SANTAI. Penuh humor. Ketika memberi khotbah, pengajian, ceramah
agama atau memimpin rapat organisasi. Lebih-lebih bila muncul di
layar TVRI dan corong RRI. Sebab, katanya, dalam berdakwah:
bawalah Islam dengan senyum.
Abdur Rozzaq akhruddin, 67 tahun, selain sebagai ketua umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, juga dikenal sebagai pembawa acara
pengajian di TVRI Stasiun Yogyakarta. Setiap Kamis awal bulan,
ia tampil dengan acara itu disertai serombongan jemaah. Bentuk
pengajian adalah tanya jawab. Setiap kali muncul ia menerima
honor Rp 12.500 - yang sealu ia bagi-bagikan kepada jemaah yang
mcnycrtamya. la Juga punya acara di RKI Nusantara 11 Yogyakarta,
seiap Selasa dan Jumat, setelah subuh. Untuk acara terakhir ini,
ia cukup dijeput dengan sepeda motor - dan honornya Rp 1.500.
Orang Yogya menyebut gaya pidato A.R. Fakhruddin, yang Iebih
dikenal dengan sebutan Pak AR, nggleges: serius dan penuh
kritikan, tapi memhuat pendengarnya tertawa. Di suatu khotbah
Jumat, Pak AR berkata: "Kita ini memang terlalu: diminta
menyumbang untuk masjid selalu memberi dua puluh lima rupiah.
Ada gaji ketiga belas, tetap dua puluh lima. Lha, wong masuk
surga kok cuma bayar dua puluh lima, surga macam apa itu ...."
Pada sebuah ceramah ia berkata: "Kita orang Islam, begitu
percaya pada Al Quran, tetapi tak pernah membuktikan kebenaran
firman Tuhan itu." Schingga, tambahnya "kebenaran itu dibuktikan
orang Amerika. Mereka berhasil membuat pesawat Apollo sedangkan
kita sudah puas hanya membuat es apolo."
Kesenangan berpidato ternyata dimulainya sejak kecil. Tahun
1927, ketika masih kelas empat Standard School di Kota Gede
Yogyakarta, ia memang sudah sering berpidato di hadapan umum.
Ayahnya, yang menjabat gusti nasib (semacam penghulu)
Istana Pakualaman, selain mendidik Fakhruddin dengan penuh
disiplin, juga mengajarinya seluk-beluk agama - termasuk
kepandaian berpidato sebagai modal seoorang juru dakwah.
Ayah Fakhruddin keluar dari Pakualaman dan kembali ke desanya,
Kelurahan Banaran, Kulonprogo, ketika anaknya yang keenam (dari
11 bersaudara) itu baru saja tamat Standard School. Fakhruddin
masih sempat meneruskan ke sekolah guru Mualimin Muhammadiyah di
Yogya. Belum ada setahun, ia dipanggil pulang ke desa.
Sekolahnya tak diteruskan. Tapi di desa, ayahnya lebih banyak
memberinya ilmu agama. "Belum tujuh bulan saya belajar ngaji
pada Ayah, Ayah meninggal dunia," kata kakek 14 cucu itu.
Fakhruddin pergi ke Wonokedi, juga daerah Kulonprogo, untuk
meneruskan ke Sekolah Agama Menengah Muhammadiyah. Di sekolah
ini ia tak lama. Fakhruddin pergi ke Sewu Galuh, juga masih di
Kulonprogo. Tahun 1932 itu ia menjadi murid Darul Ulum (Sekolah
Guru Muhammadiyah). Setelah tamat, ia kembali ke Yogyakarta -
melanjutkan di Tabligh School.
Keahlian Fakhruddin berpidato menarik perhatian gurunya. Ketika
seorang gurunya, Haji Dawam, mendapat tugas mengajar di
Palembang, Fakhruddin diajak serta. "Walau tidak tamat Tabligh
School saya dianggap mampu mengajar," ujarnya. Maka, mulailah
kariernya sebagai guru. "Pertama kali bertugas, saya mengajar di
Standard School Muhammadiyah Talangbalai, Sumatera Selatan. Gaji
saya 12,5 gulden, cukup untuk hidup," katanya mengenang. Dari
Talangbalai ia pindah ke Sekayu, lalu ke Sungaigerong. Selama 10
tahun di Sumatera Selatan itu (sampai 1946), ia juga banyak
memberi pelajaran di luar bangku sekolah, terutama lewat ceramah
di masjid-masjid.
Ada pengalaman tak terlupakan di Sumatera. Fakhruddin pernah
dilempari batu dan telur busuk sewaktu sedang bertablig.
Kejadian itu bermula dari perbedaan paham tentang cara beribadah
di kalangan Islam. Tapi kemudian salah paham dapat diselesaikan.
Setelah pulang dari Sumatera, Fakhruddin bekerja di Departemen
Agama, menjabat kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Yogyakarta
1948. Tahun 1960 ia dipindahkan ke Semarang sebagai kepala
Kantor Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah. Ada kejadian lucu
ketika ia di Semarang. Tahun 1964, Fakhruddin mendaftarkan diri
untuk menjadi mahasiswa di Fakultas Agama Universitas Islam
Sultan Agung (Unisula). "Tapi saya ditolak jadi mahasiswa -
malah diangkat menjadi dosen," tutur Fakhruddin. Bukan cuma
Unisula, bahkan Universitas Diponegoro mengangkat dia juga
sebagai dosen.
Fakhruddin sejak 1972 jadi orang pensiunan. Jabatannya terakhir
kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi D.I.Yogyakarta. Ayah 7
anak ini kini menempati rumah sederhana di Jalan Cik Ditiro,
Yogyakarta. Rumah bercat putih itu tampak kusam, cat pintu dan
jendelanya sudah mengelupas. Di ruang tamunya cuma ada tiga
pasang kursi, model yang sudah sulit dicari karena begitu tua.
"Rumah ini bukan milik saya pribadi," kata Fakhruddin. "Rumah
ini milik Muhammadiyah. Sebagian dijadikan asrama dan ditempati
10 orang mahasiswa."
Sudah 14 tahun Kiai Haji Fakhruddin memimpin Muhammadiyah,
organisasi pendidikan dan sosial Islam yang didirikan Almarhum
K.H. Achmad Dahlan. Karier kepemimpinan di organisasi Islam ini
ia tempuh dari ketua ranting, kepemimpinan paling bawah. Kini,
menurut kiai yang suka merokok ini, Muhammadiyah punya sekitar
800.000 anggota yang memiliki kartu. "Kalau dihitung dengan
simpatisan, anggota Muhammadiyah mungkin mencapai lebih dari 30
juta," katanya. Memiliki sekolah dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi sekitar 12.000 dan taman kanak-kanak sekitar
2.000, bagi Pak AR, organisasi ini merupakan tantangan. "Karena
itu, saya ingin kaum muda tampil, agar organisasi ini maju,"
kata Fakhruddin sambil menyinggung Muktamar Muhammadiyah,
Januari tahun depan, di Solo. Dalam muktamar itu jua akan
disinggung soal asas tunggal meskipun, katanya,"bagi
Muhammadiyah, asas tunggal belum menjadi masalah, karena belum
ada undang-undangnya."
Kepemimpinan Fakhruddin di Muhammadiyah dinilai orang sangat
kalem - dan ini sering ditafsirkan serba lamban. "Saya memang
tak pernah ribut dalam memimpin organisasi. Toh dengan
komunikasi, segala masalah dapat diselesaikan," katanya.
Tentang kelambanan, ia tak mengomentarinya, tapi ia menyebutkan
contoh sewaktu umat Islam ribut tentang RUU Perkawinan. "Saya
tenang saja, tetapi dengan cepat memanggil pengurus. Mari kita
pelajari, bagian mana yang bertentangan dengan Islam, kemudian
dikomunikasikan, hasilnya baik," kata Fakhruddin. Waktu itu
Fakhruddin, selaku ketua umum PP Muhammadiyah, berkali-kali
memberikan penjelasan kepada pemeintah tentang keinginan
Muhammadiyah. "Bukan menginginkan negara Islam, tapi yang
diinginkakn adalah agar orang yang mengaku beragama Islam dapat
melaksanakan Islam dengan baik," tuturnya.
Dengan uang pensiun Rp 80.000 sebulan, Fakhruddin merasa cukup
hidup di Yogya. Apalagi dari 7 anaknya hanya dua orang belum
berkeluarga. Dalam usia yang cukup sepuh dan mengidap penyakit
gula, ia masih sering mondar-mandir naik sepeda motor bebek,
dengan mengenakan sarung dan pici. "Kalau diundang berceramah,
diboncengkan motor juga mau. Yang penting sampai," katanya.
Sehari-hari di rumah, waktunya banyak tersita untuk membalas
surat-surat dari penonton TVRI dan pendengar RRI. Semuanya,
sekitar 30 surat tiap bulan, minta nasihat dan Pak AR dengan
berpanjang-panjang memberikan jawaban. Namun, belakangan,
rumahnya tak pernah sepi dari tamu: sebagian besar minta
bimbingan dan nasihat tentang berbagai soal. Dari mahasiswa baru
yang minta nasihat di mana sebaiknya mencari tempat kos, gadis
yang bingung karena cinta, pertengkaran rumah tangga, istri yang
menyeleweng, sampai ada wanita yang ketakutan karena merasa
digoda hantu. "Resep saya untuk menjawab pertanyaan selalu sama
yaitu iman keislamannya saya kuatkan," kata Pak AR. Contohnya,
wanita yang merasa digoda hantu itu ia bimbing berdoa dan salat
lebih sempurna. "Setelah itu, hantu itu katanya tak pernah
mengganggu lagi," cerita Fakhruddin.
Kalau hari raya tamu yang datang lebih banyak lagi. "Lebaran
yang lalu persediaan gula 25 kg, habis," kata Siti Qomariah,
istri Pak AR yang dinikahi pada bulan puasa tahun 1940. "Saya
santai saja, karena gula habis, kami suguhi teh pahit," sambung
KH A.R. Fakhruddin dengan kalem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini