Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada perubahan yang menggembirakan menyusul gonjang-ganjing dana nonbujeter Bulog dan sumbangan Sultan Brunei. Kamis pekan lalu, Menteri Keuangan mengumumkan rencana pemerintah untuk segera menertibkan dana-dana yang tidak masuk dalam neraca anggaran itu. ”Termasuk sumbangan Sultan Brunei itu harus disetorkan ke kas negara,” kata Menteri Keuangan Bambang Sudibyo.
Berdasarkan instruksi presiden bernomor 4 Tahun 2000, dana nonbujeter itu sudah harus masuk ke rekening negara paling lambat 10 Juli mendatang. Jika sampai batas waktu itu belum juga disetorkan, pemerintah akan menugasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pemeriksaan rekening yang bersangkutan. Tindakan pembangkangan itu, kata Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga, ”bisa dikategorikan penggelapan.”
Tidak ada instansi yang luput dari peraturan itu. Menurut Bambang Sudibyo, semua instansi pemerintah, termasuk instansi militer, Mahkamah Agung, sampai Sekretariat Negara, diharuskan mengirim dana itu ke dalam Rekening Khusus Penerimaan Negara (RKPN).
Dana gelap itu sendiri, seperti diakui Menteri Keuangan, masih sulit diketahui jumlah pastinya. ”Saya bahkan tidak tahu berapa dana nonbujeter di Departemen Keuangan, mungkin menteri lain juga tidak tahu,” ujarnya. Namun, dari data yang masuk ke Dirjen Anggaran, saldo sampai 30 April 2000 jumlah yang masuk berdasarkan penghitungan penerimaan negara bukan pajak baru Rp 175 miliar. ”Jumlah itu belum termasuk dana reboisasi Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan dana nonbujeter Bulog,” ujar Anshari Ritonga.
Di Bulog sendiri, menurut hasil audit BPKP, masih ada sekitar Rp 2,7 triliun yang tidak masuk dalam neraca anggaran. Instansi lain, seperti Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan, ataupun Departemen Kehutanan juga masih menyimpan dana nonbujeter itu.
Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Nurmahmudi Ismail, mengaku bahwa jumlah dana reboisasi saja saat ini ada Rp 7,7 triliun yang tersimpan di beberapa bank. Di luar itu masih ada dana nonbujeter. Menurut staf ahli Menteri Kehutanan, Suryama, salah satu dana tersebut diperoleh dari profisi sumber daya hutan, yang sekitar 5 persennya ditujukan untuk dana taktis menteri. ”Sampai April 2000 dana taktis menteri masih ada Rp 700 juta,” katanya kepada Setiyardi dari TEMPO.
Dana nonbujeter di berbagai instansi, karena tidak secara transparan dipertanggungjawabkan, menjadi salah satu biang korupsi yang parah di negeri ini. Namun, dalam sistem yang semuanya korup, bahkan dana bujeter tetap bisa dikorup. Karena itu, meski Nurmahmudi Ismail setuju dana reboisasi dimasukkan dalam RKPN, ia mengajukan syarat. ”Pengeluaran dana itu harus atas persetujuan Menteri Kehutanan dan Menteri Keuangan,” ujarnya. Selain itu ia juga mengusulkan agar tidak semua dana reboisasi masuk ke rekening Menteri Keuangan. ”Ide dasar dana reboisasi adalah dana untuk melestarikan hutan,” katanya.
Pada masa lalu, kata Nurmahmudi, uang hasil iuran dari membabat hutan itu dipakai untuk keperluan lain. Laporan hasil pemeriksaan tim penanggulangan korupsi Departemen Kehutanan tahun 1999 mencatat penggunaan dana reboisasi melenceng jauh dari tujuan semula. Bahkan, ada dana Rp 80 miliar yang dipakai untuk jaminan pinjaman sebuah perusahaan swasta PT Ario Seto Wibowo, milik Keluarga Cendana.
Anggota DPR dari Golkar, Paskah Suzetta, membenarkan langkah Nurmahmudi. ”Jangan semua ditarik ke Menteri Keuangan, karena konteks dana reboisasi adalah untuk kepentingan Departemen Kehutanan melakukan reboisasi hutan,” katanya. Hal itu diperlukan untuk mempermudah birokrasi dan mempercepat Departemen Kehutanan melakukan pembayaran. Meski begitu, menurut Paskah, penggunaan dana di departemen terkait terlebih dahulu harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Soal Departemen Kehutanan hanya salah satu. Berhasilkah instruksi presiden untuk menarik semua dana gelap itu? Tidak jelas. Bukan hal mudah melacak dana nonbujeter. Selain tidak ada ”hitam putih” penggunaan dana tersebut, keberadaannya juga tidak sepenuhnya bisa dilacak.
Selain itu, belum tentu upaya itu didukung oleh semua menteri yang berasal dari berbagai partai itu. Tidak tertutup kemungkinan, di antara mereka secara diam-diam justru ingin mempertahankan. Maklum, dana nonbujeter bisa dikeruk untuk kepentingan politik tanpa harus dipertanggungjawabkan, dan aman.
Johan Budi S.P., Ardi Bramantyo, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo