Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

"edan" tapi tidak menggebrak

Teater mandiri pimpinan putu wijaya mengadakan pertunjukan lakon dengan judul "edan" di teater tertutup tim. pementasan terbaru menggambarkan sikap manusia sebagai kanibalisme.

17 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU hal penting yang dikerjakan Putu Wiajaya dalam teater ialah: menampilkan khalayak ramai sebagai tokoh. Lakon-lakon kita selama berpuluh tahun, dan demikian juga lakon lakon asing yang kita kenal, selalu hanya menampilkan peran-peran tunggal (biasa disebut sebagai 'watak') -- walaupun mereka membentuk satu kelompok, terselip di antara orang banyak atau diiringi orang banyak. Putu Wijaya sebaliknya, dimulai dengan lakonnya Aduh, menampilkan kelompok sebagai subyek itu sendiri. Bukan berarti dalam kelompok tidak terdapat konflik -- seperti kelompok paduan suara dalam lakon klasik, yang tidak mungkin berdiri sendiri. Tetapi konflik bukan disebabkan oleh 'watak-watak,' melainkan oleh bagian-bagian yang karena itu tidak perlu disebut nama-namanya sebagai person. Demikian Putu hanya menuliskan misalnya: 'Yang panik,' 'Penguntit,' 'Salah-seorang,' 'Entah Siapa' untuk peran-perannya -- yang bisa diperganti-gantikan. Sebab yang diharapkannya muncul tak lain karakter khalayak. Dan khalayak bagi Putu bukanlah orang ramai yang diidealisir - yang dianggap hitam, atau putih, ataupun 'berpendapat' seperti khalayak Rendra. Putu hakikatnya berusaha membebaskan orang ramai dari sesuatu tuntutan: khalayaknya adalah suatu organisme yang hidup sendiri 'dari dalam' - bukan di hidupkan si pengarang. Maka bila orang menyebut realisme, itulah kiranya salah satu contoh realisme yang sah. Realisme itu didekati dengan pertama kali memahami faktor ketidakteraturan yang merupakan ciri lengket pada segerombolan orang-orang. Individu, mewakili realita sebagai yang paling khas ditangkap, melakukan berbagai tindak dan mengucapkan kata-kata setengah jadi, kalimat terpenggal, semboyan, ucapan tak jelas, omongan berbareng, bagai instrumen pada jazz membentuk harmoni --yang hakikatnya tanpa tujuan. Di situlah teater memperoleh cirinya yang memang main-main. Itu terlihat dengan jelas pada pementasan Putu yang terbaru, Edan (Teater Tertutup TIM, 25-29 Agustus). Yang menggerakkan lakon --berbeda dari drama yang dirancang dengan fikiran -- bukanlah logika. Yang dirangkaikan Putu adalah imaji-imaji, satu perluasan dunia batin, yang dalam hal ini berkenaan dengan orang-orang. Dan imaji-imaji Putu, dari lakon-lakonnya mutakhir, bisa ditandai sebagai 'berat,' merah tua atau kehitam-hitaman. Ia bisa menghasilkan pertunjukan yang antab bila dibiarkan menjadi liar atau dipakai sebagai arus ekspresi, seperti pada Lho atau Anu. Pada Aduh, sekalipun kesegaran terhidang dalam gelak ketawa, ada sesuatu yang "ngeri" yang sengaja diseruakkan paling tidak di bagian akhir. Dan di sinilah Edan menarik: ada perbedaan sikap dalam menghadapi imaji. Pertama harus dikatakan bahwa dari segi substansi, penonton seperti hanya mendapat pengulangan dari imaji yang sudah membangun lakon-lakon sebelumnya. "Tema" Edan -- meskipun kelihatan tema tidak penting - adalah sikap kanibal manusia yang memakan manusia (digambarkan secara fisik), dan betapa dinding yang diperbuat khalayak untuk menolak kanibalisme itu rapuh adanya. "Hampir Sama Dengan . . ." Tarohlah bahwa pengertian seperti itu berharga, toh orang bisa terlihat pada Lho - terutama karena dalam kedua pementasan dipakai bayi-bayi (boneka) yang diremuk atau dimakan. Bila ini tidak dirasa sebagai pengulangam maka tingkah-tingkah khalayak pada tidak bisa saja mengingatkan hal yang sama pada Aduh misalnya. Akibat seperti itu justru terasa dalam Edan. Itulah barangkali rahasianya bila penonton berkata pementasan ini "hampir sama dengan yang dulu" -- dengan maksud menyatakan tidak terlalu segar. Padahal sikap Putu terhadap imajinya sendiri jelas tak sama. Putu dalam Edan seperti mengambil jarak: imaji bukan lagi alat ekspresi melainkan benar alat lakon. Agak aneh, Putu tidak menggebrak. Ia bukan lagi orang yang luka, yang berteriak. Ia sekedar menyuguhkan. Dan tanpa gebrakan, maka tiba-tiba yang lebih banyak berkuasa adalah humor. Pementasan ini jadi lebih terasa ringan: sentuhannya tidak lagi sangat dalam. Namun, aneh sekali lagi, ini juga Edan yang bersih. Terutama bukan dari segi pengelompokan orang-orang ataupun pengaturan panggung yang bagus, melainkan tampak bahwa Putu mempercayai teknik lebih dari sebelumnya. Akting, yang sebelumnya seperti dipersetankan, kali ini seperti 'ditemukan.' Kok Rapi! Dan itu memang keuntungan sandiwara model begini: akting, bebas dari tuntutan watak dan logika keseharian yang hanya mengungkapkan gerak dan gestur sangat terbatas, bisa demikian lentur dan kaya variasi dalam penggunaan bagian-bagian tubuh - dan mengherankan bahwa Putu bisa mengaturnya dengan rapi. Nama-nama sepert. Effendi, Djoko Quartantyo. Herman, Gandung, di samping Renny Wijaya, hanyalah contoh-contoh menonjol saja untuk pencapaian akting yang sebagai kesatuan bagus. Mereka ini berdiri dengan tenang, berpijak dengan kaki-kaki yang percaya lalu mengerubut atau menjatuhkan diri dengan gestur-gestur selesai -- dengan vokal yang sangat jelas, tanpa gincu, tetapi jelas ada proyeksi. Penemuankah ini? Penonton tertawa-tawa: sedikit kebosanan dihalau oleh kwalitas pemanggungan yang layaknya tak mereka sadari. Belum lagi disebut sentuhan tangan sutradara yang bagus dalam pengadeganan: bagaimana misalnya mayat digantung pada empat tali bagi memunculkan sadisme dan humor. Penonton Putu kelihatan siap menerima konsekwensi. Seperti ada satu-dua kemugkinan nanti yang lebih dulu sudah mereka relakan kalau toh akan terjadi, begitu mereka membeli karcis. Bila pertunjukan lima malam itu mendapat pengunjung penuh, barangkali sesuatu dari teater Putu memang sudah mereka putuskan untuk dilangganani. Sikap gendeng alias menceng hal-hal mustahil, keluguan, kata-kata yang putus atau dibolak-balik, khalayak yang tak bertujuan, digoyang-goyang ke sana ke mari dan kebengong-bengongan, masakan itu tidak akrab dengan mereka. Syu'bah Asa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus