Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Pembawa acara pengajian pak ar di atas motor bebek

Abdur rozaq fakhruddin, 67, pembawa acara pengajian di tvri dan rri nusantara ii yogyakarta, dikenal dengan sebutan pak ar, nggleges, seorang da'i yang paling dikagumi. (tk)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANTAI. Penuh humor. Ketika memberi khotbah, pengajian, ceramah agama atau memimpin rapat organisasi. Lebih-lebih bila muncul di layar TVRI dan corong RRI. Sebab, katanya, dalam berdakwah: bawalah Islam dengan senyum. Abdur Rozzaq akhruddin, 67 tahun, selain sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, juga dikenal sebagai pembawa acara pengajian di TVRI Stasiun Yogyakarta. Setiap Kamis awal bulan, ia tampil dengan acara itu disertai serombongan jemaah. Bentuk pengajian adalah tanya jawab. Setiap kali muncul ia menerima honor Rp 12.500 - yang sealu ia bagi-bagikan kepada jemaah yang mcnycrtamya. la Juga punya acara di RKI Nusantara 11 Yogyakarta, seiap Selasa dan Jumat, setelah subuh. Untuk acara terakhir ini, ia cukup dijeput dengan sepeda motor - dan honornya Rp 1.500. Orang Yogya menyebut gaya pidato A.R. Fakhruddin, yang Iebih dikenal dengan sebutan Pak AR, nggleges: serius dan penuh kritikan, tapi memhuat pendengarnya tertawa. Di suatu khotbah Jumat, Pak AR berkata: "Kita ini memang terlalu: diminta menyumbang untuk masjid selalu memberi dua puluh lima rupiah. Ada gaji ketiga belas, tetap dua puluh lima. Lha, wong masuk surga kok cuma bayar dua puluh lima, surga macam apa itu ...." Pada sebuah ceramah ia berkata: "Kita orang Islam, begitu percaya pada Al Quran, tetapi tak pernah membuktikan kebenaran firman Tuhan itu." Schingga, tambahnya "kebenaran itu dibuktikan orang Amerika. Mereka berhasil membuat pesawat Apollo sedangkan kita sudah puas hanya membuat es apolo." Kesenangan berpidato ternyata dimulainya sejak kecil. Tahun 1927, ketika masih kelas empat Standard School di Kota Gede Yogyakarta, ia memang sudah sering berpidato di hadapan umum. Ayahnya, yang menjabat gusti nasib (semacam penghulu) Istana Pakualaman, selain mendidik Fakhruddin dengan penuh disiplin, juga mengajarinya seluk-beluk agama - termasuk kepandaian berpidato sebagai modal seoorang juru dakwah. Ayah Fakhruddin keluar dari Pakualaman dan kembali ke desanya, Kelurahan Banaran, Kulonprogo, ketika anaknya yang keenam (dari 11 bersaudara) itu baru saja tamat Standard School. Fakhruddin masih sempat meneruskan ke sekolah guru Mualimin Muhammadiyah di Yogya. Belum ada setahun, ia dipanggil pulang ke desa. Sekolahnya tak diteruskan. Tapi di desa, ayahnya lebih banyak memberinya ilmu agama. "Belum tujuh bulan saya belajar ngaji pada Ayah, Ayah meninggal dunia," kata kakek 14 cucu itu. Fakhruddin pergi ke Wonokedi, juga daerah Kulonprogo, untuk meneruskan ke Sekolah Agama Menengah Muhammadiyah. Di sekolah ini ia tak lama. Fakhruddin pergi ke Sewu Galuh, juga masih di Kulonprogo. Tahun 1932 itu ia menjadi murid Darul Ulum (Sekolah Guru Muhammadiyah). Setelah tamat, ia kembali ke Yogyakarta - melanjutkan di Tabligh School. Keahlian Fakhruddin berpidato menarik perhatian gurunya. Ketika seorang gurunya, Haji Dawam, mendapat tugas mengajar di Palembang, Fakhruddin diajak serta. "Walau tidak tamat Tabligh School saya dianggap mampu mengajar," ujarnya. Maka, mulailah kariernya sebagai guru. "Pertama kali bertugas, saya mengajar di Standard School Muhammadiyah Talangbalai, Sumatera Selatan. Gaji saya 12,5 gulden, cukup untuk hidup," katanya mengenang. Dari Talangbalai ia pindah ke Sekayu, lalu ke Sungaigerong. Selama 10 tahun di Sumatera Selatan itu (sampai 1946), ia juga banyak memberi pelajaran di luar bangku sekolah, terutama lewat ceramah di masjid-masjid. Ada pengalaman tak terlupakan di Sumatera. Fakhruddin pernah dilempari batu dan telur busuk sewaktu sedang bertablig. Kejadian itu bermula dari perbedaan paham tentang cara beribadah di kalangan Islam. Tapi kemudian salah paham dapat diselesaikan. Setelah pulang dari Sumatera, Fakhruddin bekerja di Departemen Agama, menjabat kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Yogyakarta 1948. Tahun 1960 ia dipindahkan ke Semarang sebagai kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi Jawa Tengah. Ada kejadian lucu ketika ia di Semarang. Tahun 1964, Fakhruddin mendaftarkan diri untuk menjadi mahasiswa di Fakultas Agama Universitas Islam Sultan Agung (Unisula). "Tapi saya ditolak jadi mahasiswa - malah diangkat menjadi dosen," tutur Fakhruddin. Bukan cuma Unisula, bahkan Universitas Diponegoro mengangkat dia juga sebagai dosen. Fakhruddin sejak 1972 jadi orang pensiunan. Jabatannya terakhir kepala Kantor Penerangan Agama Provinsi D.I.Yogyakarta. Ayah 7 anak ini kini menempati rumah sederhana di Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta. Rumah bercat putih itu tampak kusam, cat pintu dan jendelanya sudah mengelupas. Di ruang tamunya cuma ada tiga pasang kursi, model yang sudah sulit dicari karena begitu tua. "Rumah ini bukan milik saya pribadi," kata Fakhruddin. "Rumah ini milik Muhammadiyah. Sebagian dijadikan asrama dan ditempati 10 orang mahasiswa." Sudah 14 tahun Kiai Haji Fakhruddin memimpin Muhammadiyah, organisasi pendidikan dan sosial Islam yang didirikan Almarhum K.H. Achmad Dahlan. Karier kepemimpinan di organisasi Islam ini ia tempuh dari ketua ranting, kepemimpinan paling bawah. Kini, menurut kiai yang suka merokok ini, Muhammadiyah punya sekitar 800.000 anggota yang memiliki kartu. "Kalau dihitung dengan simpatisan, anggota Muhammadiyah mungkin mencapai lebih dari 30 juta," katanya. Memiliki sekolah dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi sekitar 12.000 dan taman kanak-kanak sekitar 2.000, bagi Pak AR, organisasi ini merupakan tantangan. "Karena itu, saya ingin kaum muda tampil, agar organisasi ini maju," kata Fakhruddin sambil menyinggung Muktamar Muhammadiyah, Januari tahun depan, di Solo. Dalam muktamar itu jua akan disinggung soal asas tunggal meskipun, katanya,"bagi Muhammadiyah, asas tunggal belum menjadi masalah, karena belum ada undang-undangnya." Kepemimpinan Fakhruddin di Muhammadiyah dinilai orang sangat kalem - dan ini sering ditafsirkan serba lamban. "Saya memang tak pernah ribut dalam memimpin organisasi. Toh dengan komunikasi, segala masalah dapat diselesaikan," katanya. Tentang kelambanan, ia tak mengomentarinya, tapi ia menyebutkan contoh sewaktu umat Islam ribut tentang RUU Perkawinan. "Saya tenang saja, tetapi dengan cepat memanggil pengurus. Mari kita pelajari, bagian mana yang bertentangan dengan Islam, kemudian dikomunikasikan, hasilnya baik," kata Fakhruddin. Waktu itu Fakhruddin, selaku ketua umum PP Muhammadiyah, berkali-kali memberikan penjelasan kepada pemeintah tentang keinginan Muhammadiyah. "Bukan menginginkan negara Islam, tapi yang diinginkakn adalah agar orang yang mengaku beragama Islam dapat melaksanakan Islam dengan baik," tuturnya. Dengan uang pensiun Rp 80.000 sebulan, Fakhruddin merasa cukup hidup di Yogya. Apalagi dari 7 anaknya hanya dua orang belum berkeluarga. Dalam usia yang cukup sepuh dan mengidap penyakit gula, ia masih sering mondar-mandir naik sepeda motor bebek, dengan mengenakan sarung dan pici. "Kalau diundang berceramah, diboncengkan motor juga mau. Yang penting sampai," katanya. Sehari-hari di rumah, waktunya banyak tersita untuk membalas surat-surat dari penonton TVRI dan pendengar RRI. Semuanya, sekitar 30 surat tiap bulan, minta nasihat dan Pak AR dengan berpanjang-panjang memberikan jawaban. Namun, belakangan, rumahnya tak pernah sepi dari tamu: sebagian besar minta bimbingan dan nasihat tentang berbagai soal. Dari mahasiswa baru yang minta nasihat di mana sebaiknya mencari tempat kos, gadis yang bingung karena cinta, pertengkaran rumah tangga, istri yang menyeleweng, sampai ada wanita yang ketakutan karena merasa digoda hantu. "Resep saya untuk menjawab pertanyaan selalu sama yaitu iman keislamannya saya kuatkan," kata Pak AR. Contohnya, wanita yang merasa digoda hantu itu ia bimbing berdoa dan salat lebih sempurna. "Setelah itu, hantu itu katanya tak pernah mengganggu lagi," cerita Fakhruddin. Kalau hari raya tamu yang datang lebih banyak lagi. "Lebaran yang lalu persediaan gula 25 kg, habis," kata Siti Qomariah, istri Pak AR yang dinikahi pada bulan puasa tahun 1940. "Saya santai saja, karena gula habis, kami suguhi teh pahit," sambung KH A.R. Fakhruddin dengan kalem.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus