Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Pembuat helikopter dari mojoduwur

Khalil kurdi, berupaya untuk merancang dan menciptakan sendiri pesawat helikopter. ketika helikopter itu siap dicoba, tiba-tiba turun larangan dari kodim. khalil merasa kecewa.(tk)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA-TIBA ia ingin membuat helikopter. Maka sejumlah uang yang ditabungnya selama 10 tahun sebagai transmigran, ia belanjakan membeli alat-alat pesawat itu. Namun ketika helikopter itu sudah siap diuji, tiba-tiba datang larangan dari Kodim -- karena ia tak memiliki izin. Khalil Kurdi juga tak tahu pasti, izin apa yang dimaksud petugas Kodim Jombang itu. Yang pasti karena larangan itu ia hampir putus-asa sama sekali. "Saya harus merantau lagi lebih jauh untuk melupakan semua itu," katanya dengan nada kesal. Kalau itu terjadi, berarti Khalil, 27 tahun, akan mengulangi jejaknya lebih 10 tahun yang lampau. Ketika itu, 1970, sebagai pemuda yang hanya sempat menduduki bangku SD kelas III, ia berada di antara transmigran dari Desa Mojoduwur, Jombang. Tujuan mereka adalah Kalimantan Timur, di sebuah lokasi transmigrasi yang tak begitu jauh dari Samarinda. Selama 3 bulan pertama, selain bertani Khalil juga bekerja sambilan pada sebuah bengkel mobil yang berada tak jauh dari pemukiman para transmigran itu. Tapi selanjutnya, dengan bekal pengetahuan ala kadarnya dari bengkel itu, ia memutar haluan sebagai montir truk merangkap sopir pada sebuah perusahaan penebangan kayu di Samarinda. Rumah Gubuk Di sinilah pertama kali ia melihat helikopter secara jelas. Pesawat milik pimpinan perusahaan tempat ia bekerja itu selalu parkir di pangkalan truk. "Kalau sedang nganggur, saya sering mengutak-atik helikopter itu," tutur laki-laki yang kini telah memiliki 3 orang anak itu "sehingga suatu ketika, tiba-tiba saya ingin membuat sendiri pesawat seperti itu." Untuk menambah pengetahuannya tentang pesawat itu, Khalil pun berteman baik dengan pilot heli itu. "Pada dasarnya, semua mesin penggerak dapat menerbangkan helikopter," kata Khalil menirukan ajaran penerbang berkebangsaan Malaysia itu. Kata-kata inilah rupanya yang selalu membalut pikiran anak Desa Mojoduwur itu. Suatu ketika ia merasa sudah siap untuk menciptakan sendiri pesawat serupa itu. Namun sementara itu ia pun sadar, sejumlah modal diperlukan untuk mewujudkannya. Jalan satu-satunya hanyalah dengan menabung. "Saya mengurangi kebiasaan berfoya-foya," ia mengenangkan. Bahkan untuk mengontrol pengeluarannya, ia menikahi seorang gadis Samarinda. Dengan uang tabungan Rp 1 juta, bersama istri dan ke-3 anaknya, awal April tahun lalu Khalil pulang ke Mojoduwur. Tekadnya sudah bulat: sebuah helikopter harus terwujud. Kedua adik laki-lakinya dikerahkan untuk membantu. Uang simpanan mulai dibelanjakan membeli besi baja untuk kerangka, lembaran-lembaran aluminium untuk dinding tubuh dan ekor, sebuah kompresor, dua buah generator masing-masing 3 PK untuk memutar baling-baling dan mengangkat tubuh pesawat -- dan berbagai peralatan lain. Sejak 15 April 1980 tiga bersaudara itu mulai bekerja setiap hari di halaman belakang rumah mereka. Penduduk Mojoduwur pada mulanya tak ada yang tahu, apa yang akan dibuat ketiga orang itu. Bahkan Nyonya Kurdi, ibu mereka yang menjanda sejak anak-anaknya masih kecil, terheran-heran melihat Khalil seperti tanpa perhitungan membelanjakan uangnya membeli alat-alat perlengkapan tadi. Sebab bagi wanita tua yang sederhana itu, membetulkan rumah gubuk mereka yang berukuran 5 x 7 meter itu, dirasanya lebih penting dari semuanya. Tapi bagi Khalil rupanya pembuatan helikopter itu jauh lebih penting dari urusan apa pun. Kerangka heli berukuran 1 x 3,30 meter dengan tinggi 1,9 meter berdiri. Besi-besi itu saling dikaitkan dengan lipatan atau dengan baut. "Karena kalau dicor, saya khawatir akan terlepas kalau kena getaran keras," ungkap Khalil dengan yakin. Di kokpit dipasang 2 buah jok, menghadap bak mesin. "Salah satu onderdil generator pengangkut tubuh pesawat saya ubah agar bahan bakarnya dapat diganti dengan bensol, supaya pembakarannya lebih sempurna," tambah laki-laki yang memelihara kumis itu. Generator yang dimaksudkan untuk menjalankan heli, ia hubungkan dengan gear yang memiliki 36 kali lipat putaran dari generator asli. Ternyata generator ini bekas speedboat. Untuk gear tadi, Khalil mencaplok bekas roda Lambreta, setelah dilas di sana-sini. Semangat Khalil dan kedua adiknya semakin menyala-nyala ketika melihat hampir semuanya telah terpasang rapi. Orang-orang desa juga tak sedikit yang memberi dorongan, meski tak kurang pula yang belum paham apa yang sedang dibuat oleh tiga orang bersaudara itu. Bahkan seorang perwira AURI dari Surabaya yang mendengar rencana pembuatan heli itu menawarkan bantuan kepada Khalil. "Kalau ada kesulitan, datanglah kepada saya, akan saya bantu," kata Khalil menirukan tawaran perwira AURI tadi. Tapi semangat Khalil dan adik-adiknya tiba-tiba padam, ketika suatu hari, awal tahun ini, ia dipanggil ke Kodim Jombang. "Orang di Kodim itu menanyakan izin pembuatan heli," tutur Khalil kemudian kepada M. Baharun dari TEMPO, "lha, saya bilang ini kan baru percobaan, entah berhasil entah tidak." Rupanya petugas di Kodim Jombang tak mau berkomentar banyak pokoknya, Khalil harus menghentikan pembuatan helikopter itu. Mau Nangis Khalil merasa bagai dibanting dari tempat yang amat tinggi. Bukan karena untuk semua itu ia telah menguras tak kurang dari Rp 600.000 uang tabungannya. Tapi lebih penting lagi, impiannya untuk menciptakan sebuah helikopter punah sudah. "Hati saya terasa panas," gerutunya, "seharusnya mereka mendukung, paling sedikit berdoa supaya percobaan saya berhasil -- malahan melarang." Karena kesal, ia pun menolak ketika reporter TVRI Surabaya mencoba mewawancarainya tentang pembuatan heli itu. "Saya tak perlu disorot, rencana saya sudah dilarang," katanya. Pelarangan itu sendiri belum jelas. Pihak Kodim 0814 Jombang membantah instanSi itu pernah melarang pembuatan helikopter. Bahkan seorang anggota staf di sana membantah pernah ada pembuatan helikopter di Desa Mojoduwur. Tapi seorang anggota Koramil Kecamatan Wonosalam, yang tak mau disebutkan namanya, mengakui pernah melarang pembuatan heli itu. "Tapi yang kami larang percobaan menerbangkannya, kami takut membahayakan orang ramai," kata anggota Koramil itu. Bupati Jombang, Ahmad Hudan Dardiri, membenarkan pelarangan itu hanya karena percobaannya dikhawatirkan mengancam keselamatan penduduk. Ia sendiri pernah mendatangi Khalil ketika sedang mengerjakan heli itu. "Saya menganjurkan agar Khalil membuat gambar rencana helinya," tutur bupati itu. Karena kalau memang rencana itu masuk akal, "saya bersedia membantu." Tapi sampai sekarang Khalil tak menyerahkan gambar itu -- mungkin karena ia tak tahu bahwa yang meminta tadi adalah bupati. Tapi yang pasti, Khalil bersama anak istrinya kini pindah ke desa lain, tak jauh dari Mojoduwur. "Supaya saya tak ingat lagi pada heli yang gagal itu," ucapnya, "karena setiap saya ingat pada rencana itu, rasanya mau nangis." Dan untuk hidup sehari-hari, selain mempreteli alat-alat calon heli itu, ia membuka bengkel kendaraan bermotor. Namun rupanya pelarangan tadi begitu membekas di hatinya. Mungkin untuk melupakannya sama sekali, ia kini sedang merencanakan untuk bertransmigrasi lagi, entah ke mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus