PULAU Simeulue di pesisir barat Aceh menghasilkan cengkeh cukup
besar. Meskipun dalam musim baru lalu belum dibuat angka resmi,
tapi Bupati Aceh Barat drs. Syamsunan berani memastikan angka
2.000 ton. Jika harga per-kilogram Rp 3.500, berarti penduduk
pulau ini mampu mengantongi uang dari cengkah saja tak kurang
dari Rp 7 milyar.
Karena itu tak heran bila para pejabat daerah ini mulai
memikirkan bagaimana cara mengarahkan uang petani itu agar tak
terhambur begitu saja. Berdasarkan pengalalnan tahun-tahun
sebelumnya, hasil keringat petani itu ternyata lebih banyak
dinikmati para pengijon. "Para pengijon di Simeulue belum
seluruhnya berhasil kita tendang" Bupati Syamsunan mengakui.
Penyebabnya tak sulit dicari. BUUD/KUD yang ada di sana selalu
kalah bersaing dengan para pengijon dalam soal kemampuan
menyediakan modal. Soal kesulitan modal ini disebut Gubernur
Muzakkir Walad karena faktor perhubungan yang belum beres.
Kepada TEMPO dikemukakannya bagaimana sulitnya membawa uang
kontan (dalam jumlah banyak tentunya) dengan kondisi pelayaran
lokal seperti sekarang. Karena ihl ia belum berani mendesak
bank-bank yang ada di Banda Aceh untuk buru-buru membuka cabang
di Simeulue. Menurut gubernur ini yang perlu didahulukan adalah
menyiapkan lapangan terbang perintis di pulau itu tahun ini.
Uang Kontan
Sebaliknya bagi Bupati Syamsunan yang mendesak justru adanya
bank tadi "Berikan modal kerja sekian milyar kepada BUUD/KUD,
segalanya akan beres diatur," ucap Syamsunan. Sebab tambahnya,
kita hanya akan berpangku tangan saja jika melihat para pengijon
mampu memboyong sekian banyak cengkeh karena modal mereka cukup
besar Padahal bagi Kabupaten Aceh Barat, cengkeh pulau ini
justru menjadi andalan satu-satunya. Yaitu setelah kayu, kopra
dan rotan sudah lama ditinggalkan petani.
Sebagai sarjana ekonomi, Syamsunan rupanya enggan berbincang
tentang bagaimana mengarahkan penggunaan uang petani dari hasil
cengkeh mereka sebelum ada bank. Melalui pembayaran di bank,
ucap bupati itu lagi, kita tidak akan memberikan uang kontan
sekaligus kepada para petani, cukup diberikan cek di luar
keperluan mereka sehari-hari. Sebab bila petani memegang uang
kontan dalarn jumlah banyak, dalam waktu cepat uang itu akan
habis untuk hal-hal yang tak bermanfaat benar.
Tapi sementara itu agaknya tubuh BUUD/KUD di sana masih perlu
dibenahi lagi. Dalam musim cengkeh baru lalu misalnya masih
terlihat keinginan badan itu untuk mencari untung, bukan sebagai
stabilisator harga. Misalnya, seperti diungkapkan beberapa orang
pen duduk, pernah terjadi harga cengkeh ditarik ke bawah hingga
mencapai hanya Rp 3.200 per-kg -- sementara harga ditetapkan
paling rendah Rp 3.500 perkg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini