Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mainan masa kecil bisa diolah menjadi makanan, patung, gambar, dan lukisan. Ini pula yang dilakukan Orbital Dago dan Semata Gallery saat menggelar pameran kelompok bertajuk Main Ayo Main di Jalan Rancakendal Luhur No.7 Bandung, mulai 23 Oktober hingga 8 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mainan tentara jadi pilihan Wilman Hermana untuk mengungkap idenya lewat karya seri berjudul I was Born to Blue #1 hingga #4. Seniman kelahiran Bandung 1 Februari 1982 itu mengecat semua action figure tersebut seutuhnya dengan warna biru. Pun paduannya dengan bahan akrilik yang dibentuk menjadi patung berbentuk balok, bola, dan piramida setinggi 25 dan 60 sentimeter dengan ukuran 20 x 20 serta 30 x 30 sentimeter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman lulusan S1 dan S2 dari Studio Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) itu terkenang ayahnya yang tentara. “Kata tentara identik buat saya adalah sosok seorang ayah dan perang,” ujar Wilman. Bagi dia juga perang adalah sebuah permainan kaum elit untuk merebut kekuasaan, mendominasi wilayah, atau berlatar perbedaan ideologi.
Lukisan berjudul World 1-1 karya Kika Priscilla yang terinspirasi dari kenangan bermain game Mario Bros. (Dok.Pameran)
Beralih ke karya berjudul Repeat Order Please !!!, Junior Arthur Immanuel Tamnge membuat kreasi unik. Gemar bermain robot-robotan di masa kecil, pecinta kuliner itu membuat makanan berbentuk robot dan dinosaurus yang digoreng. Berbahan adonan tepung dan telur serta racikan bumbu seperti cabe, bawang merah dan putih, paprika asap, juga peterseli, tujuh karya gorengannya itu dikemas bak mainan baru yaitu dengan kotak kertas dan plastik transparan.
Kekaryaan Tenessee Caroline terhitung paling banyak dalam pameran ini. Pemural kelahiran Bandung 15 Oktober 1980 itu melukis mobil-mobilan die cast. Berjumlah 10 judul dengan 1-4 mobil per judul, lulusan FSRD ITB angkatan 1999 itu menyatukan seni dan die cast dengan menampilkan lukisan yang terkenal di dunia, seperti Monalisa, pelukis Van Gogh. “Namun wajahnya diganti dengan karakter yang sudah menjadi ciri khas lukisan saya,” ujarnya.
Adapun tiga peserta pameran lainnya membuat karya dwi matra. Kika Priscilla seorang desainer grafis, melukis serpihan kenangannya pada game Mario Bros lewat lukisan berjudul World 1-1 di kanvas berukuran 160 x 120 sentimeter. Game klasik itu sempat dimainkannya sebentar semasa kecil, namun pengalaman visual dan efek suaranya masih membekas.
Karya berjudul Dark Legends #1 Urutoraman, #2 Rokkuman, #3 Kamen Raidã buatan Tommy Aditama Putra (Dok.Pameran)
Sementara Tommy Aditama Putra yang juga desainer grafis, mengangkat visual 3 ikon pop masa kecilnya yaitu Ultraman (Urutoraman), Rockman (Rokkuman), dan Kamen Rider (Kamen Raida). Dia melukis ketiga wajah jagoannya itu pada kanvas berukuran 100 x 100 sentimeter dengan judul Dark Legends. “Keterbatasan visual di masa keemasan ketiganya selalu menarik di mata saya,” katanya. Gambaran ulangnya itu jika dilihat dari dekat akan terkesan pecah dengan garis outline kotak-kotak seperti teka-teki silang.
Berbeda dengan yang lainnya, Rendy Pandita mengusung imajinasinya lewat enam gambar yang dicetak digital pada lembaran akrilik beragam ukuran. Bersumber dari penggalian kenangan masa kecil yang akrab dengan produk-produk budaya populer, seperti film, game, dan mainan, kebanyakan tampilan sosoknya berwujud monster.
Kurator yang juga pemilik Galeri Orbital, Rifky Effendy menyatakan kekaryaan pada pameran ini.
Peserta mengartikulasikan aneka benda mainan sebagai karya yang personal juga terkait fenomena di sekitar kehidupannya. Aspek visualisasi dinilai begitu penting bagi para peserta sehingga unsur bentuk, warna, ikon dan karakter juga teks diciptakan dengan menyolok mata, kadang sangat provokatif. “Tujuannya membangun konstruksi makna baru dan menjadi suatu wahana komunikasi yang khas,” ujarnya.
ANWAR SISWADI