ANGGOTA pramuka itu dinyatakan tenggelam dan hilang ditelan
ombak Samudera Indonesia 1 Januari 1980. Selama enam bulan
terus-menerus berbagai tim dikerahkan mencarinya hidup atau mati
-- semua sia-sia belaka. Tapi akhir Maret 1981, tiba-tiba ia
ditemukan di tengah hutan tak jauh dari pantai -- dalam keadaan
segar bugar, walaupun tak dapat berbicara.
la adalah Eddy Arifin, pelajar kelas III SMP Negeri I Wlingi,
Blitar. Awal 1980, Eddy dan kawan-kawannya, sekitar 300 pramuka
di sekolahnya, berkemah di Pantai Serang, Blitar Selatan. Salah
satu kegiatan mereka adalah menanami pantai yang gersang itu
dengan bibit-bibit kelapa, sesuai dengan anjuran Bupati Blitar
waktu itu, Eddy Slamet.
Hari itu udara di sekitar tempat perkemahan cukup panas.
Karenanya, pada saat beristirahat, beberapa orang di antara
pramuka itu, termasuk Eddy Arifin, mandi di pantai yang memang
selama ini banyak dikunjungi orang untuk berekreasi. "Meskipun
tak bisa berenang, saya lihat Eddy selalu dengan berani
menjemput ombak," tutur Subandrio teman satu kemah Eddy.
Tapi tiba-tiba, di tengah hari itu, tiga gulungan ombak sebesar
rumah menyerbu. Seingat Subandrio, saat itu Eddy, 15 tahun,
berada di luar gulungan ombak terakhir. Bandrio sendiri berada
di antara gulungan ombak dua dan tiga. Eddy sempat berteriak
minta tolong. Tapi Bandrio sendiri sedang bersusah-payah melawan
ombak. Dia akhirnya dilemparkan ombak berikutnya ke arah pantai
-- dan selamat. Tapi Eddy hilang.
Para pramuka yang berkemah, dibantu nelayan-nelayan sekitar
pantai itu segera memburu mayat Eddy. Berbagai tim juga dibentuk
atas perintah bupati. Tapi semua pencarian sia-sia. Masyarakat
Blitar pun mempercayai, Eddy telah dibawa Nyai Loro Kidul,
wanita cantik penguasa lautan di pantai selatan Jawa.
Bejo & Karyono
Hal itu pun diperkuat oleh Pak Kiran, orang yang dianggap pintar
di Desa Sukosewu, Blitar (TEMPO, 31 Maret 1979). Menurut Pak
Kiran, seperti dituturkan kembali oleh Wiyono, ayah Eddy Arifin,
"anak itu akan pulang lagi setelah satu sampai dua tahun lagi."
Eddy, menurut penglihatan Pak Kiran, telah hidup dengan seorang
wanita yang wajahnya mirip ibunya. Istri Wiyono, ibu Eddy,
sendiri masih hidup.
Namun di desanya, Sukosewu, orang tua Eddy mengadakan tahlilan,
kenduri yang biasa dilakukan untuk orang yang baru meninggal
dunia. Wiyono adalah kepala sekolah SD Sukosewu. Eddy anaknya
yang ke-3 di antara lima orang anaknya yang lain. Eddy sendiri
tinggal menumpang pada salah seorang familinya di kota Kecamatan
Gandusari, beberapa kilometer di utara Wlingi. Teman-temannya
mengenal dia sebagai juara kelas yang pendiam.
Bupati Blitar, sementara itu, ingin mengabadikan nama Eddy
Arifin pada sebuah tugu berlambang pramuka di pantai itu.
Maksudnya sebagai kenang-kenangan atas kegiatan pramuka
khususnya Eddy, yang telah menanam kelapa selama perkemahan --
yang menyebabkan seorang dari mereka telah hilang.
Cerita tentang Eddy yang hilang tenggelam di Pantai Serang sudah
dilupakan. Dua orang nelayan, Bejo dan Karyono dari Desa
Kaligambir Kec. Panggungrejo, pun tak berpikir tentang anggota
pramuka yang hilang itu, ketika suatu hari, 19 Maret 1981,
menemukan seorang anak laki-laki di tengah hutan jati, beberapa
kilometer di timur Pantai Serang.
Anak itu sedang bersandar pada sebatang pohon jati dalam keadaan
menunduk. Kedua nelayan tadi tentu saja heran melihat keadaan
tubuhnya waktu itu: berambut dan berkuku panjang, berbaju
compang-camping, baju itu maupun kulitnya berwarna hitam. Ia tak
menjawab ketika ditegur. Ia juga hanya berdiam diri waktu
berkali-kali dibujuk agar turut pulang ke desa.
Bejo dan Karyono langsung melaporkan hal itu kepada Cornelis,
seorang laki-laki asal Sumba (NTT) yang disegani masyarakat
Panggungredjo. Tapi seminggu kemudian baru Cornelis sempat
melihat anak itu di tempat yang disebut ke-2 nelayan tadi. Yang
ditemukannya tak jauh berbeda dari cerita Bejo dan Karyono. Tapi
kini tangan kiri anak itu menggenggam duri landak. Sedang tangan
kanannya menggenggam tulang-tulang ikan.
Berkali-kali laki-laki asal Sumba itu menyapa, anak itu seperti
tak mendengar sesuatu. Tapi setelah Cornelis memegang tangannya
dan menariknya untuk pulang, anak itu menurut. Sampai di rumah,
keluarga Cornelis merawatnya. "Gerak-geriknya menimbulkan
simpati kami sekeluarga," kata Cornelis.
Tapi siapa anak itu, belum seorang pun tahu. Karena ia masih
belum dapat berbicara. Karena di bawah siku tangan kirinya ada
noda hitam (toh), maka Cornelis memberinya nama Toh. Seorang
dukun yang mencoba menolongnya, hanya berhasil membuat Toh mampu
berbicara "ya" dan "tidak".
Cornelis pun, sementara itu mulai bertanya-tanya, siapa yang
pernah mendengar berita anak hilang. Ia ke Surabaya, karena ada
yang mengatakan RRI Surabaya pernah menyiarkan berita anak (asal
Bangkalan, Madura) hilang. Setelah dicek, ternyata tanda-tanda
anak itu berbeda dengan ciri-ciri Toh.
Persis
Tapi di Malang, kepolisian setempat menganjurkan agar berita
penemuan Cornelis itu disiarkan lewat RRI Malang. Tak ada
tanggapan. Namun Cornelis tetap berkeliling beberapa kota untuk
"menawarkan" penemuannya.
Suatu malam ia membawa Toh ke kantor Kecamatan Panggungredjo
untuk menyerahkan anak itu kepada Muspika (Muspida) setempat.
Camat memberi obat-obatan untuk Toh. Namun saat itu, Adi Busono,
sang camat, sudah menduga, anak yang dibawa Cornelis itu adalah
Eddy Arifin, anggota pramuka yang hilang 15 bulan lampau.
Beberapa saksi pun diundang. Antara lain Moegiyar Asmangoen,
salah seorang guru Eddy yang dalam perkemahan dulu bertindak
sebagai pengawas keamanan murid-muridnya. Tak ketinggalan pula
Pak Kiran yang terkenal itu. Moegiyar mencocokkan sidik jari
anak yang bernama Toh itu dengan cap jari yang ada pada ijasah
SD Eddy Arifin. "Persis sama," kata sang guru. Begitu pula
darahnya, setelah diperiksa ke laboratorium beberapa hari
kemudian.
Pak Kiran memberinya minuman jamu. Beberapa saat, Toh sudah
dapat menirukan nyanyian Garuda Pancasila dengan tuntunan
Moegiyar. Beberapa sandi pramuka juga dengan cepat ditirukannya
dengan benar. Bahkan beberapa kalimat dalam bahasa Inggris yang
pernah dipelajarinya di sekolah dipahaminya setelah diucapkan
Moegiyar.
Tinggal sekarang pengakuan Wiyono, ayah Eddy. Sebab selama
beberapa hari di Panggungredjo, kepala SD Sukosewu ini menolak
mengakui anak itu sebagai Eddy. Beberapa tanda di tubuh anak itu
dianggapnya tak cocok dengan yang ada pada Eddy. "Anak itu suka
merokok, padahal Eddy tidak," kata Wiyono. Jalan bijak ditempuh
Danramil Panggungredjo, Toekiyar. Di tengah orang-orang yang
datang ke kantor kecamatan, Toekiyar menyuruh Toh memilih
ayahnya di antara yang ada di situ. Satu per satu yang hadir
ditunjuk Toekiyar, semua dijawab dengan gelengan kepala. Tapi
setelah sampai pada giliran Wiyono yang sengaja didudukkan di
belakang Toh, anak itu segera mengangguk.
Meskipun Wiyono masih belum yakin bahwa anak itu adalah Eddy
Arifin, ia membawanya pulang juga ke Desa Sukosewu. Di rumah,
istri kepala sekolah itu segera memandikan anak itu. Dan kini
terungkaplah semuanya: tanda-tanda di tubuhnya memang
meyakinkan, dialah Eddy Arifin, anak ke-3 keluarga itu yang
dinyatakan telah meninggal tenggelam lebih setahun lampau. "Ini
foto saya, " kata Eddy dengan suara yang belum jelas benar
ketika akhir bulan lalu seorang gurunya menjenguknya untuk
memberikan foto anak itu dalam seragam pramuka.
Sampai pekan lalu, Pak Kiran masih terus mengobati Eddy. Tapi
anak itu masih sering kelihatan seperti orang bingung. Bicaranya
pun masih sulit. Menurut Pak Kiran, semua itu karena Eddy selama
berbulan-bulan kekurangan gizi.
Karena itu Eddy belum mampu mengungkapkan pengalamannya selama
lebih setahun hilang. Juga, dari mana ia mendapatkan baju dan
celana yang dipakainya seperti ketika pertama kali ditemukan dua
nelayan tadi -- sebab ketika berenang ia hanya mengenakan celana
renang.
Akan halnya Cornelis, akan dihadiahi Wiyono uang Rp 70.000,
sekedar ucapan terima kasih dan pengganti ongkosnya merawat
Eddy. "Uang itu akan saya pergunakan untuk membeli keperluan
sekolah Eddy," kata Cornelis. Kedua orang tua Eddy sudah
sepakat, bahwa anak itu juga menjadi anak angkat Cornelis. Sebab
walaupun laki-laki asal Sumba ini telah mempunyai empat anak,
semuanya wanita. Yang tertua, sebaya dengan Eddy.
Dengan kembalinya Eddy, rencana pembuatan tugu untuk dia pun
batal-meskipun pondasi dan alat-alat untuk itu sudah siap. Dan
hari-hari belakangan ini adalah saat-saat sibuk bagi keluarga
Wiyono. Karena tamu dari berbagai penjuru Blitar datang tak
putus-putusnya untuk melihat Eddy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini