Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wangi bunga membungkus
hingga tusuk keris terakhir....
Larik-larik kalimat di atas muncul di layar belakang panggung saat gending Perang Kembang garapan komposer Lukas Danasmoro, Gendut Dwi Suryanto, dan Yenny Arama dimainkan. Komposisi gending ini diawali oleh bunyi senggrengan dari alat musik rebab yang sengau. Kemudian muncul senandung vokal dalam untaian laras pelog yang kontemplatif. Juga ricikan bonang penembung, kempul, gong, dan gandang tambua diolah dalam kombinasi irama cepat, lirih, tapi terkesan megah.
Terus garap ricikan balungan demung, saron, dan peking yang ditabuh keras dengan dinamika tempo progresif. Instrumen itu diikuti gemuruh suara beduk dan rebana yang berirama supercepat, bergelombang menindih lapis bunyi siter dan rebab. Dan penabuh siter dan rebab tetap tampak anggun dan tenang sembari memainkan nada-nada lembut dan pelan. Ibarat tubuh, gending ini menyampaikan pesan tentang ruang pertarungan pikiran, naluri, dan nafsu yang saling berebut kemenangan.
Gending mengesankan suasana tanding antara Lukas, Gendut, dan Yenny. Perang Kembang terinspirasi oleh salah satu adegan perang eden-eden yang menjadi primadona dalam pertunjukan wayang kulit (pakeliran) Jawa, memperlihatkan pertarungan tokoh halus (kesatria) melawan tokoh kasar (raksasa). Babak ini paling dinanti audiens lantaran daya pikat luar biasa: kemahiran teknis sabet dalang dan iringan gamelan yang interaktif mengiringi gerak "tarian" perang. Ekspresi kesatria disajikan secara tenang. Namun dengan teknik sabet yang memukau, yaitu dengan teknik gendiran (menggunakan tuding atau tangkai tangan wayang), sang kesatria dengan sangat cekatan meladeni kebuasan dan keliaran raksasa.
Perang Kembang menjadi penutup dalam konser gamelan yang digelar di halaman Benteng Vastenburg, Surakarta, pada Sabtu malam, 6 Juni 2015. Konser yang dikemas secara "tanding gending" ini diawali oleh Lukas Danasmoro, yang menyajikan Affertuoso. Komposisi ini menyajikan konstruksi gending futuristik. Instrumen musik primer diadopsi dari perbendaharaan gamelan Jawa, gamelan sekaten, dan gamelan Bali. Ketiga ansambel itu dimainkan cepat, keras, mengiringi solis violin yang dimainkan dalam kombinasi staccato dan tremolo. Permainan violin Setyawan Jayantoro dan struktur gending yang dibangun Lukas berintegrasi dan bermetamorfosis menjadi karya yang memukau.
Ini sangat berbeda dengan karya Lukas berikutnya yang berjudul Magic Rain. Pada karya ini, ia terlalu memanjakan kehadiran instrumen gitar, violin, dan kendang Sunda di antara seabrek ricikan gamelan Bali yang diusungnya. Porsi yang terlalu besar pada ketiga alat musik tadi menjadikan Magic Rain kehilangan spirit gamelan. Gamelan sekadar menjadi bumbu pemanis dari combo band yang memainkan irama pop jazz, yang sudah bukan lagi barang baru dalam belantika musik modern.
Yang menarik adalah mBali-Balian, komposisi karya Gendut Dwi Suryanto. Komponis yang juga dalang ini—sebagaimana judulnya—menyerap musik Bali melalui orkes gamelan Jawa. Namanya juga "ala" Bali, yang hadir adalah kenakalan-kenakalan yang segar—lewat tafsir atas gong gebyar, jegog, serta gender wayang yang ia mainkan melalui demung, saron, bonang, kempul dan gong, serta tabuhan ganrang Makassar. Pada pola permainan yang rancak, Gendut tak melewatkan momen "keras"-nya musik Bali dengan membunyikan bonang sekeras-kerasnya, hingga lahir distorsi bunyi yang sengau, dan blero. Dibarengi oleh gaya bermain para pemusiknya yang teatrikal, muncul sensasi tersendiri dalam penikmatan musik.
Cara bermusik Gendut, yang berlatar belakang dalang, memang berbeda dengan pendekatan garap yang dilakukan Lukas dan Yenny. Komposisi-komposisi gending Gendut menjadi lebih teateral. Banyak idiomatika musik yang diadopsi dari cara membuat musik untuk iringan teater, tari, ataupun wayang. Kekuatan ini pula yang tampak dalam Suh, komposisi Gendut yang lain. Bermodal tema the power of together secara agak naif, Gendut membangun musiknya dalam irama rebana yang sigrak, gamelan yang kemlontang, serta degum gempita bas dan gitar elektrik. Dalam balutan transformasi musik yang dinamis itu, Suh kelihatan lebih bercerita, tentang kebersamaan yang menyatukan energi mahadahsyat.
Adapun Yenny, yang membawakan komposisi Manas dan Atman, menampakkan bangunan komposisi rapi dalam membangun struktur ataupun alat musik yang dipilihnya. Manas, yang menggunakan instrumen primer kecapi, suling, saksofon, dan slentem, menyuguhkan garap yang halus. Kelembutan nada-nada kecapi, suling, serta melismatisnya saksofon membangun energi cinta Manas semakin lembut. Dalam falsafah Jawa, kelembutan sering diasosiasikan sebagai keselarasan yang sempurna. Ialah kekuatan yang mengalir tenang, nyaris tak lagi kelihatan gerakannya. Halus adalah mampu mengontrol kejasmanian sekaligus mengatur batinnya menuju rasa kebenaran.
Yenny, yang seorang sinden, membangun komposisinya pada kekuatan vokal. Kemampuannya dalam olah vokal tinggi. Setelah mengembangkan kehalusan vokal Jawa pada Manas, ia mengolah kenesnya vokal gandrung Banyuwangi untuk karya berikutnya, Atman. Hanya, pada Atman, Yenny lebih menekankan pengembangan vokal yang dipadukan dengan efek bunyi elektronik. Melalui produksi bunyi elektronis, komposisi ini lebih menyentuh dimensi trance.
Pertunjukan yang mengambil judul Battle of Youth itu barangkali bisa memenuhi dahaga publik atas minimnya konser gamelan yang melibatkan komponis muda. Yenny, Lukas, dan Gendut adalah sebagian dari sedikit komponis pasca-forum Pekan Komponis Muda (yang telah lama mati itu) yang bisa diperhitungkan.
Joko S. Gombloh, Pemerhati musik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo