Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Pengarang yang disensor keluarga

Kho ping hoo pengarang cerita silat. hasil karangannya cukup menghidupi keluarga. riwayat penuh liku-liku, karangan terpengaruh pikirannya. sebelum dibukukan, disensor oleh keluarganya.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA anda gemar cerita silat, dia ini orangnya: Kho Ping Hoo. Pengarang yang sudah 25 tahun menulis ini, begitu pengakuannya, setiap bulan - dari mengarang saja - mamnu berpenghasilan sekitar Rp 2 juta. "Itu kalau saya ngebut nulis," katanya. Tapi rupanya ia lebih suka bekerja santai. "Biar pun saya tahu uang itu perlu, tapi saya tak mau diperbudak oleh uang. Kalau toh mau diambil rata-rata, sebulan sekitar Rp 300 ribu. Itu kalau kerja secara tenang," tambahnya. Dari dua majalah Jakarta, Selecta dan Detektif & Romantika, masing-masing Ping Hoo menerima honorarium Rp 20 ribu untuk setiap cerita bersambung. Belum lagi kalau ceritanya dibukukan, sekitar 30 ribu sampai 50 ribu eksemplar. Untuk setiap eksemplar ia menerima Rp 7. Selain diterbitkan oleh PP Analisa (penerbit majalah Selecia dan Detektif & Romantika), bukunya juga diterbitkan oleh penerbit lain, misalnya Sinar Suya. Belum lagi hasil penjualan buku yang diterbitkannya sendiri. Ia sekarang punya usaha percetakan dan penerbitan sendiri, CV Gema - perusahaan milik keluarga yang dipimpin oleh salah seorang menantunya, dengan karyawan sebanyak 60 orang. Tapi barangkali lantaran tak mau diperbudak oleh uang itu pulalah, maka ia tak mau pula banyak cingcong ketika ia tak menerima uang sepeser pun dari sebuah produsir di Jakarta yang memfilmkan sebuah ceritanya. Sekarang pun, ketika produsir lain berniat memfilmkan ceritanya yang berjudul Buaian Asmara, Ping Hoo tak banyak menuntut. Dengan penghasilan sebanyak itu, tentu saja ia mampu menghidupi 11 anak dan 7 cucunya. Bahkan ia mampu menyekolahkan tiga orang anaknya di London. Enam bulan sekali Ping Hoo mengirim Rp 3 juta buat mereka. Rumahnya di kampung Mertokusuman, Sala, juga dibeli dengan hasil karangannya. Rumah yang berhalaman luas itu terhitung bagus. Temboknya dicat serba hijau. Di ruang tamu banyak terpampang lukisan-lukisan naturalistis, hadiah sahabat-sahabatnya. Juga ada lukisan karya puterinya, Tina Asmarani, yang pernah belajar di ASRI Yogya. Anak ini menikah dengan pemuda "pribumi", Prakosa - kawan sekuliahnya yang kini bekerja sebagai disainer di Hotel Ambarukmo Sheraton, Yogya. Rumah bagian belakang dibangun bertingkat. "Dulu saya sering mengarang di sini, tapi sekarang di ruang bawah," kata Ping Hoo. Dari ruang atas, tampak mmah-rumah tetangga yang umumnya tak begitu mampu. Ping Hoo bergaul baik dengan mereka, juga sering menolong tetangganya. Seluruh lantai ruangan rumah Ping Hoo dilapis karpet warna hijau kekuningan. Tampak rapih dan bersih. Di kamar tidur, kasur digelar begitu saja di lantai, tanpa dipan. Terkesan seperti ruangan pada tumah-rumah model Jepang. Depan jendela kamar tidur Ping Hoo tumbuh rimbun bunga bougenville. Sarang Damai Kamar kerja Ping Hoo di bawah, cukup luas dengan jendelajendela lebar. Di sana ada pesawat televisi Sanyo 24 inci, juga sebuah intercom untuk memanggil isteri, anak-anak atau pelayan, atau memberi tahu sang pengarang kalau ada tamu bertandang. Tak jauh dari mejatulisnya (di mana sebuah mesin tulis selalu siap) setumpuk buku tersusun rapih. "Buku-buku ini saya beli di Surabaya, semua habis Rp 16 ribu," katanya. Ada buku filsafat karangan Bertrand Russel The Conquest of Happiness, buku kebatinan How to Choose the Guru karangan Rick Chapman, novel Agatha Christie Third Girl, karya John Steinback The Pastimes of Heaven, karangan Arthur Hanlly Hotel. Ia juga banyak membaca buku-buku filsuf India Krishnamurti. "Terus terang saya terpengaruh pada pikiran-pikirannya," kata Ping Hoo. Dan karena itulah, ia terdorong menterjemahkan buku Krishnamurti Comentaries on Living yang kemudian ia terbitkan sendiri. Tidak dijual untuk umum, melainkan dihadiahkan kepada beberapa rekannya yang berminat. Ping Hoo juga mengamati sastra Indonesia. Ia berlangganan majalah sastra Horison. Dan selain koran dan majalah-majalah dalam negeri, juga berlangganan Time. Tidak hanya membaca Marga T, Ashadi Siregar atau Motinggo Busye, ia juga mengagumi pengarang-pengarang seperti Pramudya Ananta Tur, Mochtar Lubis atau pengarang wanita AS, Pearl S. Buck. Ia juga gemar nonton bulutangkis. Pernah ia memerlukan terbang ke Hongkong menyaksikan permainan Liem Swie King yang dijagoinya. "Sayang ia kalah," katanya. Dalam perjalanan ke Hongkong itu, ia sepesawat dengan Rudy Hartono, bahkan sempat omongomong. "Eh, tahu-tahu ia juga senang membaca buku-buku saya," katanya lagi. Ia juga memetik gitar dan suka meniup suling Sunda. Di villanya Nest of Peace (Sarang Damai) di Tawangmangu - daerah wisata yang sejuk dekat Sala, di kaki gunung Lawu - suling itu selalu tersedia. Pada usia 51 tahun sekarang, pengarang ini masih tampak sehat dan gembira, lincah. Tentu saja lantaran ia tak merokok, minumnya pun cuma air putih. Juga tak makan daging. Kadang-kadang menyepi, "merenungi misteri Tuhan," katanya. Setiap pagi, bangun dari tidur, ia melakukan Yoga. Atau olahraga sandiprana, yaitu jalan kaki sepanjang 15 km. "Setiap pagi saya menikmati sinar matahari, hyau dedaunan, menyaksikan gerak semangat orang-orang kampung berjuang untuk hidup. Pergulatan manusia banyak dimulai di pagi hari - sukses atau tidak," ujarnya. Ia selalu bangun jam lima pagi-pagn Pulang dari sandiprana, mandi, lalu mengarang sampai jam 8 pagi, terus istirahat sebentar. Kemudian menulis lagi sampai jam 12. Setelah istirahat, diteruskan sampai sore atau malam. Ia tak punya jadwal kerja yang pasti. Tapi rata-rata sehari ia bisa menyelesaikan 15 sampai 20 folio. Padahal cerita-ceritanya (yang hampir selalu bersambung), setiap seri cuma sepanjang 22 folio saja. Itu kalau kerja non-stop. Tapi kalau kerja "biasa-biasa saja," satu buku selesai seminggu. Caranya mengarang, tampaknya juga gampang saja. Bahan cerita, biasanya sudah lama mengendap di otaknya. "Dan begitu menghadapi mesin tulis, lar gsung saja jalan," katanya. Dulu ia memang sering menyusun sinopsisnya dulu -- meski kemudian tidak ia pergunakan. Isterinya, Roos Hwa, adalah 'redaktur' pertama yang membaca karangan-karangannya. Kadang-kadang isterinya bertanya tentang akhir dari nasib seorang tokoh. Dan biasanya Ping Hoo menjawab: "Tunggu saja nanti, kan jilidnya saja belum selesai." Dan Ping Hoo sendiri memang sering belum punya gambaran kongkrit mau diapakan nasib sang tokoh cerita. Beberapa anaknya, kadang juga membaca karangan ayahnya, sebelum dicetak. "Dengan begitu tak mungkin saya menulis cedta-cerita yang porno, sebab sudah disensor lebih dulu oleh keluarga," kata Ping Hoo. Jual Obat Sampai sekarang, sudah 96 judul buku karangannya, 29 judul di antaranya cerita silat Indonesia. Yang terkenal misalnya: Pendekar Baju Putih, Darah Mengalir di Borobudur, Geger Demak, Kemelut di Majapahit. Silat Indonesia ini semuanya bersambung ada yang 7 sed, ada yang 24 sed. 66 judul lainnya cerita silat Cina. Beberapa yang amat digemari: Jodoh sepasang Rajawali (40 jilid), Pendekar Bodoh (18 jilid), Pendekar Super Sakti (27 jilid). Dulu pernah ada semacam tuduhan, bahwa cerita-ceritanya adalah terjemahan saja dari cerita silat Cina dari Hongkong. "Tapi lucunya malah ada cerita saya yang diterjemahkan dan beredar di Hongkong. Padahal bukankah Hongkong gudangnya cerita silat?" katanya tertawa. Menurut pengakuannya, Ping Hoo banyak memperoleh bahan cerita silat Cina dari Kho Khim Poo, ahli sejarah Cina dan guru silat Cina, yang juga ayahnya sendiri. Itulah sebabnya, cerita-cerita silat Cinanya selalu berlatar-belakangkan sejarah Cina, dengan tokoh-tokoh sejarah yang penting. "Tapi tokoh selebihnya ciptaan saya sendiri," katanya. Apakah jago silat yang amat sakti itu juga memang benar-benar ada? "Banyak orang yang bertanya begitu, memang. Dan jawab saya selalu sama: saya ini menulis cerita, tidak menulis sejarah. Itu kan sama saja dengan pertanyaan: apakah tokoh Gatutkaca yang bisa terbang dan Antareja yang bisa menembus bumi dalam cerita pewayangan itu benar-benar ada?" katanya lagi. Bukunya yang pertama kali terbit berjudul Pek Liong Po Kiam (Pedang Pusaka Naga Putih), diterbitkan oleh PP Analisa, 1960. Ketika itu ia menerima honorarium Rp 10.800 potong pajak 20%, hingga ia menerima bersih Rp 8.640. Tahun-tahun sebelumnya ia sudah menulis untuk beberapa majalah, antara lain Keng Po, Star Weekly, Trio (Jakarta), Cermin (Surabaya). Ketika itu ia belum menulis cerita silat, melainkan cerpen atau novel biasa. Hari ulang tahun Ping Hoo istimewa. Ia lahir tanggal 17 Agustus 1926 di kota kota kecil Sragen, Jawa Tengah. Ia cuma sempat belajar sampai HIS Zending School di kota kelahirannya. Di MULO pun cuma sampai kelas satu. "Tak ada biaya untuk melanjutkan," katanya. Itulah sebabnya, meskipun baru berusia 14 tahun, ia terpaksa bekerja sebagai pelayan di sebuah toko. "Saya bekerja sampai jam 9 malam," tuturnya. Waktu-waktu senggangnya, ia mengambil kursus tertulis Tata Buku. Dengan bekal pengetahuan Tata Buku ini, ia bekerja di sebuah pabrik rokok di Kudus. Ketika Jepang masuk, 1942, ia menuju Surabaya - berjualan obat dari toko ke toko. Tiga tahun kemudian, ketika proklamasi kemerdekaan, ia kembali ke kota kelahirannya, Sragen. Meskipun saat itu baru berumur 19 tahun, ia sudah menikah dengan Roos Hwa alias Rosita yang setahun lebih muda dari Ping Hoo. Tiga tahun berumah-tangga, ia memboyong keluarganya ke Sala. Setelah suasana agak tenang -- ketika itu, 1948, pecah agresi Belanda II -- ia melanjutkan petualangannya ke Tasikmalaya. Di sana ia bekerja sebagai pembantu anemer selama setahun. Tak lama kemudian bekerja di perusahaan ankutan. "Di Tasikmalaya saya tinggal cukup lama juga. Ada 14 tahun," katanya. Bahkan ia mendapat kepercayaan hingga diangkat sebagai ketua Persatuan Pengusaha Pengangkutan cabang Jawa Barat. "Nah di kota inilah saya mulai ajeg menulis cerita," tuturnya. Bukan itu saja, ia juga masih punya waktu mengurus dunia sandiwara. Selain itu, juga jadi sutradara dan sesekali sebagai pemain. Tapi entah bagaimana, rupanya ia diamati orang. Barangkali lantaran ia sering mengumpulkan banyak orang buat latihan sandiwara itu. Dan tahun 1963, rombongan sandiwaranya tak luput dari amukan rasialisme yang ketika itu pecah di Jawa Barat. Rumahnya sendiri -- termasuk sebagian harta bendanya - dibakar orang. Seluruh keluarganya menangis, tentu. "Tapi saya tidak," katanya. Namun ketika ia melihat naskah-naskahnya diinjak-injak, diobrak-abrik seperti sampah, akhirnya ia tak mampu membendung air mata. Setelah menjual sisa-sisa harta benda yang dimilikinya, ia pun meninggalkan Tasikmalaya, memboyong keluarga ke Sala. Kini namanya Asmaraman S. Cuma karena nama aslinya sudah terlanjut terkenal, maka untuk setiap bukunya selalu tertulis Kho Ping Hoo alias Asmaraman S. Nama Asmaraman, sejak dulu memang nama samarannya. Bahkan ia juga memakai nama samaran lain, misalnya Dudu Aku (bukan saya) atau Sukowah yang merupakan nama lain dari kota Sragen. "Itu sebagai identitas bahwa saya ini wong Sragen."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus