalu mengundang ratusan tetangga -- di samping kerabat para pemain -- untuk menonton. Setiap tahun ia membayar zakat, 2% dari penghasilan, sekitar Rp 5 sampai Rp 7 juta. Biasanya diberikan langsung kepada fakir miskin maupun badanbadan agama yang setiap bulan puasa menjadi tamunya. Sudahkah ia merasa bahagia? Ternyata belum. "Jika impian saya dalam da'wah terwujud, barulah saya berbahagia," ujarnya. Tak jelas apakah impiannya dalam da'wah. Tapi ia ingin mengubah nama grupnya menjadi 'Grup Haji Sembilan'. Maklum, para anggotanya sudah naik haji semua. Di tengah kesibukan dan keletihannya, setiap Jum'at Rhoma memerlukan mengunjungi ibunya. Ia memang sulit ditemui, berhubung acaranya yang padat. Tapi ia rajin mengunjungi kenalan dan mengundang makan malam para tetangga, sambil berbincang-bincang tentang agama. Karena itu ia tak ingin tinggal di daerah terpencil yang mewah dan tenteram -- meski sebenarnya ingin juga, supaya bisa beristirahat dari kebisingan. "Tapi mungkin saya akan rugi," katanya. "Saya akan jauh dari masyarakat. Padahal masyarakat amat bernilai bagi saya. " "Putaran Roda" Dengan kalimat berbeda, Elvi Sukaesih (29 tahun), juga menyebutkan, ia tak ingin tinggal di daerah sejuk-sepi. Alasannya "takut jika suatu saat saya jatuh miskin." Lantas tak bisa pergi ke mana-mana karena kesulitan kendaraan. "Kalau di sini 'kan tidak. Kendaraan umum banyak . Oplet juga banyak. " Ia tinggal di daerah Cawang yang ramai -- di sebuah rumah mungil -- bersama suami dan ke-5 anaknya. Berapa kekayaan persisnya, sebagaimana Rhoma ia tak mau menyebutkan. Tapi sejak berpisah dengan Rhoma (semula mereka berduet), 1976, dan jadi ratu dangdut yang laris, antara lain ia bisa membeli sedan Mitsubishi Gallant dan Jeep CJ -7. "Tapi Gallant saya mau dijual. Lagi bokek, nih!" katanya. Yang jelas honor nyanyinya satu lagu sekitar Rp 100 ribu. Jika main film, ia dibayar Rp 10 juta. Setiap tahun ia membayar zakat. "Tidak besar. Tapi memenuhi keharusan - 21%. Bahkan lebih." Dan sebagai orang Islam ia memandang harta seperti diungkapkan Rhoma. Sebagai titipan Tuhan. "Saya hanya boleh membelanjakan hak saya, yaitu yang saya butuhkan sendiri. Sedang zakat adalah hak Allah." "Saya sadar," katanya lagi, "hidup ini seperti putaran roda." Pemusik yang baru-baru ini malangmelintang dengan kegesitan yang mengherankan, adalan Rinto Harahap. Tak syak lagi, orang inilah -- dengan lagu-lagu ciptaannya -- yang menggagahi kancah musik jenis pop hari ini. Makan Pinggir Jalan Orang Batak jebolan grup The Mercy's beranak dua orang itu agaknya pencipta lagu yang dibayar paling mahal sampai sekarang. Ia berkeberatan menyebut jumlah kekayaannya, tentu. Tapi direktur perusahaan rekaman PT Lolipop berusia 32 tahun itu kini memiliki sedan Mercedes Tiger berwarna hijau muda. Harganya sekitar Rp 35 juta. Dan sebuah Toyota Hi-Ace. Rumahnya di Pluit. "Bagaimanapun, saya bangga," ujarnya. "Saya membangun keberhasilan ini melalui suatu usaha yang tak ringan. Saya perjuangkan. Itulah kepuasan saya." Seluruh kekayaannya digunakan untuk mengembangkan perusahaannya. "Dan itu bukan untuk kepentingan saya pribadi," katanya. "Saya ingin agar perusahaan ini bisa dinikmati semua kalangan, termasuk para artis sendiri." Setidak-tidaknya, sejak tahun lalu ia memberikan royalties kepada para penyanyi yang melakukan rekaman di perusahaannya: Rp 150 per kaset. "Mungkin dengan begitu seniman akan lebih banyak dihargai." Karena beragama Kristen Protestan, ia tak mengenal zakat. Dan tak menyediakan dana khusus untuk hal semacam itu. "Secara insidentil saja: kalau ada yang meminta, saya beri." Tapi ia tak lantas bermewah-mewah, katanya pula. Bahkan ia ingin memberi contoh kehidupan yang sederhana kepada sesama pemusik: "Saya acapkali makan di pinggir jalan bersama mereka." Dan yang penting, "saya ingin menikmati kekayaan dari hasil jerih payah saya, tanpa mengubah sikap saya sejak masih naik bis kota."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus