Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Para Pencari Cincin Sulaiman

Terjemahan karya orientalis Van den Berg diterbitkan. Referensi penting bagi pemerhati warga keturunan Arab Hadramaut.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang Arab di Nusantara
Penulis: L.W.C. van den Berg
Pengantar: Karel A. Steenbrink, Ismail Fajrie Alatas
Penerbit: Komunitas Bambu, April 2010

Di mata Lodewijk Willem Christiaan van den Berg (1845-1927), penulis karya klasik Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel indien Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel indien, para imigran Arab yang datang dari Hadramaut tak lebih dari sekelompok orang yang berusaha melepaskan diri dari impitan hidup di negeri asalnya.

Tentu saja, buku yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Orang Arab di Nusantara ini sangat berbeda dengan misalnya Snouck Hurgronje. Penerus Van den Berg ini menilai para imigran dari Hadramaut penyebar Islam dan berpotensi menjadi pemantik pemberontakan. Ya, pendapat yang juga bisa kita dapatkan dalam buku Muhammad al-Baqir, Thariqah Menuju Kebahagiaan. Bahkan yang terakhir ini menyebut Wali Songo merupakan keturunan Hadramaut. Kesamaan mazhab, yaitu Syafi’i, juga menjadi alasan bahwa Islam di Nusantara dibawa oleh pendatang Hadramaut. Mereka memang berprofesi sebagai pedagang untuk menopang kehidupan dan dakwahnya.

Boleh jadi Van den Berg mengambil kesimpulan yang simpel dan bersifat pukul rata itu demi meyakinkan bosnya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia menyebut bahwa sorban tak berban ding lurus dengan ketaatan ber agama, dan ketaatan sekalipun tak akan mengancam pemerintah. Namun penjelasan Van den Berg memang tak begitu populer di antara orang-orang Belanda di Indonesia waktu itu.

Karel A. Steenbrink, orientalis dan guru besar di McGill University Montreal, dalam kata pengantar Orang Arab di Nusantara melukiskan betapa tesis Van den Berg cepat menjadi bulan-bulanan kritik waktu itu. Bahkan Direktur Dalam Negeri (bukan menteri, karena pembantu gubernur jenderal) Van Vleuten sendiri membantah keras. ”Jangan meminta simpati dari semua pegawai (Belanda). Orang Eropa di Hindia Belanda semua benci kepada orang Arab, seperti orang Eropa benci terhadap Yahudi,” demikian kutipan tanggapan Van Vleuten. Dengan kata lain, ia mengingatkan pengaruh yang bisa di timbulkan orang-orang Arab di Hindia Belanda.

Namun tak bisa disangkal bahwa temuan yang kemudian dituangkan dalam Le Hadhramout itu merupakan hasil riset Van den Berg selama dua tahun mendatangi koloni-koloni Arab di Nusantara dan mengorek keterangan dari para imigran itu.

Bagi pembaca awam, buku ini bisa menjawab fenomena keagamaan dan mistik yang melibatkan warga keturunan Arab. Munculnya orang yang gemar mengumpulkan pengikut dan cerita keramat di makam orang suci dimuat dalam buku ini. Menurut Van den Berg, profesi keagamaan bukanlah pilihan. Mereka mengadu nasib demi motif ekonomi menyitir pepatah Arab, mencari cincin Nabi Sulaiman. Van den Berg menceritakan petualangan seorang penipu yang berulang kali dipenjarakan karena utang-piutang yang diperlakukan bak orang suci di Madura, Batavia, dan Semarang. Bahkan, setelah ia meninggal, ”Makamnya menjadi tempat pemujaan bagi golong an pribumi.”

Jelas, ada kebaikan yang ditularkan oleh sekelompok imigran. Kepatuhan kepada hukum Islam, menurut Van den Berg, membuat mereka jauh dari candu dan kriminal, kecuali beberapa kasus penipuan, yang sedikit jumlahnya. Di antara pendatang, hanya saudagar Arab yang tidak mengangkut kekayaannya ke negeri asalnya, kecuali untuk sumbang an masjid atau bantuan kepada saudara yang kesusahan. Aset mereka tersebar dalam bentuk bangunan dan tanah di negeri ini, sehingga ada yang menjadi tuan tanah. Di kemudian hari, sejarah mencatat warga keturunan Hadra maut terjun dalam pergerakan nasional, bahkan mencapai posisi-posisi penting dalam pemerintahan Indonesia.

Buku yang sudah lebih dari seabad tentu memerlukan pembaruan. Inilah yang agaknya kurang diperhatikan penerbitnya. Bagian pertama yang menjelaskan negeri asal para imigran itu menjadi penghambat bagi pembaca yang tak punya banyak waktu untuk berimajinasi tentang letak dan jarak antarkota di Hadramaut. Padahal sebuah peta cukup untuk menggantikan penjelasan panjang dan rumit, yang diperoleh Van den Berg melalui penuturan sumbernya. Sang penulis memang tak pernah menginjakkan kaki di Hadramaut.

Adek Media

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus