JIKA anda gemar cerita silat, dia ini orangnya: Kho Ping Hoo.
Pengarang yang sudah 25 tahun menulis ini, begitu pengakuannya,
setiap bulan - dari mengarang saja - mamnu berpenghasilan
sekitar Rp 2 juta. "Itu kalau saya ngebut nulis," katanya.
Tapi rupanya ia lebih suka bekerja santai. "Biar pun saya tahu
uang itu perlu, tapi saya tak mau diperbudak oleh uang. Kalau
toh mau diambil rata-rata, sebulan sekitar Rp 300 ribu. Itu
kalau kerja secara tenang," tambahnya. Dari dua majalah Jakarta,
Selecta dan Detektif & Romantika, masing-masing Ping Hoo
menerima honorarium Rp 20 ribu untuk setiap cerita bersambung.
Belum lagi kalau ceritanya dibukukan, sekitar 30 ribu sampai 50
ribu eksemplar. Untuk setiap eksemplar ia menerima Rp 7. Selain
diterbitkan oleh PP Analisa (penerbit majalah Selecia dan
Detektif & Romantika), bukunya juga diterbitkan oleh penerbit
lain, misalnya Sinar Suya. Belum lagi hasil penjualan buku yang
diterbitkannya sendiri.
Ia sekarang punya usaha percetakan dan penerbitan sendiri, CV
Gema - perusahaan milik keluarga yang dipimpin oleh salah
seorang menantunya, dengan karyawan sebanyak 60 orang. Tapi
barangkali lantaran tak mau diperbudak oleh uang itu pulalah,
maka ia tak mau pula banyak cingcong ketika ia tak menerima uang
sepeser pun dari sebuah produsir di Jakarta yang memfilmkan
sebuah ceritanya. Sekarang pun, ketika produsir lain berniat
memfilmkan ceritanya yang berjudul Buaian Asmara, Ping Hoo tak
banyak menuntut.
Dengan penghasilan sebanyak itu, tentu saja ia mampu menghidupi
11 anak dan 7 cucunya. Bahkan ia mampu menyekolahkan tiga orang
anaknya di London. Enam bulan sekali Ping Hoo mengirim Rp 3 juta
buat mereka. Rumahnya di kampung Mertokusuman, Sala, juga dibeli
dengan hasil karangannya. Rumah yang berhalaman luas itu
terhitung bagus. Temboknya dicat serba hijau.
Di ruang tamu banyak terpampang lukisan-lukisan naturalistis,
hadiah sahabat-sahabatnya. Juga ada lukisan karya puterinya,
Tina Asmarani, yang pernah belajar di ASRI Yogya. Anak ini
menikah dengan pemuda "pribumi", Prakosa - kawan
sekuliahnya yang kini bekerja sebagai disainer di Hotel
Ambarukmo Sheraton, Yogya.
Rumah bagian belakang dibangun bertingkat. "Dulu saya sering
mengarang di sini, tapi sekarang di ruang bawah," kata Ping Hoo.
Dari ruang atas, tampak mmah-rumah tetangga yang umumnya tak
begitu mampu. Ping Hoo bergaul baik dengan mereka, juga sering
menolong tetangganya.
Seluruh lantai ruangan rumah Ping Hoo dilapis karpet warna hijau
kekuningan. Tampak rapih dan bersih. Di kamar tidur, kasur
digelar begitu saja di lantai, tanpa dipan. Terkesan seperti
ruangan pada tumah-rumah model Jepang. Depan jendela kamar tidur
Ping Hoo tumbuh rimbun bunga bougenville.
Sarang Damai
Kamar kerja Ping Hoo di bawah, cukup luas dengan jendelajendela
lebar. Di sana ada pesawat televisi Sanyo 24 inci, juga sebuah
intercom untuk memanggil isteri, anak-anak atau pelayan, atau
memberi tahu sang pengarang kalau ada tamu bertandang. Tak jauh
dari mejatulisnya (di mana sebuah mesin tulis selalu siap)
setumpuk buku tersusun rapih.
"Buku-buku ini saya beli di Surabaya, semua habis Rp 16 ribu,"
katanya. Ada buku filsafat karangan Bertrand Russel The Conquest
of Happiness, buku kebatinan How to Choose the Guru karangan
Rick Chapman, novel Agatha Christie Third Girl, karya John
Steinback The Pastimes of Heaven, karangan Arthur Hanlly Hotel.
Ia juga banyak membaca buku-buku filsuf India Krishnamurti.
"Terus terang saya terpengaruh pada pikiran-pikirannya," kata
Ping Hoo. Dan karena itulah, ia terdorong menterjemahkan buku
Krishnamurti Comentaries on Living yang kemudian ia terbitkan
sendiri. Tidak dijual untuk umum, melainkan dihadiahkan kepada
beberapa rekannya yang berminat.
Ping Hoo juga mengamati sastra Indonesia. Ia berlangganan
majalah sastra Horison. Dan selain koran dan majalah-majalah
dalam negeri, juga berlangganan Time. Tidak hanya membaca Marga
T, Ashadi Siregar atau Motinggo Busye, ia juga mengagumi
pengarang-pengarang seperti Pramudya Ananta Tur, Mochtar Lubis
atau pengarang wanita AS, Pearl S. Buck.
Ia juga gemar nonton bulutangkis. Pernah ia memerlukan terbang
ke Hongkong menyaksikan permainan Liem Swie King yang
dijagoinya. "Sayang ia kalah," katanya. Dalam perjalanan ke
Hongkong itu, ia sepesawat dengan Rudy Hartono, bahkan sempat
omongomong. "Eh, tahu-tahu ia juga senang membaca buku-buku
saya," katanya lagi.
Ia juga memetik gitar dan suka meniup suling Sunda.
Di villanya Nest of Peace (Sarang Damai) di Tawangmangu - daerah
wisata yang sejuk dekat Sala, di kaki gunung Lawu - suling itu
selalu tersedia. Pada usia 51 tahun sekarang, pengarang ini
masih tampak sehat dan gembira, lincah.
Tentu saja lantaran ia tak merokok, minumnya pun cuma air putih.
Juga tak makan daging. Kadang-kadang menyepi, "merenungi misteri
Tuhan," katanya. Setiap pagi, bangun dari tidur, ia melakukan
Yoga. Atau olahraga sandiprana, yaitu jalan kaki sepanjang 15
km.
"Setiap pagi saya menikmati sinar matahari, hyau dedaunan,
menyaksikan gerak semangat orang-orang kampung berjuang untuk
hidup. Pergulatan manusia banyak dimulai di pagi hari - sukses
atau tidak," ujarnya. Ia selalu bangun jam lima pagi-pagn Pulang
dari sandiprana, mandi, lalu mengarang sampai jam 8 pagi, terus
istirahat sebentar. Kemudian menulis lagi sampai jam 12. Setelah
istirahat, diteruskan sampai sore atau malam.
Ia tak punya jadwal kerja yang pasti. Tapi rata-rata sehari ia
bisa menyelesaikan 15 sampai 20 folio. Padahal cerita-ceritanya
(yang hampir selalu bersambung), setiap seri cuma sepanjang 22
folio saja. Itu kalau kerja non-stop. Tapi kalau kerja
"biasa-biasa saja," satu buku selesai seminggu.
Caranya mengarang, tampaknya juga gampang saja. Bahan cerita,
biasanya sudah lama mengendap di otaknya. "Dan begitu menghadapi
mesin tulis, lar gsung saja jalan," katanya. Dulu ia memang
sering menyusun sinopsisnya dulu -- meski kemudian tidak ia
pergunakan. Isterinya, Roos Hwa, adalah 'redaktur' pertama yang
membaca karangan-karangannya. Kadang-kadang isterinya bertanya
tentang akhir dari nasib seorang tokoh.
Dan biasanya Ping Hoo menjawab: "Tunggu saja nanti, kan jilidnya
saja belum selesai." Dan Ping Hoo sendiri memang sering belum
punya gambaran kongkrit mau diapakan nasib sang tokoh cerita.
Beberapa anaknya, kadang juga membaca karangan ayahnya, sebelum
dicetak. "Dengan begitu tak mungkin saya menulis cedta-cerita
yang porno, sebab sudah disensor lebih dulu oleh keluarga," kata
Ping Hoo.
Jual Obat
Sampai sekarang, sudah 96 judul buku karangannya, 29 judul di
antaranya cerita silat Indonesia. Yang terkenal misalnya:
Pendekar Baju Putih, Darah Mengalir di Borobudur, Geger Demak,
Kemelut di Majapahit. Silat Indonesia ini semuanya bersambung
ada yang 7 sed, ada yang 24 sed.
66 judul lainnya cerita silat Cina. Beberapa yang amat digemari:
Jodoh sepasang Rajawali (40 jilid), Pendekar Bodoh (18 jilid),
Pendekar Super Sakti (27 jilid). Dulu pernah ada semacam
tuduhan, bahwa cerita-ceritanya adalah terjemahan saja dari
cerita silat Cina dari Hongkong. "Tapi lucunya malah ada cerita
saya yang diterjemahkan dan beredar di Hongkong. Padahal
bukankah Hongkong gudangnya cerita silat?" katanya tertawa.
Menurut pengakuannya, Ping Hoo banyak memperoleh bahan cerita
silat Cina dari Kho Khim Poo, ahli sejarah Cina dan guru silat
Cina, yang juga ayahnya sendiri. Itulah sebabnya, cerita-cerita
silat Cinanya selalu berlatar-belakangkan sejarah Cina, dengan
tokoh-tokoh sejarah yang penting. "Tapi tokoh selebihnya ciptaan
saya sendiri," katanya.
Apakah jago silat yang amat sakti itu juga memang benar-benar
ada? "Banyak orang yang bertanya begitu, memang. Dan jawab saya
selalu sama: saya ini menulis cerita, tidak menulis sejarah. Itu
kan sama saja dengan pertanyaan: apakah tokoh Gatutkaca yang
bisa terbang dan Antareja yang bisa menembus bumi dalam cerita
pewayangan itu benar-benar ada?" katanya lagi.
Bukunya yang pertama kali terbit berjudul Pek Liong Po Kiam
(Pedang Pusaka Naga Putih), diterbitkan oleh PP Analisa, 1960.
Ketika itu ia menerima honorarium Rp 10.800 potong pajak 20%,
hingga ia menerima bersih Rp 8.640. Tahun-tahun sebelumnya ia
sudah menulis untuk beberapa majalah, antara lain Keng Po, Star
Weekly, Trio (Jakarta), Cermin (Surabaya). Ketika itu ia belum
menulis cerita silat, melainkan cerpen atau novel biasa.
Hari ulang tahun Ping Hoo istimewa. Ia lahir tanggal 17 Agustus
1926 di kota kota kecil Sragen, Jawa Tengah. Ia cuma sempat
belajar sampai HIS Zending School di kota kelahirannya. Di MULO
pun cuma sampai kelas satu. "Tak ada biaya untuk melanjutkan,"
katanya.
Itulah sebabnya, meskipun baru berusia 14 tahun, ia terpaksa
bekerja sebagai pelayan di sebuah toko. "Saya bekerja sampai jam
9 malam," tuturnya. Waktu-waktu senggangnya, ia mengambil kursus
tertulis Tata Buku. Dengan bekal pengetahuan Tata Buku ini, ia
bekerja di sebuah pabrik rokok di Kudus.
Ketika Jepang masuk, 1942, ia menuju Surabaya - berjualan obat
dari toko ke toko. Tiga tahun kemudian, ketika proklamasi
kemerdekaan, ia kembali ke kota kelahirannya, Sragen. Meskipun
saat itu baru berumur 19 tahun, ia sudah menikah dengan Roos Hwa
alias Rosita yang setahun lebih muda dari Ping Hoo.
Tiga tahun berumah-tangga, ia memboyong keluarganya ke Sala.
Setelah suasana agak tenang -- ketika itu, 1948, pecah agresi
Belanda II -- ia melanjutkan petualangannya ke Tasikmalaya. Di
sana ia bekerja sebagai pembantu anemer selama setahun. Tak lama
kemudian bekerja di perusahaan ankutan.
"Di Tasikmalaya saya tinggal cukup lama juga. Ada 14 tahun,"
katanya. Bahkan ia mendapat kepercayaan hingga diangkat sebagai
ketua Persatuan Pengusaha Pengangkutan cabang Jawa Barat. "Nah
di kota inilah saya mulai ajeg menulis cerita," tuturnya. Bukan
itu saja, ia juga masih punya waktu mengurus dunia sandiwara.
Selain itu, juga jadi sutradara dan sesekali sebagai pemain.
Tapi entah bagaimana, rupanya ia diamati orang. Barangkali
lantaran ia sering mengumpulkan banyak orang buat latihan
sandiwara itu. Dan tahun 1963, rombongan sandiwaranya tak luput
dari amukan rasialisme yang ketika itu pecah di Jawa Barat.
Rumahnya sendiri -- termasuk sebagian harta bendanya - dibakar
orang. Seluruh keluarganya menangis, tentu. "Tapi saya tidak,"
katanya. Namun ketika ia melihat naskah-naskahnya diinjak-injak,
diobrak-abrik seperti sampah, akhirnya ia tak mampu membendung
air mata. Setelah menjual sisa-sisa harta benda yang
dimilikinya, ia pun meninggalkan Tasikmalaya, memboyong keluarga
ke Sala.
Kini namanya Asmaraman S. Cuma karena nama aslinya sudah
terlanjut terkenal, maka untuk setiap bukunya selalu tertulis
Kho Ping Hoo alias Asmaraman S.
Nama Asmaraman, sejak dulu memang nama samarannya. Bahkan ia
juga memakai nama samaran lain, misalnya Dudu Aku (bukan saya)
atau Sukowah yang merupakan nama lain dari kota Sragen. "Itu
sebagai identitas bahwa saya ini wong Sragen."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini