TIBA-TIBA ia ingin membuat helikopter. Maka sejumlah uang yang
ditabungnya selama 10 tahun sebagai transmigran, ia belanjakan
membeli alat-alat pesawat itu. Namun ketika helikopter itu sudah
siap diuji, tiba-tiba datang larangan dari Kodim -- karena ia
tak memiliki izin.
Khalil Kurdi juga tak tahu pasti, izin apa yang dimaksud petugas
Kodim Jombang itu. Yang pasti karena larangan itu ia hampir
putus-asa sama sekali. "Saya harus merantau lagi lebih jauh
untuk melupakan semua itu," katanya dengan nada kesal.
Kalau itu terjadi, berarti Khalil, 27 tahun, akan mengulangi
jejaknya lebih 10 tahun yang lampau. Ketika itu, 1970, sebagai
pemuda yang hanya sempat menduduki bangku SD kelas III, ia
berada di antara transmigran dari Desa Mojoduwur, Jombang.
Tujuan mereka adalah Kalimantan Timur, di sebuah lokasi
transmigrasi yang tak begitu jauh dari Samarinda.
Selama 3 bulan pertama, selain bertani Khalil juga bekerja
sambilan pada sebuah bengkel mobil yang berada tak jauh dari
pemukiman para transmigran itu. Tapi selanjutnya, dengan bekal
pengetahuan ala kadarnya dari bengkel itu, ia memutar haluan
sebagai montir truk merangkap sopir pada sebuah perusahaan
penebangan kayu di Samarinda.
Rumah Gubuk
Di sinilah pertama kali ia melihat helikopter secara jelas.
Pesawat milik pimpinan perusahaan tempat ia bekerja itu selalu
parkir di pangkalan truk. "Kalau sedang nganggur, saya sering
mengutak-atik helikopter itu," tutur laki-laki yang kini telah
memiliki 3 orang anak itu "sehingga suatu ketika, tiba-tiba saya
ingin membuat sendiri pesawat seperti itu."
Untuk menambah pengetahuannya tentang pesawat itu, Khalil pun
berteman baik dengan pilot heli itu. "Pada dasarnya, semua mesin
penggerak dapat menerbangkan helikopter," kata Khalil menirukan
ajaran penerbang berkebangsaan Malaysia itu. Kata-kata inilah
rupanya yang selalu membalut pikiran anak Desa Mojoduwur itu.
Suatu ketika ia merasa sudah siap untuk menciptakan sendiri
pesawat serupa itu. Namun sementara itu ia pun sadar, sejumlah
modal diperlukan untuk mewujudkannya. Jalan satu-satunya
hanyalah dengan menabung. "Saya mengurangi kebiasaan
berfoya-foya," ia mengenangkan. Bahkan untuk mengontrol
pengeluarannya, ia menikahi seorang gadis Samarinda.
Dengan uang tabungan Rp 1 juta, bersama istri dan ke-3 anaknya,
awal April tahun lalu Khalil pulang ke Mojoduwur. Tekadnya sudah
bulat: sebuah helikopter harus terwujud. Kedua adik laki-lakinya
dikerahkan untuk membantu. Uang simpanan mulai dibelanjakan
membeli besi baja untuk kerangka, lembaran-lembaran aluminium
untuk dinding tubuh dan ekor, sebuah kompresor, dua buah
generator masing-masing 3 PK untuk memutar baling-baling dan
mengangkat tubuh pesawat -- dan berbagai peralatan lain.
Sejak 15 April 1980 tiga bersaudara itu mulai bekerja setiap
hari di halaman belakang rumah mereka. Penduduk Mojoduwur pada
mulanya tak ada yang tahu, apa yang akan dibuat ketiga orang
itu. Bahkan Nyonya Kurdi, ibu mereka yang menjanda sejak
anak-anaknya masih kecil, terheran-heran melihat Khalil seperti
tanpa perhitungan membelanjakan uangnya membeli alat-alat
perlengkapan tadi. Sebab bagi wanita tua yang sederhana itu,
membetulkan rumah gubuk mereka yang berukuran 5 x 7 meter itu,
dirasanya lebih penting dari semuanya. Tapi bagi Khalil rupanya
pembuatan helikopter itu jauh lebih penting dari urusan apa pun.
Kerangka heli berukuran 1 x 3,30 meter dengan tinggi 1,9 meter
berdiri. Besi-besi itu saling dikaitkan dengan lipatan atau
dengan baut. "Karena kalau dicor, saya khawatir akan terlepas
kalau kena getaran keras," ungkap Khalil dengan yakin. Di kokpit
dipasang 2 buah jok, menghadap bak mesin. "Salah satu onderdil
generator pengangkut tubuh pesawat saya ubah agar bahan bakarnya
dapat diganti dengan bensol, supaya pembakarannya lebih
sempurna," tambah laki-laki yang memelihara kumis itu.
Generator yang dimaksudkan untuk menjalankan heli, ia hubungkan
dengan gear yang memiliki 36 kali lipat putaran dari generator
asli. Ternyata generator ini bekas speedboat. Untuk gear tadi,
Khalil mencaplok bekas roda Lambreta, setelah dilas di
sana-sini.
Semangat Khalil dan kedua adiknya semakin menyala-nyala ketika
melihat hampir semuanya telah terpasang rapi. Orang-orang desa
juga tak sedikit yang memberi dorongan, meski tak kurang pula
yang belum paham apa yang sedang dibuat oleh tiga orang
bersaudara itu. Bahkan seorang perwira AURI dari Surabaya yang
mendengar rencana pembuatan heli itu menawarkan bantuan kepada
Khalil. "Kalau ada kesulitan, datanglah kepada saya, akan saya
bantu," kata Khalil menirukan tawaran perwira AURI tadi.
Tapi semangat Khalil dan adik-adiknya tiba-tiba padam, ketika
suatu hari, awal tahun ini, ia dipanggil ke Kodim Jombang.
"Orang di Kodim itu menanyakan izin pembuatan heli," tutur
Khalil kemudian kepada M. Baharun dari TEMPO, "lha, saya bilang
ini kan baru percobaan, entah berhasil entah tidak." Rupanya
petugas di Kodim Jombang tak mau berkomentar banyak pokoknya,
Khalil harus menghentikan pembuatan helikopter itu.
Mau Nangis
Khalil merasa bagai dibanting dari tempat yang amat tinggi.
Bukan karena untuk semua itu ia telah menguras tak kurang dari
Rp 600.000 uang tabungannya. Tapi lebih penting lagi, impiannya
untuk menciptakan sebuah helikopter punah sudah. "Hati saya
terasa panas," gerutunya, "seharusnya mereka mendukung, paling
sedikit berdoa supaya percobaan saya berhasil -- malahan
melarang." Karena kesal, ia pun menolak ketika reporter TVRI
Surabaya mencoba mewawancarainya tentang pembuatan heli itu.
"Saya tak perlu disorot, rencana saya sudah dilarang," katanya.
Pelarangan itu sendiri belum jelas. Pihak Kodim 0814 Jombang
membantah instanSi itu pernah melarang pembuatan helikopter.
Bahkan seorang anggota staf di sana membantah pernah ada
pembuatan helikopter di Desa Mojoduwur. Tapi seorang anggota
Koramil Kecamatan Wonosalam, yang tak mau disebutkan namanya,
mengakui pernah melarang pembuatan heli itu. "Tapi yang kami
larang percobaan menerbangkannya, kami takut membahayakan orang
ramai," kata anggota Koramil itu.
Bupati Jombang, Ahmad Hudan Dardiri, membenarkan pelarangan itu
hanya karena percobaannya dikhawatirkan mengancam keselamatan
penduduk. Ia sendiri pernah mendatangi Khalil ketika sedang
mengerjakan heli itu. "Saya menganjurkan agar Khalil membuat
gambar rencana helinya," tutur bupati itu. Karena kalau memang
rencana itu masuk akal, "saya bersedia membantu." Tapi sampai
sekarang Khalil tak menyerahkan gambar itu -- mungkin karena ia
tak tahu bahwa yang meminta tadi adalah bupati.
Tapi yang pasti, Khalil bersama anak istrinya kini pindah ke
desa lain, tak jauh dari Mojoduwur. "Supaya saya tak ingat lagi
pada heli yang gagal itu," ucapnya, "karena setiap saya ingat
pada rencana itu, rasanya mau nangis." Dan untuk hidup
sehari-hari, selain mempreteli alat-alat calon heli itu, ia
membuka bengkel kendaraan bermotor. Namun rupanya pelarangan
tadi begitu membekas di hatinya. Mungkin untuk melupakannya sama
sekali, ia kini sedang merencanakan untuk bertransmigrasi lagi,
entah ke mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini