Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tangan perajin itu teliti menyisir setiap lekuk karakter wayang potehi yang tengah dibuatnya di salah satu bagian Kelenteng Hong San Kiong di kawasan Gudo, Kabupaten Jombang. Perlahan dia memahat bagian mata, hidung, hingga mulut karakter wayang bernama Unkow itu.
Alat pahat berbagai ukuran yang siap digunakan untuk memoles setiap karakter wayang potehi berjejer di sisi si perajin. "Saya menggarap potehi sudah 11 tahun, setelah bertemu dengan Pak Toni," kata Supangat, sembari menunjuk pria yang tengah mengawasi pembuatan wayang itu.
Toni Harsono, nama pria itu, saksama mengamati setiap detail yang telah dibuat Supangat. Pekerjaan Supangat berhenti hingga bentuk dasar wayang potehi selesai, masih polos tanpa cat dan aksesori lain. Selanjutnya, Toni mengambil alih pekerjaan dengan mengecat dan mengenakan pakaian pada wayang golek asal Tiongkok itu. "Cuma dia yang memahami filosofi setiap karakter wayang," ujar Supangat.
Karakter wayang yang sudah selesai lalu disimpan dalam ruangan khusus. Toni mengawasi semua proses pembuatan wayang di kelenteng itu hingga kemudian digunakan untuk dipentaskan. Toni boleh disebut perintis kembali kebangkitan wayang potehi di Tanah Air.
Wayang golek ini sekarat setelah Soeharto, ketika menjadi presiden, mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang pelaksanaan adat istiadat Cina dilakukan mencolok di depan umum. Setelah reformasi, tepatnya saat Presiden Abdurrahman Wahid menjabat pada 2001, instruksi presiden itu dicabut. Sejak saat itulah Toni merintis kembali pementasan wayang potehi.
Persentuhannya dengan wayang potehi sebenarnya sudah terjadi sejak dia kecil. Kakeknya, Tok Su Kwie, pendiri paguyuban para dalang (sehu) Hok Ho An asal Tiongkok. Sedangkan ayahnya, Tok Hong Kie, dalang terkenal pada zamannya.
Untuk membangkitkan kembali pementasan wayang potehi dan paguyuban Hok Ho An, Toni berguru pada Tio Tiong Gie, sehu asal Semarang yang masih bertahan dan punya 20-30 koleksi kuno wayang potehi. "Saya ingin membangkitkan lagi tokoh dan karakter asli potehi," kata pengusaha toko emas ini.
Paguyuban Hok Ho An, yang berarti rezeki dan keselamatan dalam bahasa Hokkian, kini berkembang. Terakhir mereka mementaskan wayang potehi di beberapa tempat, seperti Sangkring Art Space, Yogyakarta.
Yang menonjol dari wayang potehi buatan paguyuban itu adalah keaslian karakter tokoh yang dibuat. Soal ini, Toni mempercayakannya kepada Supangat. Dialah yang mewujudkan karakter-karakter dalam wayang sesuai dengan orisinalitas wayang potehi yang telah turun-temurun ada di kelenteng itu. "Potehi itu bukan sekadar seni, melainkan juga mengandung unsur agama dan tradisi," ucap Toni saat ditemui pekan lalu.
Supangat awalnya seorang pengukir mebel. Dia mengaku tertarik saat diajak Toni membuat wayang potehi. Pria yang merantau ke Jombang sejak 1979 itu mengatakan awalnya cukup sulit membuat satu karakter potehi. Setiap wayang harus sesuai dengan yang telah didesain Toni. "Setiap potehi kan ada karakternya, ada sejarahnya," kata pria 48 tahun itu.
Untuk urusan keaslian wayang potehi, Toni memang sangat ketat. Meski bukan dalang, dia sangat terperinci memperhatikan wayang potehi yang dibuat. Berkat kegigihan duet Toni dan Supangat, kini wayang potehi perlahan mendapat tempat lagi. Wayang yang banyak dimainkan di kelenteng untuk pemujaan terhadap dewa itu kini pementasannya digelar di banyak tempat. Ardian Purwoseputro, yang menjadi promotor wayang potehi milik Toni, bahkan berencana mengusung kesenian ini ke Singapura saat perayaan Imlek mendatang.
Dia justru menyesalkan abainya pemerintah negeri ini terhadap wayang potehi. Pemerintah Kabupaten Jombang mengakui belum memberikan sokongan dana kepada kesenian ini. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Jombang Suyoto, pemerintah baru memberi bantuan untuk izin dan rekomendasi pertunjukan wayang tersebut. "Pendanaan memang tidak ada," ujarnya.
Juli Hantoro, Agita Sukma Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo