Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mengorek kakawin di atas karas

Jakarta: djambatan, 1983. resensi oleh: nia kurnia sholihat irfan. (bk)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINJAUAN KRITIS TENTANG SEJARAH BANTEN Oleh: Hoesein Djajadiningrat Penerbit: Djambatan, Jakarta, 1983, 400 halaman DAERAH-daerah Nusantara dan Asia Tengara umumnya memiliki kronik sejarah lokal, yang dikenal dengan berbagai istilah: babad (Jawa), hikayat (Melayu), patturioloang (Makasar), tutuik (Roti), praatsat (Thai), bangsawatar (Khmer), quoc-su (Vietnam), dan sebagainya. Penulisan kronik semacam itu umumnya bertujuan mempertinggi wibawa penguasa di mata rakyatnya, atau untuk memperoleh legitimasi bagi dinasti yang baru berkuasa. Fakta sejarah yang disajikan biasanya bercampur dengan dongeng dan mitos, sehingga kebenaran beritanya harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih sahih. Namun, tradisi lokal itu tak dapat diabaikan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hakikatnya, dongeng dan mitos sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh sejarah yang diceritakan. Jadi, hikayat-hikayat tersebut disusun berdasarkan fakta yang pernah terjadi. Adalah tugas para ahli untuk memisahkan fakta sejarah dari dongeng dan mitos yang membumbuinya. Naskah Sadjarah Banten atau Babad Banten, yang disusun tahun 1662-1663 dalam bentuk tembang macapat, merupakan obyek penelitian salah seorang putra terbaik Indonesia, Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat (1886-1960), sebagai disertasi doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Nusantara pada Universitas Leiden, 3 Mei 1913. Disertasi yang berjudul Critische Beschouwin. van de Sadjarah Banten itu dipromotori oleh Prof. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje. Buku yang kini kita bicarakan adalah terjemahan disertasi itu, dalam rangka kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV). Sayang sekali, panitia penerjemah tidak menganggap perlu mengenalkan pengarang kepada pembaca. Padahal, generasi sekarang tidak banyak yang mengetahui peranan beliau. Perlu dicatat, buku ini telah menobatkan Hoesein Djajadiningrat sebagai putra Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, dan sekaligus menyadarkan para ilmuwan Belanda masa itu bahwa kaum bumiputra (inlander) mampu meraih jenjang tertinggi dunia ilmu pengetahuan asalkan diberi kesempatan. Prof. Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Serang, pernah menjadi anggota Raad van Inde (semacam dewan penasihat red.) di zaman Belanda, serta kepala Departemen Agama (Shumubu) di zaman Jepang. Juga beliau merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai yang menyusun UUD 1945. Di saat wafatnya, beliau menjabat ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia, di samping tugas guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karangan-karangan ilmiah Prof. Hoesien tersebar dalam berbagai bahasa, antara lain kamus Aceh-Belanda uraian tentang Islam di Indonesia dalam buku Kenneth W. Morgan, Islam the Straight Path, 1958. Disertasi Prof. Hoesein terdiri atas empat bab. Pada Bab I diuraikan isi Sadjarah Banten. Bab II menganalisa bagian yang tergolong fakta sejarah, dan Bab III mengupas bagian yang berupa legenda. Dalam Bab Penutup, Prof. Hoesein menerangkan ciri pokok penulisan sejarah Jawa. Gaya penulisan Sadjarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria: menceritakan sesuatu melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam digubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian juga Sadjarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra. Sadjarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh I - XVI), isinya hampir mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh XVII-LXVI), khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram. Namun, yang dianalisa Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sadjarah Banten - bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 -itu beliau raih dengan pujian (cum laude). Dengan menggunakan catatan bangsa Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal lainnya, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sadjarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaram agama Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian, Hasanuddin menjadi raja di Banten. Penaklukan Pakuan Pajajaran oleh Banten berlangsung pada zaman pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Maulana Yusuf digantikan oleh putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan kapal orang Parenggi (Belanda) di pelabuhan Banten. Kemudian Banten diperintah oleh putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta). Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekah yang mewakili Sultan Rum (Turki), untuk meminta gelar Sultan. Maka, Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar Sultan. Pada saat Sadjarah Banten disusun (1663), Banten diperintah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abdulfath Abdulfattah yang sedang gigih melawan Belanda. Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sadjarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan meletakkan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit? Kendati demikian, itu tidak berarti semua pendapat Prof Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Tapi identifikasi yang salah dari Prof. Hoesein ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada 1957, sejarawan Belanda, R.A. Kern, mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun, waktu itu, argumentasinya belum cukup kuat. Penyamaan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari (PCN) pada 1970 di Cirebon. PCN mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadilah Khan. Sedangkan Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon, salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran. Nama aslinya Syarif Hidayat. Dan adalah Sunan Gunung Jati, dan bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten. Lepas dari masalah di atas, disertasi Prof. Hoesein ini layak dibaca bagi yang berminat meneliti peninggalan tertulis nenek moyang kita yang sangat banyak itu. Sebab, hampir setiap daerah di tanah air kita memiliki catatan sejarah, sejenis dengan Sadjarah Banten, yang menanti penggarapan para ahli, guna mengisi kekosongan historiografi bangsa kita. Nia Kurnia Sholihat Irfan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus