SATU hal penting yang dikerjakan Putu Wiajaya dalam teater
ialah: menampilkan khalayak ramai sebagai tokoh. Lakon-lakon
kita selama berpuluh tahun, dan demikian juga lakon lakon asing
yang kita kenal, selalu hanya menampilkan peran-peran tunggal
(biasa disebut sebagai 'watak') -- walaupun mereka membentuk
satu kelompok, terselip di antara orang banyak atau diiringi
orang banyak. Putu Wijaya sebaliknya, dimulai dengan lakonnya
Aduh, menampilkan kelompok sebagai subyek itu sendiri.
Bukan berarti dalam kelompok tidak terdapat konflik -- seperti
kelompok paduan suara dalam lakon klasik, yang tidak mungkin
berdiri sendiri. Tetapi konflik bukan disebabkan oleh
'watak-watak,' melainkan oleh bagian-bagian yang karena itu
tidak perlu disebut nama-namanya sebagai person. Demikian Putu
hanya menuliskan misalnya: 'Yang panik,' 'Penguntit,'
'Salah-seorang,' 'Entah Siapa' untuk peran-perannya -- yang
bisa diperganti-gantikan. Sebab yang diharapkannya muncul tak
lain karakter khalayak.
Dan khalayak bagi Putu bukanlah orang ramai yang diidealisir -
yang dianggap hitam, atau putih, ataupun 'berpendapat' seperti
khalayak Rendra. Putu hakikatnya berusaha membebaskan orang
ramai dari sesuatu tuntutan: khalayaknya adalah suatu organisme
yang hidup sendiri 'dari dalam' - bukan di hidupkan si
pengarang. Maka bila orang menyebut realisme, itulah kiranya
salah satu contoh realisme yang sah.
Realisme itu didekati dengan pertama kali memahami faktor
ketidakteraturan yang merupakan ciri lengket pada segerombolan
orang-orang. Individu, mewakili realita sebagai yang paling khas
ditangkap, melakukan berbagai tindak dan mengucapkan kata-kata
setengah jadi, kalimat terpenggal, semboyan, ucapan tak jelas,
omongan berbareng, bagai instrumen pada jazz membentuk harmoni
--yang hakikatnya tanpa tujuan. Di situlah teater memperoleh
cirinya yang memang main-main.
Itu terlihat dengan jelas pada pementasan Putu yang terbaru,
Edan (Teater Tertutup TIM, 25-29 Agustus). Yang menggerakkan
lakon --berbeda dari drama yang dirancang dengan fikiran --
bukanlah logika. Yang dirangkaikan Putu adalah imaji-imaji, satu
perluasan dunia batin, yang dalam hal ini berkenaan dengan
orang-orang.
Dan imaji-imaji Putu, dari lakon-lakonnya mutakhir, bisa
ditandai sebagai 'berat,' merah tua atau kehitam-hitaman. Ia
bisa menghasilkan pertunjukan yang antab bila dibiarkan menjadi
liar atau dipakai sebagai arus ekspresi, seperti pada Lho atau
Anu. Pada Aduh, sekalipun kesegaran terhidang dalam gelak
ketawa, ada sesuatu yang "ngeri" yang sengaja diseruakkan paling
tidak di bagian akhir. Dan di sinilah Edan menarik: ada
perbedaan sikap dalam menghadapi imaji.
Pertama harus dikatakan bahwa dari segi substansi, penonton
seperti hanya mendapat pengulangan dari imaji yang sudah
membangun lakon-lakon sebelumnya. "Tema" Edan -- meskipun
kelihatan tema tidak penting - adalah sikap kanibal manusia
yang memakan manusia (digambarkan secara fisik), dan betapa
dinding yang diperbuat khalayak untuk menolak kanibalisme itu
rapuh adanya.
"Hampir Sama Dengan . . ."
Tarohlah bahwa pengertian seperti itu berharga, toh orang bisa
terlihat pada Lho - terutama karena dalam kedua pementasan
dipakai bayi-bayi (boneka) yang diremuk atau dimakan. Bila ini
tidak dirasa sebagai pengulangam maka tingkah-tingkah khalayak
pada tidak bisa saja mengingatkan hal yang sama pada Aduh
misalnya. Akibat seperti itu justru terasa dalam Edan. Itulah
barangkali rahasianya bila penonton berkata pementasan ini
"hampir sama dengan yang dulu" -- dengan maksud menyatakan tidak
terlalu segar.
Padahal sikap Putu terhadap imajinya sendiri jelas tak sama.
Putu dalam Edan seperti mengambil jarak: imaji bukan lagi alat
ekspresi melainkan benar alat lakon. Agak aneh, Putu tidak
menggebrak. Ia bukan lagi orang yang luka, yang berteriak. Ia
sekedar menyuguhkan. Dan tanpa gebrakan, maka tiba-tiba yang
lebih banyak berkuasa adalah humor. Pementasan ini jadi lebih
terasa ringan: sentuhannya tidak lagi sangat dalam.
Namun, aneh sekali lagi, ini juga Edan yang bersih. Terutama
bukan dari segi pengelompokan orang-orang ataupun pengaturan
panggung yang bagus, melainkan tampak bahwa Putu mempercayai
teknik lebih dari sebelumnya. Akting, yang sebelumnya seperti
dipersetankan, kali ini seperti 'ditemukan.'
Kok Rapi!
Dan itu memang keuntungan sandiwara model begini: akting, bebas
dari tuntutan watak dan logika keseharian yang hanya
mengungkapkan gerak dan gestur sangat terbatas, bisa demikian
lentur dan kaya variasi dalam penggunaan bagian-bagian tubuh -
dan mengherankan bahwa Putu bisa mengaturnya dengan rapi.
Nama-nama sepert. Effendi, Djoko Quartantyo. Herman, Gandung, di
samping Renny Wijaya, hanyalah contoh-contoh menonjol saja untuk
pencapaian akting yang sebagai kesatuan bagus. Mereka ini
berdiri dengan tenang, berpijak dengan kaki-kaki yang percaya
lalu mengerubut atau menjatuhkan diri dengan gestur-gestur
selesai -- dengan vokal yang sangat jelas, tanpa gincu, tetapi
jelas ada proyeksi. Penemuankah ini?
Penonton tertawa-tawa: sedikit kebosanan dihalau oleh kwalitas
pemanggungan yang layaknya tak mereka sadari. Belum lagi disebut
sentuhan tangan sutradara yang bagus dalam pengadeganan:
bagaimana misalnya mayat digantung pada empat tali bagi
memunculkan sadisme dan humor.
Penonton Putu kelihatan siap menerima konsekwensi. Seperti ada
satu-dua kemugkinan nanti yang lebih dulu sudah mereka relakan
kalau toh akan terjadi, begitu mereka membeli karcis. Bila
pertunjukan lima malam itu mendapat pengunjung penuh, barangkali
sesuatu dari teater Putu memang sudah mereka putuskan untuk
dilangganani. Sikap gendeng alias menceng hal-hal mustahil,
keluguan, kata-kata yang putus atau dibolak-balik, khalayak yang
tak bertujuan, digoyang-goyang ke sana ke mari dan
kebengong-bengongan, masakan itu tidak akrab dengan mereka.
Syu'bah Asa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini