Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Mendung di pucuk klenteng

16 tokoh khonghucu mengadu ke dpr. mereka merasa terhambat dalam pengembangan keagamaan. ada tuntutan pembauran, dan status aliran ini tampak akan harus berubah. (ag)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDUNG menggantung di puncak-puncak kelenteng. Dan enam belas tokoh Khonghucu, dipimpin ketua umum organisasi mereka yang disebut Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) menemui Fraksi Karya Pembangunan DPR 19 Mei kemarin. Mereka mengadukan nasib. Dalam surat yang mereka bacakan di hadapan para wakil Golkar itu, disebutkan berbagai hambatan dalam pengembangan keagamaan. Status pembinaan mereka di Departemen Agama, misalnya, dikatakan tidak jelas. Kurikulum pendidikan agamanya juga tidak dicantumkan di sekolah-sekolah. Lalu ada kesulitan menerakan 'Khonghucu' pada kolom 'agama' dalam KTP. Ditangguhkan pula kongres-kongres Matakin oleh yang berwajib. Sedang permohonan siaran mimbar agama Khonghucu di TVRI, ditolak. Pembangunan rumah ibadat Khonghucu pun, seperti yang pernah dijanjikan di Taman Mini Indonesia Indah diurungkan . Sementara itu, umat Khonghucu sendiri pada rontok. Lihatlah misalnya perkembangan di kalangan keturunan Cina di Tanah Abang, Jakarta, sebagai hanya satu contoh. Tjandra Rahardja, d/h Lie Foeck Tjen, 34 tahun, bonsu alias ulama muda di Kelenteng Hok Tek Ceng Sin di wilayah itu, punya perkiraan di situ pernah terdapat 5.500 umat Khonghucu - pada 1973. Itu menurut catatan Kecamatan Tanah Abang. Tapi sekarang? Tinggal sekitar 1.000 orang. Dari jumlah itu yang aktif sebagai jemaat tercatat sepersepuluhnya. Tak sedikit pula, di tanah air, kelenteng yang tidak lagi dipakai -- atau kegiatannya pelan-pelan berubah jadi peribadatan Budha. "Setelah sehabis G30S dulu umat Khonghucu banyak diserap oleh Katolik dan Kristen," kata Suryo Hutomo, Ketua Umum Matakin kepada TEMPO, "kini mereka banyak yang masuk Budha." Khonghucu lalu jadi makin samar. Jadi kabur bagi banyak orang: benarkah, misalnya, ia termasuk agama yang "diakui "? Suryo Hutomo, 45 tahun, tentu saja akan menjawab ya. Dan memang maksud mereka ke DPR tak lain untuk minta perhatian pada status itu. Mereka menyebut Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965. Di situ memang dicantumkan, dalam memori penjelasan, nama-nama agama yang dipeluk warganegara -- termasuk ke dalamnya Khonghucu. Penpres itu dikukuhkan menjadi UU No. 5 Tahun 1969. Di bawah Menteri Syarif Tahyeb dulu, agama Khonghucu tidak dicantumkan dalam kurikulum sekolah Departemen P & K. Maka di tahun 1975 Suryo Hutomo berusaha bertemu dengan Menteri -- dan gagal. "Sebab sudah 15 tahun Khonghucu diajarkan sebagai agama di sekolah-sekolah," kata Suryo yang kelahiran Sala dan punya sekolah khusus Khonghucu itu. Dan terkenallah kemudian kasus buku pelajaran agama Khonghucu yang menyebabkan Suryo harus berurusan dengan pengadilan. Mereka, konon berdasar "lampu hijau" dari Ketua BP3K, waktu itu Drs. Soedarto, berusaha menyusun buku yang akan diusulkan untuk dipakai. Dalam lokakarya kalangan Khonghucu sendiri, konsep itu diperbanyak 70 eksemplar -- menurut Suryo - dan sudah lengkap dengan tiruan sambutan Menteri, sekedar memakai contoh buku pelajaran Kurikulum 1975. Dan di situlah Menteri marah. Betapa pun kemudian ada surat permintaan maaf. Suryo toh dihukum Pengadilan Negeri Surakarta enam bulan kurungan -- sekarang ini sedang dalam proses kasasi. Nasib sial itu kemudian diikuti dengan penangguhan Kongres IX Matakin -- tahun 1979 ,16 April di Sala -- oleh Laksusda Ja-Teng, hanya sehari sebelum Kongres dibuka. Juga temukarya yang diinginkan dilangsungkan di Jakarta sebagai pengganti kongres, 10 Mei berikutnya, tak dapat izin. Idem ditto usaha mengadakan Mubes tahun kemarin. Suryo sendiri memang menyadari, usai G30S/PKI, Khonghucu seakan jadi sasaran kecurigaan -- dan ia memahami. Apalagi oleh isu pembauran dan kesetiaan kepada tanah air -- bukan kepada "negeri leluhur". Karena itu pula "indonesianisasi" mereka lakukan. "Bahkan saya ini Ketua RT 010/06 di Kampung Bali Tanah Abang sini," kata bonsu di Kelenteng Hok Tek Ceng Sin yang sudah disebut. "Negeri Leluhur" Sebab masalah integrasi memang serius. Barangkali bonsu itu, maupun Suryo, hanya tidak menyebut adanya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 - yang membatasi pelaksanaan peribadatan dan budaya Cina hanya untuk lingkungan tertutup. Yang dimaksud ialah: "agama dan istiadat Cina yang berpangkal pada negeri leluhur yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warga Indonesia sehingga merupakan hambatan terhadap proses asimilasi . . ." Itu berarti, segala perayaan dan arak-arakan Cina, liong, barongsai, pesta agama atau adat secara terbuka, tidak dianggap menguntungkan kesatuan bangsa. Bahkan, seperti dituturkan H.R. Djatiwijono SH, Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Agama, ada penelitian dari Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC)-BAKIN bersama Badan Litbang Departemen Agama. Isinya menyimpulkan: Khonghucu bukan agama. Antara lain karena tak mengenal kehidupan afterlife alias akhirat. Dalam paper BKMC-BAKIN untuk Proyek Asimilasi di Bidang Pendidikan dan Pengaturan Pendidikan Asing disebutkan lagi: Khonghucu adalah ajaran susila. Kelenteng sendiri lebih banyak hanya 'tempat mengadu untung' (ingat ciamsi, misalnya) dari orang Cina di sana, yang kemudian oleh orang Khonghucu Indonesia dijadikan tempat ibadat. Di Cina sendiri, demikian disebut, di abad XIX sekelompok politikus ingin menjadikan Khonghucu sebagai agama -- namun gagal. Sedang penyembahan mereka di sini sebenarnya sudah banyak dimasuki unsur tiruan Kristen atau Islam. Bisa dipaham, ketika timbul masalah sehubungan dengan rencana pembangunan Kelenteng di TMII, Djatiwijono mengirim surat yang mengakibatkan penangguhan pembangunan itu. Dan tempat itu terletak paling selatan setelah bangunan kelima agama, konon kini menjadi "tempat pertemuan semua golong". Menteri Agama juga ada mengirimkan surat kepada Menteri P & K, 1 Februari 1978. Isinya termasuk fundamental. Menyebut, misalnya, pemerintah sebenarnya tidak pernah mengeluarkan pengakuan terhadap agama apa pun. Yang ada ialah agama yang langsung diatur (bukan doktrinnya) oleh pemerintah -- yang lima buah itu, dan tidak termasuk Khonghucu. Itu berdasar Keputusan Presiden No. 44 dan 45 Tahun 1974. Tak heran bila Mendagri, dengan suratnya tanggal 14 Juli 1978, memberi pedoman pengisian kartu penduduk yang menegaskan: untuk mereka yang tidak menganut salah satu dari lima agama, kolom agama bisa diisi dengan (-). Dan sekarang ini semua pejabat di Departemen Agama, khususnya dari kalangan Budha dan Hindu, akan mengatakan bahwa Khonghucu memang bukan agama. Tapi bagaimana dengan Penpres No. 1 Tahun 1965, yang menyebut nama Khonghucu itu? Jawabannya ada pada UU No. 5 Tahun 1969. Pasal 2 UU ini menyebut Penpres di atas itu sebagai: termasuk salah satu Penpres yang diakui sebagai UU -- hanya saja, materi Penpres tersebut ditampung atau dijadikan bahan penyusunan UU baru. Dan bulan Januari 1979, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk, antara lain, mengusahakan menarik UU yang dianggap "mengakui Khonghucu sebagai agama" itu. "Sebab sebenarnya UU tersebut berbicara tentang penyalahgunaan dan atau penodaan agama, sesuai dengan judulnya. Dan bukan soal pengakuan," kata Djatiwijono. Lantas berita terakhir datang dari Menteri Agama. Dalam keterangannya di DPR, persis sehari setelah kedatangan rombongan Khonghucu itu, Alamsyah menjelaskan bahwa masalahnya sebenarnya "sedang menunggu UU baru". Ada Khotbah Entah kapan. Tapi sekedar soal hak asasi dalam beragama, dalam petunjuk Presiden kepada Menteri Agama 27 Januari 1979, antara lain tetap dimungkinkan dipeluknya Khonghucu -- sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan seterusnya. Artinya, Khonghucu bukan aliran terlarang. Pun ada pengurusannya di Departemen Agama: di bawah Ditjen Bimas Hindu & Budha. Di situ ia bisa dianggap semacam aliran yang bernaung -- seperti juga agama Sikh, misalnya, -- dan bisa juga sebagai salah satu aliran Tridharma (Budha, Tao dan Khonghucu) yang merupakan satu dari tujuh sekte Budhis di sini. Yang terakhir ini menurut Suparto Hs., Ketua Umum Perwalian Umat Budha Indonesia. Masalahnya ialah, umat Khonghucu sendiri selama ini sedang membangun agamanya. Sambil mengalami penyusutan ibadat rupanya mereka atur. Di kelenteng Tanah Abang itu misalnya, kebaktian sekarang diadakan seminggu sekali (Ahad malam), setelah dulu hanya setengah bulan sekali. Dibikin pula khotbah, seperti dalam Kristen atau Islam. "Memang kami dalam sembahyang masih bersujud pada foto leluhur, tapi itu hanya untuk konsentrasi." kata Suryo Hutomo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus