Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki berambut putih dengan setelan batik berwarna cokelat dan celana panjang itu maju ke panggung untuk berpidato tanpa teks. Bambang Bujono, bersepatu kets bertali biru, berkelakar di depan sahabat dan kawan-kawannya yang datang di tengah kerumunan anak-anak muda. Di Jogja National Museum, Yogyakarta, Ahad malam lalu, Bambu begitu panggilan akrab Bambang Bujono mendapat penghargaan Lifetime Achievement Art Award dari Yayasan Biennale.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghargaan ini ditujukan kepada sosok yang punya komitmen dan dedikasi tinggi untuk dunia seni rupa, bukan hanya dunia penciptaan, melainkan juga produksi pengetahuan dan distribusi wacana seni. "Kriteria lain adalah kerja-kerja kesenian dalam hal kritik seni, penulisan seni, dan jurnalisme seni," ujar Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghargaan kepada penulis seni rupa ini baru pertama kali diberikan. Selama ini, penghargaan ditujukan kepada seniman. Perupa yang pernah mendapat penghargaan, antara lain, adalah Sukasman, Soedarso, Edhi Soenarso, Kartika Affandi, Soenarto Pr, Djoko Pekik, Moelyono, Jim Supangkat, dan Wiyadi. Penghargaan kepada penulis seni rupa diberikan untuk merangsang penulis muda.
Ketua Dewan Pengawas Yayasan Biennale, Nasir Tamara, menyatakan Bambu dihormati karena tulisan-tulisannya yang obyektif dan tidak monoton. Kekuatannya terdapat pada riset tentang latar belakang seniman dan bagaimana karya itu dibuat. "Bukan hanya karya yang dipamerkan, tapi juga tokoh di balik karya itu."
Bambang Bujono menyebutkan penghargaan ini mengingatkannya saat dia menjadi mahasiswa ASRI Yogyakarta pada 1967-1968. "Cita-cita saya dulu menjadi seniman saat menjadi mahasiswa, tapi gagal. Menulis lebih mudah ketimbang melukis. Hadiah ini untuk ekosistem dunia seni rupa," kata Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2006-2009 itu.
Menurut Bambu, seni rupa tidak bisa bergerak sendiri dan erat hubungannya dengan wacana, yakni dunia tulis-menulis. Seni rupa tidak akan berjalan dengan baik tanpa wacana. Tulisan, kata dia, menjadi penggerak atau bensin untuk menghasilkan wacana seni rupa. Pada 1960, dia mencontohkan, ruang pameran seperti ruangan angker. Nah, melalui tulisan di surat kabar dan majalah, pameran yang angker itu menjadi bisa dinikmati.
Penulis dan kritikus seni rupa aktif ini lahir di Solo pada 15 April 1947. Kini mantan wartawan Tempo itu menjadi penulis kesenian, editor independen, dan mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.
Pada 2017, Bambu menulis buku Melampaui Citra dan Ingatan, bunga rampai tulisan seni rupanya pada periode 1968-2017. Buku itu mengulas berbagai peristiwa seni rupa selama lebih dari empat dekade. Ia melihat fenomena pertumbuhan galeri, peran kolektor, kondisi koleksi, hingga lukisan palsu. SHINTA MAHARANI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo