MUANGTHAI adalah contoh paling menarik dalam pertarungan di
kalangan elite politik pada waktu pergantian pemerintahan. Sejak
terjadinya kudeta pada tahun 1932, negara tersebut sudah
mengalami pergantian pemerintahan beberapa kali. Sebagian besar
dari pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh militer, tapi pada
beberapa saat di mana kaum sipil yang diserahi pimpinan negara,
tentunya dengan dukungan pihak militer.
Namun, pergantian-pergantian ini berlangsung tidak secara biasa.
Aturan-aturan tentang pergantian kepala pemerintahan tidak
pernah dituruti. Ada pemerintahan yang berumur setahun dua, ada
yang bisa bertahan sampai tujuh atau delapan tahun.
Pada umumnya, pergantian kekuasaan di Muangthai terjadi melalui
kudeta militer. Tapi, ada juga yang melalui hasil pemilu dan
partai yang unggul diserahi tugas membentuk kabinet, misalnya
pada tahun-tahun 1944-1947 dan pada tahun-tahun 1973-1976.
Selebihnya, pimpinan pemerintahan dipegang oleh penggerak
kudeta.
Walaupun kudeta datangnya dari pihak militer, tapi elite politik
Muangthai pada dasarnya mencakup suatu basis yang mungkin lebih
tepat disebut oligarki. Selain birokrasi militer oligarki ini
terdiri dari birokrasi sipil dan klik-klik partai dan parlemen.
Selain menguasai politik, pada dasarnya oligarki inilah yang
menguasai ekonomi Muangthai. Dengan konsolidasi kekuatan yang
telah dilakukannya sejak tahun 1932, oligarki ini boleh
dikatakan tetap berhasil mempertahankan dominasinya sampai
sekarang. Mereka menguasai bank, perdagangan, dan juga
suratkabar-suratkabar negara tersebut.
Bettahannya oligarki ini dalam banyak hal disebabkan oleh tidak
adanya suatu politik atas dasar mobilisasi massa di Muangthai
sejak tahun 1932. Semua soal politik didasarkan pada intrik dan
pemecahan rahasia di kalangan oligarki, tanpa kemungkinan adanya
partisipasi masyarakat di luar grup tersebut. Partai dan pemihl
pada umumnya berpusat pada beberapa tokoh yang juga termasuk
dalam grup oligarki. Penyelenggaraan pemilu lebih banyak
ditujukan ulltuk maksud pensahan dari masyarakat daripada untuk
partisipasi yang sebenamya. Atau, pemilu dipakai sebagai salah
satu bahan untuk pertarungan di antara oligarki yang ingin
menjadi pimpinan baru, khususnya dari kalangan militer.
Salahsatu akibat parah dari sistitm politik semacam ini adalah
sedikitnya angkatan muda sipil yang bergerak di bidang politik.
Anak-anak muda lulusan universitas lebih senang masuk birokrasi
pemerintahan. Karir sudah menunggu, gajipun baik. Atau bergerak
di bidang kepengusahaan. Gaji lebih tinggi daripada di dalam
pemerintahan, apalagi di masa kegiatan ekonomi yang meningkat
pada tahun-tahun 1960-an. Jumlah universitas yang tidak terlalu
banyak, mempersulit tersedianya tenaga-tenaga muda untuk diserap
oleh kegiatan politik. Tambahan lagi, dalam partai-partai dan
kelompok politik, kemungkinan untuk naik cepat jarang sekali,
sebab sudah seakan-akan milik pribadi dari tokoh-tokoh tua.
PARTISIPASI MASSA
Kegagalan sistim politik semacam ini dapat dilihat pada periode
1973-1976. Waktu itu, banyak partai didirikan dan pemilu juga
diselenggarakan. Dengan beberapa perkecualian (umumnya hanya
pada partai-partai kecil), pemimpin-pemimpin sipil yang menonjol
adalah dari angkatan tua juga. Tokoh seperti Seni Pramoj sudah
menjadi Perdana Menteri pada tahun 1945. Tigapuluh tahun
kemudian, dia masih tetap menonjol dalam kalangan partai, karena
sistim oligarki memungkinkan demikian.
Ini tidak berarti bahwa tokoh-tokoh muda jarang muncul. Banyak
tokoh mahasiswa terjun ke politik, masih muda, ratarata sekitar
30 tahunan umurnya. Tapi partai mereka kekurangan dana, lemah
dalam jaringan secara nasional. Sebaliknya, partai-partai yang
dipimpin oleh mereka yang beMsal dari oligarki sudah punya
jaringan puluhan tahun, sudah menciptakan sistim patrimonial
yang kuat ke desa-desa dan dana yang terus mengalir dari
bank-bank di Bangkok. Banyak pula anak-anak muda yang masuk ke
dalam partai-partai yang dipimpin oleh politikus oligarki ini.
Tapi, pimpinan politik di kalangan sipil tetap di tangan
politikus tua, yang sudah kebal dengan berbagai kudeta
sebelumnya. Ini berbeda dengan pihak militer, yang walaupun agak
lambat, tapi toh berhasil mengadakan pergantian pimpinan. Kalau
misalnya Seni Pramoj bisa bertahan 30 tahun, tokoh politik di
kalangan militer segenerasinya, yakni Phibun, sudah sejak 1957
berakhir karirnya .
Dengan kudeta Oktober 1976, situasi sebelum 1973 kembali lagi.
Kekuasaan berpusat pada klik oligarki yakni birokrasi militer,
birokrasi sipil dan elite politik lainnya, yang berpusat di
Bangkok. Anak-anak muda yang tadinya bergabung dengan partainya
politikus oligarki, akan dengan mudah mendapat pekerjaan di
perusahaan-perusahaan di Bangkok. Pergantian pemerintahan akan
lebih merupakan masalah intern dan intrik di kalangan oligarki
saja. Paling-paling kalau tidak ada kesepakatan, kudeta lagi
yang terjadi.
Satu-satunya perbedaan dengan periode sebelum 1973 adalah
meningkat dan meluasnya kesadaran politik. Berbeda dengan
partai-partai sebelumnya, partai-partai selama periode 1973-1976
banyak mendasarkan programnya pada mobilisasi massa.
Aktifis-aktifis partai banyak direkruit dari anak muda di luar
oligarki dan partisipasi politik jauh lebih bermakna daripada
sebelumnya. Mobilisasi tidak hanya dilakukan oleh partai, tapi
juga oleh grup politik lainnya, misalnya buruh, petani kecil dan
mahasiswa.
Periode partisipasi yang singkat selama tiga tahun tersebut
memperlihatkan kepada masyarakat bahwa ada alternatif selain
dari sistim oligarki yang selama ini dikenal. Lebih penting
lagi, banyak dari mereka yang aktif dalam periode tersebut
menolak kembalinya oligarki dan memilih jalan kekerasan sebagai
satu-satunya alternatif yang terbuka. Barangkali Muangthai
dengan jelas menunjukkan bagaimana sulitnya menyumbat saluran
partisipasi, apabila sekali saia sudah dibuka. Tanpa saluran
semacam itu, masalah negara hanyalah ditentukan oleh sekelompok
kecil oligarki dalam bentuk intrik-intrik dan kudeta di kalangan
elite politik sendiri sambil menutup kemungkinan timbulnya
kepemimpinan dan peranan politik dari generasi muda sipil. Dan
ini terjadi di Muangthai di mana masyarakatnya sangat homogen
dari sudut rasial dan agama serta memiliki simbol pemersatu yang
kuat dalam diri Raja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini