Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Selama ini dilakukan secara pasif

Diusulkan, agar ppti (perkumpulan pemberantasan penyakit tbc paru indonesia) dan pemerintah lebih aktif memberantas tbc, mengingat penyakit ini merugikan diri sendiri maupun masyarakat.

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir-akhir ini banyak ditulis di media massa mengenai penyakit TBC (tuberculose). Seperti kita ketahui, penyakit rakyat ini banyak menelan korban. Orang yang terkena TBC daya kerjanya menurun, dan akibatnya: merugikan diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah. Menurut pakar pulmonologi, penyakit TBC paru cukup memprihatinkan. Alhamdulillah, menurut Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular Depkes, sejak dilaksanakannya imunisasi BCG, tidak ada lagi kasus penyakit paru pada anak-anak. Tetapi masyarakat tidak boleh lengah, karena penyuntikan BCG pada anak tidak berarti anak itu sudah imun atau kebal terhadap penyakit TBC. BCG hanya sekadar memberi ketahanan terhadap penyakit itu. Jelasnya, masih dapat ketularan, hanya saja penyakit TBC-nya tidak separah pada anak-anak yang belum mendapat BCG. Menurut laporan Menkes pada pembukaan Kongres PPTI (Perkumpulan Pemberantas Penyakit TBC Paru Indonesia) di Yogyakarta, September 1992 lalu, penderita TBC paru aktif (masih menular) ada 3 orang dari tiap 1.000 orang (3%). Yang non-aktif (masih sakit TBC, tapi tidak menular) ada 10 kali lebih banyak. Tahun 1960-1965, Pemerintah kita bersama dengan WHO (World Health Organization) mengadakan pilot project untuk mengetahui berapa persen sebenarnya orang sakit TBC paru. Pemerintah menunjuk Prof. Dr. Samallo, kepala Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru, pulmonolog terkenal pada waktu itu. WHO mengirim pulmonolog Dr. Rossner, beserta Dr. Atsuma, pulmonolog merangkap statiker untuk membantu. Yang dipilih adalah Surabaya sebagai kota metropolitan, Yogyakarta sebagai kota agraria, dan Malang sebagai kota di antaranya. Hasil pilot project ini: orang sakit TBC aktif (menular) 3% dan orang sakit TBC non-aktif (tidak menular) 6%. Jadi, selama 20-25 tahun ini tidak ada perubahan. Ini tak mengherankan karena sampai saat ini pemberantasan TBC hanya dilakukan secara pasif. Artinya, yang diobati hanya mereka yang datang ke klinik, sedangkan yang sakit tapi tidak berobat jauh lebih banyak. Menurut perkiraan, ada setengah juta lebih orang yang sakit TBC aktif. Belum lagi ditambah dengan 10 kali setengah juta yang nonaktif. Ini tidak boleh diabaikan. Walaupun nonaktif, jika tidak diawasi, lama kelamaan bisa menjadi TBC aktif. Menurut catatan, risiko menular antara 1,7% dan 4,1% per tahun. Jadi, ada 3 juta sampai 7,3 juta penduduk Indonesia akan tertular TBC setiap tahunnya. Oleh karena itu, PPTI dan Pemerintah harus lebih meningkatkan usahanya dalam pemberantasan penyakit TBC yang aktif ini. Tim pilot project Depkes dan WHO, mengusulkan pemberantasan TBC yang lebih aktif, murah, dan cukup efektif. Mereka mengharapkan 50% dari semua penderita TBC aktif (menular) akan terjaring, dan de ngan memberikan biaya pengobatan yang minimal atau memberi obat dengan harga murah, orang sakit ini menjadi orang sakit TBC non-aktif (tidak menular). DR. R.H. JACHJA SUNABRATA Duren Sawit Barat F XI/6 Jakarta 13470

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus