APRIL mendatang akan diselenggarakan Pameran Seni lukis Modern Indonesia di Belanda (PSLMIB). Pameran ini akan menampilkan 120 lukisan pilihan karya 22 pelukis ternama Indonesia. Pada 8-15 Maret 1993, karya yang akan ditampilkan di PSLMIB itu dipamerkan di Gedung Pameran Seni Rupa Departemen P dan K, Gambir, Jakarta. Pameran itu mengambil tema besar: seni lukis modern Indonesia (perkembangan 1940-an1990-an). Maka, dalam pameran ini muncul karya Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Achmad Sadali, yang terkategori perintis seni lukis Indonesia. Juga karya Srihadi Soedarsono, Widayat, Fadjar Sidik, A.D.Pirous, Sudjana Kerton, Nashar, yang mencerminkan perkembangan. Dan karya para perupa generasi 70-an dan 80-an, seperti Made Wyanta, Dede Eri Supria, Iwan Koeswana, dan Heri Dono, yang memperlihatkan seni rupa Indonesia mutakhir. Mau tak mau kurasi PSLMIB mencerminkan konsepsi (pemikiran) tentang seni lukis modern Indonesia. Ini sebuah proposal yang menarik dan aktual. Pada masa kini, mamang ada kecenderungan meli hat perkembangan seni rupa kontemporer di luar arus utama yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Perkembangan di Asia- Pa sifik, Amerika Latin, tercatat sebagai isu yang sering dipersoalkan dan di lingkaran seni rupa dunia. Dan melahirkan perdebatan menarik. PSLMIB disusun dewan kurator gabungan Indonesia-Belanda: Pengamat seni rupa Kusnadi dan Soedarso Sp. dari Institut Seni Indonesia, dan seorang sarjana seni rupa dari Belanda, Helena Spanjaard. Mereka dibantu pengamat seni rupa Agus Dermawan T., pelukis Mella Jaarsma, dan pengamat seni rupa dari Belanda, Els van der Plas. Peran tim Belanda dominan karena dicapai kesepakatan bahwa PSLMIB harus bisa memikat publik Belanda. ''Dan soal publik Belanda, kami yang tahu,'' kata Spanjaard beberapa bulan lalu. Karena kesepakatan itu, sejumlah pelukis Ivan Sagita, Agus Kamal, Lucia Hartini, Sudarisman tidak jadi disertakan. Soalnya, Spanjaard dan Van der Plas mengategorikan karya mereka sebagai lukisan surealisme, yang di Belanda sudah dianggap kuno. ''Orang akan tertawa melihatnya,'' kata Spanjaard. Pernyataan Spanjaard itu mencerminkan pandangan pengamat Barat yang kini sering diperdebatkan. Pangkalnya, anggapan bahwa karya-karya Asia adalah hasil peniruan karya Barat yang ketinggalan zaman. Dengan kata lain, terpengaruh potongan-po tongan aliran seni rupa modern masa awal seperti impresionisme, ekspresionisme, kubisme, atau surealisme. Pandangan semacam ini kini sedang ramai dipersoalkan para pengamat seni rupa Asia. Da lam konteks ini, kesimpulan Spanjaard tentang ''surealisme Indonesia'' layak dipersoalkan. Prinsip estetik surealisme memang sudah kedaluwarsa. Aliran ini membawa citra Eropa 1940-an, dibayangi teori-teori psikologi masa awal yang sekarang sudah dianggap kuno. Tapi, masalahnya, benarkah lukisan Ivan Sagita, Agus Kamal, Lucia Hartini, dan Sudarisman mengacu ke aliran surealisme. Sudarisman, yang vokal di antara para pelukis itu, menolak karya-karyanya didasari surealisme. Karya pelukis yang pernah belajar di Belanda ini terkategori lukisan alegoris, sebuah kecenderungan dalam seni rupa kontemporer yang bisa dipastikan tidak kuno. Alhasil, PSLMIB kehilangan peluang menampilkan sebuah kecenderungan besar dalam perkembangan seni lukis Indonesia. Para pelukis yang ditolak itu, bersama Dede Eri Supria (yang disertakan) dan sejumlah pelukis lain, sebenarnya membentuk sebuah kelompok besar yang seharusnya diamati melalui kecenderungan tekniknya. Lukisan realistik (baru) ini sudah berkembang selama 20 tahun sejak 1970-an, khususnya di Yogyakarta. Namun, di sisi lain, Spanjaard dan kebanyakan pengamat Barat tak bisa serta-merta disalahkan. Informasi tentang perkembangan seni rupa modern dan kontemporer Indonesia yang bisa mereka cerna masih terbatas. Informasi yang tersedia justru pandangan yang mengukuhkan pendapat mereka tentang pengaruh aliran-aliran ekspresionisme, surealisme tadi. Maka, kesulitan Spanjaard menyusun gambaran tentang seni lukis (atau seni rupa) modern Indonesia bisa dipahami. Upaya yang sebe narnya merupakan tugas kurator-kurator museum ini sebuah kerja besar yang masih harus dilakukan (bila museum seni rupa modern su dah berdiri). Upaya ini memerlukan berbagai penelitian dan pemahaman tentang peta modernisme di arus utama, adaptasinya di Indonesia, dan historiografi seni rupa. Maka, bisa dipahami pula bila PSLMIB tidak menggambarkan perkembangan seni lukis modern Indonesia yang sebenarnya. Selain hilangnya beberapa potongan perkembangannya, karya para perintis seni lukis modern (Soedjojono, Hendra Gunawan, Affandi) yang di tampilkan bukan karya bersejarah. Karya Affandi yang bertarikh 1960-an1980-an lebih mencerminkan perkembangan Affandi, bukan pe rannya dalam perkembangan seni lukis modern Indonesia. Barangkali akan lebih baik bila kurasi PSLMIB tidak mengambil tema besar ''seni lukis modern Indonesia.'' Banyak kecenderungan dalam seni rupa modern dan kontemporer Indonesia yang bisa dikembangkan menjadi dasar kurasi. Umpamanya lukisan-lukisan Wayan Bendi, yang kehadirannya dalam PSLMIB terasa janggal. Lukisan Bendi menampilkan fenomena sangat menarik: karya ''tradisional kontemporer'' yang sedang dimasalahkan seni rupa kontemporer dunia. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini