Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Toh, dialah Eddy Arifin

Lebih setahun ia dianggap telah meninggal: tenggelam digulung ombak. sebuah tugu sedang dibuat untuknya. tapi tiba-tiba dia muncul kembali. orang tuanya tak percaya.

16 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA pramuka itu dinyatakan tenggelam dan hilang ditelan ombak Samudera Indonesia 1 Januari 1980. Selama enam bulan terus-menerus berbagai tim dikerahkan mencarinya hidup atau mati -- semua sia-sia belaka. Tapi akhir Maret 1981, tiba-tiba ia ditemukan di tengah hutan tak jauh dari pantai -- dalam keadaan segar bugar, walaupun tak dapat berbicara. la adalah Eddy Arifin, pelajar kelas III SMP Negeri I Wlingi, Blitar. Awal 1980, Eddy dan kawan-kawannya, sekitar 300 pramuka di sekolahnya, berkemah di Pantai Serang, Blitar Selatan. Salah satu kegiatan mereka adalah menanami pantai yang gersang itu dengan bibit-bibit kelapa, sesuai dengan anjuran Bupati Blitar waktu itu, Eddy Slamet. Hari itu udara di sekitar tempat perkemahan cukup panas. Karenanya, pada saat beristirahat, beberapa orang di antara pramuka itu, termasuk Eddy Arifin, mandi di pantai yang memang selama ini banyak dikunjungi orang untuk berekreasi. "Meskipun tak bisa berenang, saya lihat Eddy selalu dengan berani menjemput ombak," tutur Subandrio teman satu kemah Eddy. Tapi tiba-tiba, di tengah hari itu, tiga gulungan ombak sebesar rumah menyerbu. Seingat Subandrio, saat itu Eddy, 15 tahun, berada di luar gulungan ombak terakhir. Bandrio sendiri berada di antara gulungan ombak dua dan tiga. Eddy sempat berteriak minta tolong. Tapi Bandrio sendiri sedang bersusah-payah melawan ombak. Dia akhirnya dilemparkan ombak berikutnya ke arah pantai -- dan selamat. Tapi Eddy hilang. Para pramuka yang berkemah, dibantu nelayan-nelayan sekitar pantai itu segera memburu mayat Eddy. Berbagai tim juga dibentuk atas perintah bupati. Tapi semua pencarian sia-sia. Masyarakat Blitar pun mempercayai, Eddy telah dibawa Nyai Loro Kidul, wanita cantik penguasa lautan di pantai selatan Jawa. Bejo & Karyono Hal itu pun diperkuat oleh Pak Kiran, orang yang dianggap pintar di Desa Sukosewu, Blitar (TEMPO, 31 Maret 1979). Menurut Pak Kiran, seperti dituturkan kembali oleh Wiyono, ayah Eddy Arifin, "anak itu akan pulang lagi setelah satu sampai dua tahun lagi." Eddy, menurut penglihatan Pak Kiran, telah hidup dengan seorang wanita yang wajahnya mirip ibunya. Istri Wiyono, ibu Eddy, sendiri masih hidup. Namun di desanya, Sukosewu, orang tua Eddy mengadakan tahlilan, kenduri yang biasa dilakukan untuk orang yang baru meninggal dunia. Wiyono adalah kepala sekolah SD Sukosewu. Eddy anaknya yang ke-3 di antara lima orang anaknya yang lain. Eddy sendiri tinggal menumpang pada salah seorang familinya di kota Kecamatan Gandusari, beberapa kilometer di utara Wlingi. Teman-temannya mengenal dia sebagai juara kelas yang pendiam. Bupati Blitar, sementara itu, ingin mengabadikan nama Eddy Arifin pada sebuah tugu berlambang pramuka di pantai itu. Maksudnya sebagai kenang-kenangan atas kegiatan pramuka khususnya Eddy, yang telah menanam kelapa selama perkemahan -- yang menyebabkan seorang dari mereka telah hilang. Cerita tentang Eddy yang hilang tenggelam di Pantai Serang sudah dilupakan. Dua orang nelayan, Bejo dan Karyono dari Desa Kaligambir Kec. Panggungrejo, pun tak berpikir tentang anggota pramuka yang hilang itu, ketika suatu hari, 19 Maret 1981, menemukan seorang anak laki-laki di tengah hutan jati, beberapa kilometer di timur Pantai Serang. Anak itu sedang bersandar pada sebatang pohon jati dalam keadaan menunduk. Kedua nelayan tadi tentu saja heran melihat keadaan tubuhnya waktu itu: berambut dan berkuku panjang, berbaju compang-camping, baju itu maupun kulitnya berwarna hitam. Ia tak menjawab ketika ditegur. Ia juga hanya berdiam diri waktu berkali-kali dibujuk agar turut pulang ke desa. Bejo dan Karyono langsung melaporkan hal itu kepada Cornelis, seorang laki-laki asal Sumba (NTT) yang disegani masyarakat Panggungredjo. Tapi seminggu kemudian baru Cornelis sempat melihat anak itu di tempat yang disebut ke-2 nelayan tadi. Yang ditemukannya tak jauh berbeda dari cerita Bejo dan Karyono. Tapi kini tangan kiri anak itu menggenggam duri landak. Sedang tangan kanannya menggenggam tulang-tulang ikan. Berkali-kali laki-laki asal Sumba itu menyapa, anak itu seperti tak mendengar sesuatu. Tapi setelah Cornelis memegang tangannya dan menariknya untuk pulang, anak itu menurut. Sampai di rumah, keluarga Cornelis merawatnya. "Gerak-geriknya menimbulkan simpati kami sekeluarga," kata Cornelis. Tapi siapa anak itu, belum seorang pun tahu. Karena ia masih belum dapat berbicara. Karena di bawah siku tangan kirinya ada noda hitam (toh), maka Cornelis memberinya nama Toh. Seorang dukun yang mencoba menolongnya, hanya berhasil membuat Toh mampu berbicara "ya" dan "tidak". Cornelis pun, sementara itu mulai bertanya-tanya, siapa yang pernah mendengar berita anak hilang. Ia ke Surabaya, karena ada yang mengatakan RRI Surabaya pernah menyiarkan berita anak (asal Bangkalan, Madura) hilang. Setelah dicek, ternyata tanda-tanda anak itu berbeda dengan ciri-ciri Toh. Persis Tapi di Malang, kepolisian setempat menganjurkan agar berita penemuan Cornelis itu disiarkan lewat RRI Malang. Tak ada tanggapan. Namun Cornelis tetap berkeliling beberapa kota untuk "menawarkan" penemuannya. Suatu malam ia membawa Toh ke kantor Kecamatan Panggungredjo untuk menyerahkan anak itu kepada Muspika (Muspida) setempat. Camat memberi obat-obatan untuk Toh. Namun saat itu, Adi Busono, sang camat, sudah menduga, anak yang dibawa Cornelis itu adalah Eddy Arifin, anggota pramuka yang hilang 15 bulan lampau. Beberapa saksi pun diundang. Antara lain Moegiyar Asmangoen, salah seorang guru Eddy yang dalam perkemahan dulu bertindak sebagai pengawas keamanan murid-muridnya. Tak ketinggalan pula Pak Kiran yang terkenal itu. Moegiyar mencocokkan sidik jari anak yang bernama Toh itu dengan cap jari yang ada pada ijasah SD Eddy Arifin. "Persis sama," kata sang guru. Begitu pula darahnya, setelah diperiksa ke laboratorium beberapa hari kemudian. Pak Kiran memberinya minuman jamu. Beberapa saat, Toh sudah dapat menirukan nyanyian Garuda Pancasila dengan tuntunan Moegiyar. Beberapa sandi pramuka juga dengan cepat ditirukannya dengan benar. Bahkan beberapa kalimat dalam bahasa Inggris yang pernah dipelajarinya di sekolah dipahaminya setelah diucapkan Moegiyar. Tinggal sekarang pengakuan Wiyono, ayah Eddy. Sebab selama beberapa hari di Panggungredjo, kepala SD Sukosewu ini menolak mengakui anak itu sebagai Eddy. Beberapa tanda di tubuh anak itu dianggapnya tak cocok dengan yang ada pada Eddy. "Anak itu suka merokok, padahal Eddy tidak," kata Wiyono. Jalan bijak ditempuh Danramil Panggungredjo, Toekiyar. Di tengah orang-orang yang datang ke kantor kecamatan, Toekiyar menyuruh Toh memilih ayahnya di antara yang ada di situ. Satu per satu yang hadir ditunjuk Toekiyar, semua dijawab dengan gelengan kepala. Tapi setelah sampai pada giliran Wiyono yang sengaja didudukkan di belakang Toh, anak itu segera mengangguk. Meskipun Wiyono masih belum yakin bahwa anak itu adalah Eddy Arifin, ia membawanya pulang juga ke Desa Sukosewu. Di rumah, istri kepala sekolah itu segera memandikan anak itu. Dan kini terungkaplah semuanya: tanda-tanda di tubuhnya memang meyakinkan, dialah Eddy Arifin, anak ke-3 keluarga itu yang dinyatakan telah meninggal tenggelam lebih setahun lampau. "Ini foto saya, " kata Eddy dengan suara yang belum jelas benar ketika akhir bulan lalu seorang gurunya menjenguknya untuk memberikan foto anak itu dalam seragam pramuka. Sampai pekan lalu, Pak Kiran masih terus mengobati Eddy. Tapi anak itu masih sering kelihatan seperti orang bingung. Bicaranya pun masih sulit. Menurut Pak Kiran, semua itu karena Eddy selama berbulan-bulan kekurangan gizi. Karena itu Eddy belum mampu mengungkapkan pengalamannya selama lebih setahun hilang. Juga, dari mana ia mendapatkan baju dan celana yang dipakainya seperti ketika pertama kali ditemukan dua nelayan tadi -- sebab ketika berenang ia hanya mengenakan celana renang. Akan halnya Cornelis, akan dihadiahi Wiyono uang Rp 70.000, sekedar ucapan terima kasih dan pengganti ongkosnya merawat Eddy. "Uang itu akan saya pergunakan untuk membeli keperluan sekolah Eddy," kata Cornelis. Kedua orang tua Eddy sudah sepakat, bahwa anak itu juga menjadi anak angkat Cornelis. Sebab walaupun laki-laki asal Sumba ini telah mempunyai empat anak, semuanya wanita. Yang tertua, sebaya dengan Eddy. Dengan kembalinya Eddy, rencana pembuatan tugu untuk dia pun batal-meskipun pondasi dan alat-alat untuk itu sudah siap. Dan hari-hari belakangan ini adalah saat-saat sibuk bagi keluarga Wiyono. Karena tamu dari berbagai penjuru Blitar datang tak putus-putusnya untuk melihat Eddy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus