Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Fluxus yang Terlalu Gembira

ArtJog 8 berupaya memaknai gerakan Fluxus, yang berkembang di New York pada akhir 1950-an. Sisi kritis tapi kurang.

15 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENI adalah sebuah cara merayakan, entah merayakan hidup entah merayakan utopia bersama untuk masa depan. Seni yang merayakan ini terasa betul gaungnya di ArtJog 8, perhelatan tahunan di Yogyakarta yang dimulai sejak 2007 atas inisiatif Heri Pemad.

Pada pembukaan, tak kurang dari 3.000 penonton berjubel di halaman Taman Budaya Yogyakarta, yang fasadnya telah disulap sedemikian rupa menjadi vertical garden yang megah. Vertical garden ini akan bertahan hingga 28 Juni mendatang.

Dari tahun ke tahun, ArtJog menjadi pameran seni yang paling ditunggu oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya, bahkan menjadi magnet masyarakat seni Asia Tenggara, Hong Kong, Australia, Jepang, dan sebagainya. Tahun lalu, ArtJog mencetak rekor dengan jumlah 100 ribu pengunjung dalam waktu 20 hari pameran. Ini jumlah yang fantastis untuk ukuran pameran seni di Yogyakarta.

ArtJog 8 kali ini mengambil tema "Infinity in Flux", yang mendasarkan pada pembacaan ulang terhadap fenomena penting dalam sejarah seni rupa, yaitu munculnya gerakan Fluxus, terutama di New York pada akhir 1950-an. Fluxus mendobrak batas-batas seni dan memperluas jelajah medium baru yang tak terpikirkan dalam praktek seni periode sebelumnya, terutama karena bertautnya seni dan kehidupan. Itulah mengapa seniman pionir media baru, seperti Nam Jun Paik, juga sangat dekat dengan gerakan Fluxus. Bambang Toko Witjaksono, kurator ArtJog 8 (untuk keempat kali berturut-turut), mengambil ide pendobrakan Fluxus untuk mendorong para seniman menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru dalam praktek penciptaan seni rupa khususnya di Yogyakarta.

Dengan cakupan tema inilah ArtJog 8 seperti tampil dengan wajah baru. Sementara tahun-tahun sebelumnya karya lukis menjadi medium yang cukup dominan, tahun ini sedikit sekali jumlah lukisan yang terpajang, bahkan tak mencapai 10 persen. Tentu ini menjadi perubahan yang cukup signifikan bagi pertumbuhan konsep ArtJog sendiri. Sebagian besar seniman berupaya menampilkan karya nonkonvensional yang meliputi instalasi interaktif, seni video, performance, seni bunyi (sound art), dan sebagainya. Beberapa seniman juga hadir dengan pendekatan proyek seni, yang cakupannya tidak hanya menghadirkan obyek dalam ruang pamer, tapi juga keseluruhan proses dan interaksi dengan pengunjung.

Seniman yang diundang untuk menggarap fasad Taman Budaya tempat berlangsungnya acara adalah Indieguerillas. Meskipun demikian, berbeda dengan tahun sebelumnya, ketika karya seniman langsung bisa dinikmati dari luar gedung, pada karya Indieguerrilas, pengunjung harus masuk ke dalam untuk menemukan instalasi berbagai sepeda yang dirakit khusus buat berbagai kepentingan. Ada sepeda yang berubah menjadi dapur atau menjadi kios cukur rambut dengan warna-warna terang mencolok yang telah menjadi ciri khas duo suami-istri, Santi dan Otom, tersebut.

Setelah karya Santi dan Otom, pengunjung mulai memasuki lorong-lorong yang memamerkan puluhan karya, baik dari hasil seleksi maupun seniman undangan. Tak bisa dimungkiri, kehadiran karya-karya seniman yang sudah cukup punya nama, seperti Heri Dono, Mella Jaarsma, Eddi Prabandono, Jompet Kuswidananto, Venzha Christiawan, Angki Purbandono bersama Prison Art Project, dan Popok Tri Wahyudi bersama Gaia Foundation, terasa kuat, baik dari segi visual maupun segi konsep.

Heri Dono menghadirkan satu karya instalasi terbaru berupa ruang kelas lengkap dengan bangku-bangku sekolah gaya lama yang kemudian diisi kepala khas Heri Dono. Di atas meja-meja itu pula Heri memasang rangkaian gamelan yang digerakkan dengan mesin kinetik untuk menghasilkan bunyi. Mella Jaarsma membuat karya instalasi performance berupa kostum ransel yang berpijak pada mitos tentang garis imajiner Yogya. Jompet Kuswidananto menghadirkan seri karya Order and After #2, yang merupakan pengembangan dari bentuk figur para demonstran yang dipadukan dengan ketertarikannya pada bendera sebagai simbol identitas.

Eddi Prabandono menghadirkan karya Membangun Pangan, yakni mesin molen yang akan berfungsi ketika pengunjung menelepon nomor tertentu, menghubungkannya dengan karya-karya sebelumnya yang berkaitan dengan isu pertanian. Arya Panjalu membuat karya interaktif berupa kepala berukuran besar berwarna hitam menyerupai batu. Jika pengunjung memencet tombol tertentu, muncul suara seperti memukulkan alat ke kepala tertentu. Judul karya ini cukup literal, tapi juga menohok langsung ke makna karyanya. Nasirun memasang instalasi ??!!! (tanda) ratusan pasang kacamata yang membuat orang bisa melihat refleksi wajahnya, semacam melakukan potret diri (selfie), untuk mengangkat fenomena paling kini tentang bagaimana seni digunakan sebagai ajang untuk berfoto diri.

Proyek menarik lain dihadirkan oleh Angki Purbandono dan Prison Art Project, yang membangun Museum of Botany, di mana pengunjung diundang masuk dengan membawa selembar daun sebagai penukar tiket. Di dalamnya, mereka memajang berbagai jenis daun untuk menandai keberagaman vegetasi. Wimo Ambala Bayang membuat instalasi Belajar Membaca yang berbasis pada gagasan sastra, mengambil inspirasi dari puisi Sutardji Calzoum Bachri. Ia mengajak pengunjung memainkan skateboard yang sudah dibuat dengan kata-kata dari puisi tersebut, sehingga mereka bisa menyusun kalimat sendiri.

Dua karya sentral dalam ajang ini adalah karya Mark Justiani dari Filipina, Mimefield. Ia membuat instalasi berupa refleksi yang menawarkan ilusi kedalaman, seolah-olah ada ruang bawah tanah di ruang pameran Taman Budaya Yogyakarta. Karya ini dipasang berhadapan dengan karya Nyoman Masriadi berjudul Shangri-la. Kehadiran karya ini merupakan bahan pembicaraan menarik di antara para kolektor karena menandai kembalinya Masriadi di lingkup seni pameran di Yogyakarta setelah sekian lama absen dari ajang ini. Karya video seniman undangan yang utama, Yoko Ono, salah satu pelaku gerakan Fluxus, justru tampak tenggelam di antara kemegahan karya-karya lain.

Infinity in Flux merupakan salah satu cara untuk menerabas batas-batas praktek seni di Yogyakarta, terutama yang berskala besar seperti ArtJog. Usaha seperti ini patut dihargai mengingat pameran ArtJog sebelumnya lebih bersifat konvensional dan seperti memberi garis bawah pada pasar seni rupa. Sebagian besar karya-karya ini bersifat interaktif sehingga membuat pengunjung merasa gembira dan tertarik menjadi bagian dari presentasi karya.

Para pengunjung menikmati bentuk-bentuk yang tak biasa didapatkan, dengan jumlah seniman yang masif, sehingga pameran seperti ini berubah menjadi wahana hiburan baru bagi warga kota. Di tengah kepungan bangunan pusat belanja yang menjamur, kemauan pengunjung untuk membayar uang tiket sejumlah Rp 50 ribu ini menunjukkan keinginan menikmati aktivitas lain yang tidak melulu bersifat konsumtif.

Meski demikian, sebagai sebuah pameran yang juga diharapkan menampilkan ukuran-ukuran seni, tidak banyak karya yang benar-benar tampil dengan gagasan yang segar dan bentuk yang menantang imajinasi. Sebagian juga lebih bersifat ilustratif, sehingga tidak menampilkan lapisan-lapisan makna yang lebih kompleks.

Ada beberapa karya dari nama baru yang cukup menjanjikan, tapi terasa betul lebih menunjukkan bagaimana pengaruh budaya pop dalam kehidupan sehari-hari ketimbang menunjukkan sisi kritis yang bisa mengundang pengunjung melontarkan pertanyaan. Gerakan Fluxus di New York sesungguhnya adalah gerakan perlawanan, yang penuh sikap kritis terhadap politik dan problem sosial. Jika kita mengingat semangat Fluxus pada waktu itu dan bagaimana mereka memberi pengaruh besar pada terbentuknya diskursus baru dalam sejarah seni, seharusnya di masa mendatang semangat seperti ini pun penting untuk terus diusahakan.

Saya memang memahami ArtJog sebagai sebuah acara yang lebih mengedepankan presentasi karya yang bisa dinikmati banyak orang, di mana orang merasa senang dan mendapat kesempatan membuat foto diri dalam sebuah ruang yang lebih berbudaya serta menjadi bagian dari kerumunan besar. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah di masa depan penyelenggara dan kurator punya keinginan juga menawarkan karya-karya yang lebih sesuai dengan isu kontemporer dan mendorong pengunjung untuk berefleksi lebih dalam?

Alia Swastika, Pengamat Seni Rupa


Pohon Maja Yoko Ono

Pohon maja (Aegle marmelos) setinggi kira-kira enam meter itu tertanam hanya beberapa langkah dari pintu masuk. Pohon itu ditempatkan di dalam Green Flux, kerangka besi berbentuk bola setinggi 12 meter. Dari luar, seni instalasi itu terlihat seperti kubah yang ditumbuhi tanaman. Tiap pengunjung yang datang wajib menukar tiketnya dengan secarik kertas kepada petugas jaga. Mereka lantas menuliskan harapan di sana, lalu menggantungnya di dahan dan ranting pohon.

"Saya berdoa agar anak-anak sehat selalu," kata Bayu Wuri, seorang pengunjung. Lelaki 29 tahun ini memperlihatkan kertas yang baru saja digantungkan di pohon tersebut. Di kertas itu, tertulis nama dua anaknya, Amul dan All. "Itu nama panggilan mereka."

Wish Tree merupakan karya Yoko Ono, seniman asal Jepang, yang terpajang di ArtJog. Janda mendiang John Lennon, vokalis The Beatles, itu membuatnya pertama kali pada 1981. Tentu ide ini berasal dari tradisi di Jepang. Bila mengunjungi Meiji Jingu, kuil Meiji di Tokyo yang lokasinya dekat dengan Harajuku dan Yoyogi Park, kita akan melihat di pelataran dalam kuil Shinto tersebut, di sisi kanan, ada sebuah pohon besar. Di situ, pengunjung dari berbagai negara dipersilakan menuliskan harapannya di atas sebuah bahan kayu sebesar notes. Lalu tulisan itu digantungkan di pagar yang mengelilingi pohon. Kita akan melihat tulisan dari berbagai bahasa. Rata-rata tulisan itu cukup panjang dan personal, dari yang meminta agar sakitnya sembuh sampai agar cintanya kepada sang kekasih diterima.

Wish Tree telah dipamerkan Ono di berbagai negara. Di tiap negara, pohon yang digunakan selalu berbeda. Ono selalu menggunakan pohon lokal. Di Indonesia kali ini, pohon berbuah pahit itulah yang terpilih. Kertas berisi catatan harapan dari seluruh dunia itu lantas dikumpulkan dan dikuburkan di bawah lantai Imagine Peace Tower, monumen perdamaian yang ia dirikan di Islandia. Pada hari-hari tertentu, lampu sorot syahda dipancarkan dari monumen ini ke angkasa—untuk mengirimkan harapan itu ke "dunia langit".

Ono lahir di Tokyo pada 18 Februari 1933. Ia putri aristokrat kenamaan di Jepang, Eisuke Ono. Pada 1940, keluarganya pindah ke New York, Amerika Serikat. Ia mulai belajar seni pada usia 18 tahun di Sarah Lawrence College. Kariernya sebagai seniman melambung setelah ia menikah dengan John Lennon. Ono tercatat sebagai salah satu seniman yang mempopulerkan Fluxus, gerakan menolak seni elitis dan hegemoni museum atas nilai karya. Gerakan ini sekaligus berusaha membawa seni kepada publik lewat interaksi secara langsung.

Ono menandai aktivitasnya sebagai seniman Fluxus lewat karyanya, Cut Piece (1964). Dalam penampilan pertamanya di Sogetsu Art Center Tokyo, ia berjalan ke tengah panggung dengan pakaian terbaiknya. Ia lalu duduk bersimpuh dan mengundang penonton untuk menggunting pakaiannya sampai ia telanjang. Sayang, Ono tak bisa hadir di Yogyakarta. Ia sudah tua. Umurnya 82 tahun kini.

Ide mendatangkan karya Ono, kata kurator ArtJog, Bambang "Toko" Witjaksono, bermula ketika Kartika Sukarno, putri bekas Presiden RI Sukarno, datang ke pembukaan ArtJog pada 2014. "Ternyata Kartika kenal Jorg Starke, kolektor karya Ono," ujarnya. Dari situ, ArtJog mendapat akses meminjam karya-karya Ono.

Wish Tree bukanlah satu-satunya karya Ono yang terpajang di ArtJog 8. Karya Ono yang lain di antaranya Sky TV. Dibuat pertama kali pada 1966, inilah salah satu contoh awal video instalasi dan karya video Ono. Karya ini menampilkan gambar langit di layar monitor. Di ArtJog 8, Sky TV menampilkan pemandangan langit secara real time. Tampilan visualnya berasal dari pantauan satu unit kamera pengintai (CCTV) yang dipasang di atap gedung Taman Budaya. Juga ada karya Ono Box of Smile (1967), sebuah kotak kecil berbahan perunggu dengan kaca di dalamnya. Kotak ini diproduksi sebagai cenderamata serta Promise Piece, potongan puzzle berbahan resin dan bagian dari lembaran besar mural bergambar langit. Lalu ada A Key to Open a Faded Memory (2005), kunci kecil yang didedikasikan untuk proyek Imagine Peace Tower. Juga Imagine Peace (2009), kertas stensil berukuran 21 x 30 sentimeter bungkus pensil warna yang hanya dibuat 881 edisi. Lalu ada botol berisi secarik kertas bertulisan "Remember" (1999) dan karya fotografi hitam-putih.

Menurut ko-kurator ArtJog, Ignatia Nilu, tampak Ono sangat berminat pada langit dan perdamaian. Semua itu tak lepas dari kondisi Jepang setelah Perang Dunia II, yang porak-poranda. Hanya indah pemandangan langit yang tersisa.

Anang Zakaria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus