Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK cukup alasan membenarkan perangai prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menembakkan peluru ke arah petani Urut Sewu, Desa Setro Jenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen, Jawa Tengah. Tindakan ini hanya semakin menambah deretan ”dosa”—ketika tentara memakai bedil melawan rakyat dalam sengketa tanah.
Petani Urut Sewu merasa berhak karena telah puluhan tahun menggarap lahan itu. Sebaliknya, tentara mengklaim tanah yang digunakan untuk latihan militer itu milik negara. Insiden terjadi ketika sejumlah petani berunjuk rasa dengan menebang pohon untuk menutup jalan menuju tempat latihan. Mereka juga berusaha masuk ke markas TNI. Tindakan inilah yang diduga memancing tentara mengeluarkan tembakan, yang melukai sekitar sepuluh petani.
Kejadian serupa pernah terjadi pada Januari 2007, di Kampung Cibitung, Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Bogor. Bentrokan dipicu rencana TNI Angkatan Udara membangun tempat latihan militer. Rakyat, yang merasa sebagai pemilik tanah, pun menolak. Lima penduduk terluka, satu di antaranya tertembak di leher.
Di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Pasuruan, Jawa Timur, juga pernah meletus bentrokan serupa. TNI Angkatan Laut, yang berencana membangun pusat latihan tempur marinir, mendapat penolakan dari penduduk setempat. Ketika itu, empat orang tewas tertembak, belasan lainnya terluka.
Pangkal soal konflik itu adalah ketidakjelasan status tanah. Dalam insiden Kebumen, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang turun meneliti peristiwa ini mendapat informasi dari kantor Badan Pertanahan setempat bahwa tidak ada satu pun surat kepemilikan atas tanah tersebut, baik oleh tentara maupun petani. Artinya, tanah seluas 1.050 hektare ini sepenuhnya milik negara.
Menilik status tanah itu, petani Urut Sewu sepatutnya didahulukan mendapat hak menguasai tanah. Kenyataan bahwa mereka telah menggarap tanah itu sejak puluhan tahun lalu bisa menjadi dasar hukum yang kuat untuk memberikan hak tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah secara terang menjelaskan penguasaan fisik atas tanah selama 20 tahun atau lebih dengan iktikad baik secara terbuka bisa menjadi dasar pembukuan hak atas tanah.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebutkan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Aturan ini bermakna tanah itu tidak boleh ditelantarkan agar bisa bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Jika penelantaran terjadi, menurut undang-undang itu, hak seseorang atas tanah bisa terhapus.
Badan Pertanahan Nasional harus segera terjun ke lapangan meneliti kasus ini. Langkah cepat mempertegas status tanah di Dusun Urut Sewu harus menjadi prioritas. Meski berhadapan dengan tentara, Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional, tidak perlu sungkan menetapkan status tanah itu sebagai milik rakyat jika memang aturan soal pendaftaran tanah sudah terpenuhi. Tanpa kejelasan status tanah itu, bentrokan serupa bisa terjadi sewaktu-waktu.
Insiden Kebumen berdarah ini juga wajib diusut tuntas. Aparatur penegak hukum tak perlu ragu menindak para pelaku perbuatan anarkistis, baik di pihak masyarakat maupun tentara. Mereka yang bersalah harus diseret ke depan hukum, tanpa pandang bulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo