Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Beras, Antara Populisme Dan Rasionalitas

"A specific brand of culture-populism-has been particularly debilitating to economic progress." - Alan Greenspan, The Map and the Territory 2.0., hlm 214.

27 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denni P. Purbasari*)

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah akhirnya dikeluarkan pada 17 Maret lalu. Pemerintah barangkali sudah sadar bahwa pelarangan impor beras bukannya membawa kebaikan bagi rakyat banyak, tapi justru menyusahkan dan tak akan sustainable.

Dulu-mirip dengan kasus Indonesia-dengan alasan meningkatkan kesejahteraan petani, Perdana Menteri Yingluck Shinawatra membuat kebijakan ketika beras petani Thailand dibeli oleh pemerintah dengan harga 50 persen di atas harga internasional. Kontan petani pun bersukacita. Namun sukacita ini tak berlangsung lama. Produksi beras Thailand menjadi berlebihan, dan harga beras dunia merosot dari semula US$ 600 per ton pada 2012 menjadi US$ 400 per ton pada April 2014. Pemerintah Thailand juga harus menanggung biaya subsidi yang semakin besar dan kesulitan membayar beras petani.

Tak berbeda dengan Thailand, Yunani, Brasil, atau Venezuela, di Indonesia nasionalisme ekonomi berikut turunannya selalu digembar-gemborkan dalam kontestasi politik nasional. Alasannya, lagu ini memang paling laku di telinga rakyat. "Dalam setiap kebijakan ekonomi populis, ada teriakan penderitaan di dalamnya," kata Alan Greenspan. Alih-alih mengingatkan akan "biaya sosial" dari kebijakan populis ini, sebagian ekonom memilih tiarap, takut dicap sebagai komprador asing atau neolib.

Masalahnya, ketika kampanye berakhir dan janji kampanye harus diwujudkan, politikus biasanya memiliki kecenderungan mempertahankan kebijakan yang tidak sustainable ini hingga suatu titik ketika ongkos atau dampak sosial dari kebijakan ini sudah terlalu mahal. Dalam kasus beras di Indonesia, komitmen Presiden Joko Widodo untuk tidak mengimpor beras, misalnya, direspons oleh para pedagang dengan menahan pasokan. Akibatnya, harga beras melambung, bahkan pada saat-saat panen raya seperti Maret lalu.

Kenaikan harga beras di pasar dalam negeri memang tak wajar. Pada saat harga beras Thailand kualitas baik (pecah 5 persen) saat ini adalah US$ 409 per ton atau Rp 5.400 per kilogram (ditambah bea masuk, PPN, dan ongkos transportasi menjadi sekitar Rp 7.000 per kilogram), harga beras dalam negeri kualitas setara harganya sekitar Rp 12.000. Ini berarti kita membayar 70 persen lebih mahal daripada harga internasional-naik dari sebelumnya yang "hanya" 43 persen.

Padahal beras memakan 41 persen penghasilan rumah tangga miskin (bandingkan dengan kelompok terkaya yang hanya membelanjakan 3,5 persen dari bujetnya). Ini berarti kenaikan harga beras lebih keras memukul kesejahteraan kelompok miskin-apa pun profesinya.

Lebih jauh, studi Bank Dunia (2015) memperkirakan setiap kenaikan 10 persen harga beras akan menaikkan angka kemiskinan 1,1 poin persentase. Jika demikian, efek dari program-program penanggulangan kemiskinan (ataupun pertumbuhan ekonomi) terhadap penurunan angka kemiskinan bisa jadi hilang begitu saja dihapus oleh lonjakan harga beras. Padahal pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menargetkan angka kemiskinan turun dari 11 persen pada 2014 menjadi 9,5-10,5 persen pada 2015.

Perlu dicatat bahwa membuka keran impor beras bukan berarti membuat harga beras dalam negeri sama dengan harga di pasar internasional. Sekali-kali tidaklah demikian. Harga beras dalam negeri tetap perlu dibuat lebih tinggi untuk memberikan insentif atau perlindungan kepada petani padi kita.

Pemberian izin impor ini lebih ditujukan untuk membentuk persepsi pedagang bahwa, kapan pun, bila dianggap perlu, pemerintah (melalui Perum Bulog) bisa mengimpor beras untuk mencegah lonjakan harga. Maka spekulasi diharapkan menjadi terbatas karena pedagang tahu bahwa Bulog memiliki amunisi untuk menstabilkan harga.

Jika keran impor beras tidak ada, Bulog harus berkompetisi dengan swasta dalam membeli produksi petani-yang selain musiman, juga terbatas jumlahnya. Kompetisi ini mendorong harga naik dan membuat harga pokok pembelian atau HPP beras sebesar Rp 7.300 per kilogram menjadi tidak relevan. Target penyerapan 30-40 persen dari produksi lokal pun sulit terealisasi.

Kebijakan impor ini juga tidak perlu dibenturkan dengan usaha swasembada beras. Produksi beras nasional tetap perlu ditingkatkan-terutama melalui peningkatan produktivitas lahan (yang saat ini baru sekitar 5,1 ton per hektare) dan perbaikan teknologi pascapanen. Meskipun demikian, produksi yang melebihi konsumsi tak cukup menjadi justifikasi bahwa kita tidak perlu melakukan impor. Impor tetap dibutuhkan untuk stabilisasi harga, karena produksi (dan penawaran) beras bersifat musiman, tidak pasti, dan tidak merata di seluruh wilayah Tanah Air-sementara konsumsinya relatif stabil.

Untuk membandingkan seberapa besar impor kita, data Comtrade menunjukkan bahwa pada 2013 Indonesia mengimpor 270 ribu ton beras. Kita berada di peringkat ke-15 pengimpor beras terbesar dunia-jauh di bawah Cina (1,7 juta ton), Malaysia (875 ribu ton), Jepang (668 ribu ton), Amerika (561 ribu ton), atau Singapura (406 ribu ton). Vietnam dan Thailand, yang jelas-jelas pengekspor beras terbesar dunia pun, tercatat masih mengimpor beras-meski kecil-masing-masing sebesar 20.000 dan 14.500 ton. Jadi, mengapa impor beras kita harus dinolkan?

Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, ini berarti bahwa dalam setahun orang Indonesia rata-rata hanya mengkonsumsi 1,1 kilogram beras impor. Ini lebih rendah daripada rata-rata konsumsi beras impor per orang di Malaysia (29 kg), Jepang (5,2 kg), Filipina dan Korea Selatan (4,1 kg), Kamboja (2,7 kg), serta Cina (1,3 kg). Dan, bila dibandingkan dengan angka produksi beras dalam negeri masing-masing, proporsi beras impor Indonesia tidak lebih dari 0,7 persen produksi lokal-lebih kecil daripada Kamboja (0,8 persen), Cina (1,1 persen), Korea Selatan (4,8 persen), Jepang (8,6 persen), atau Malaysia (48 persen). Jadi sesungguhnya negara lain "lebih dependen" pada beras impor daripada Indonesia.

Michael Sandel, profesor hukum dari Harvard, dalam bukunya, Justice: What's the Right Thing to Do?, mengatakan kebijakan secara moral dapat dibenarkan-salah satunya-bila kebijakan tersebut memberikan kesejahteraan maksimal bagi orang banyak. Bila ternyata 80 persen rumah tangga Indonesia kita adalah net consumer beras (Bank Dunia, 2015), mengapa kita ngotot mengharamkan impor beras, yang justru melukai kesejahteraan sebagian besar rakyat?

Bagaimana pula dengan kesejahteraan saudara-saudara kita yang hidup di perbatasan atau di daerah terpencil (seperti Nunukan dan Sangihe), yang jauh dari daerah penghasil beras? Apakah mereka harus membeli beras dari Jawa atau Sulawesi Selatan dan dilarang membeli beras dari negara tetangga yang lebih dekat dan murah? Bukankah secara rata-rata kesejahteraan masyarakat di Jawa dan Sulawesi Selatan lebih baik daripada masyarakat di Nunukan atau Sangihe? Inikah keadilan?

Terakhir, pemerintah sebaiknya menengok laporan neraca pembayaran kita. Impor bahan baku/penolong terbesar kita saat ini bukanlah besi, baja, plastik, komponen kendaraan bermotor, atau bahan kimia, melainkan pakan ternak. Ya, pakan ternak. Pada 2014, nilai impor pakan ternak mencapai US$ 3 miliar-jauh lebih tinggi dari beras yang "hanya" menghabiskan US$ 164 juta.

Masih di laporan yang sama, impor barang konsumsi terbesar kita ternyata bukan beras, tas, atau sepatu, melainkan buah-buahan dan sayur-sayuran-total mencapai US$ 1,4 miliar. Fenomena ini diperkirakan terus terjadi, sejalan dengan pergeseran komposisi makanan rumah tangga Indonesia dari karbohidrat ke protein (telur, ikan, daging ayam, daging sapi) dan buah/sayur-akibat meningkatnya pendapatan masyarakat.

Jadi apakah strategi pertanian kita akan terus melihat ke belakang dan berkutat pada beras atau akan move on dengan mengantisipasi perkembangan permintaan ke depan dan bergeser pada tanaman lain yang memberi nilai tambah lebih tinggi?

*) Dosen Fakultas Ekonomika Dan Bisnis UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus