Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS Antasari Azhar merupakan ujian sekaligus jebakan bagi Komisi Yudisial. Lembaga ini boleh saja mencurigai hakim yang menghukum terdakwa 18 tahun penjara dalam kasus pembunuhan. Ini putusan berani, karena bukti keterlibatan Antasari tidak terlalu meyakinkan. Tapi komisi pengawas hakim itu akan tergelincir jika berusaha menilai vonis.
Perangkap itu muncul setelah Komisi Yudisial menangani pengaduan Antasari. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini merasa diperlakukan tidak adil lantaran diputus bersalah dalam perkara pembunuhan berencana terhadap Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. Ia dinyatakan ikut menganjurkan menghabisi korban, tiga tahun lalu. Aktor lain dalam perkara ini juga telah diadili, dari eksekutor hingga pejabat kepolisian yang memerintahkan penembakan. Mereka umumnya dihukum 12-17 tahun penjara.
Vonis itulah yang dipertanyakan kuasa hukum Antasari, karena buktinya tidak mendukung. Misalnya, pesan pendek berisi ancaman terdakwa terhadap korban, yang dijadikan bahan dakwaan, ternyata dalam persidangan tidak terbukti berasal dari telepon seluler Antasari. Keterangan saksi ahli pun menyatakan senjata yang dijadikan bukti rusak dan macet sehingga tak mungkin dipakai menembak secara jitu. Ahli forensik menyatakan pula kepala korban diterjang peluru berkaliber 9 milimeter, bukan 0,38 mm seperti versi penegak hukum.
Berbagai keganjilan itu mendorong anggota Komisi Yudisial melangkah terlalu jauh. Mereka terkesan berupaya menelusuri materi perkara, sekaligus menilai putusan hakim. Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial, tugas utama lembaga ini adalah menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Dengan kata lain, Komisi lebih banyak berurusan dengan penegakan kode etik hakim.
Sejauh ini, belum ada indikasi para hakim yang menangani kasus Antasari disuap atau bermain mata dengan pihak lain sehingga merugikan terdakwa. Pelanggaran kode etik yang mungkin relevan dalam kasus ini menyangkut pengabaian fakta yang menunjukkan hakim tidak bersikap profesional. Di sinilah mestinya Komisi Yudisial memfokuskan penyelidikan. Tanpa harus membongkar serta menguji lagi bukti dan kesaksian dalam perkara Nasrudin, Komisi bisa menelusuri kemungkinan pelanggaran kode etik ini.
Boleh saja komisioner memanggil semua pihak yang terlibat dalam persidangan kasus itu, sepanjang bertujuan menyelidiki pelanggaran kode etik, dan bukannya menguji bukti atau kesaksian mereka. Jika hal terakhir dilakukan, Komisi Yudisial tidak sekadar mengawasi hakim, tapi cenderung mengambil alih tugas hakim.
Godaan ke arah penyalahgunaan wewenang itu cukup besar, karena kasus Antasari menjadi sorotan publik. Kita semua ingin keganjilan, bahkan kemungkinan adanya rekayasa, kasus ini dibongkar. Masalahnya, kejanggalan ini sudah terjadi sejak di tingkat penyidikan dan penuntutan. Tentu saja, hakim pun harus bertanggung jawab karena mereka yang menjatuhkan putusan. Tapi, sepanjang menyangkut putusan itu sendiri, pengadilan telah memiliki mekanisme koreksi secara berlapis.
Kasus Antasari telah melewati pengadilan banding dan tingkat kasasi. Jika bisa dibuktikan bahwa terdakwa benar-besar tidak bersalah, masih ada satu cara untuk mengoreksi putusan itu, yakni lewat peninjauan kembali. Komisi Yudisial dan masyarakat mesti bersabar dan menghormati mekanisme ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo