Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yogo Harsaid
Guru di SMK Negeri 41 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir setengah hidup Rosa Luxemburg (1871-1919) didedikasikan untuk melawan ide-ide kapitalisme. Ia konsisten memperjuangkan tegaknya sosialisme. Dede Mulyanto, pengajar di Universitas Padjadjaran, menggambarkan perlawanan tanpa henti tokoh perempuan sosialis asal Jerman itu dalam bukunya berjudul Rosa Luxemburg Buku 1: Sosialisme dan Demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rosa adalah salah satu tokoh gerakan buruh Jerman yang lahir di Polandia pada 5 Maret 1871. Ia meninggal dengan cara mengenaskan. Pada 15 Januari 1919, ia bersama koleganya di politik, Karl Liebknecht, diculik, disiksa, dan dihujani peluru. Mayatnya dibuang ke sungai dan baru ditemukan beberapa bulan kemudian.
Ia pemikir Marxisme dan antimiliterisme. Sejak muda, ia sudah aktif dalam dunia politik di Polandia. Pada 1889, ia pindah ke Swiss. Di sana, ia belajar ilmu alam, ekonomi, dan hukum di Universitas Zurich. Ia adalah pemegang gelar doctor juris publici et rerum cameralium dari Fakultas Hukum Universitas Zurich.
Pada 1898, Rosa pindah ke Jerman dan kemudian bergabung dengan Partai Demokrat Sosial atau Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD). Namun, karena sikapnya yang kritis dan antiperang, ia bersama Karl Liebknecht hengkang dari partai itu. Mereka bergabung dengan Partai Demokrat Sosial Independen Jerman (USPD).
Rosa dengan lantang melawan argumen salah seorang anggota senior SPD, Eduard Bernstein, perihal keruntuhan kapitalisme. Bagi Bernstein, kontradiksi yang terjadi dalam tubuh kapitalisme bisa memudar, bahkan lenyap. Kapitalisme sudah memiliki "sarana adaptasi" agar kontradiksi antarkapital, yang terdapat dalam kapitalisme, tidak berbenturan (hlm 82). Dampaknya adalah, krisis bisa teratasi.
Salah satu sarana adaptasi kapitalisme adalah sistem kredit atau utang-piutang. Melalui sistem kredit, kaum kapitalis bisa mendapatkan modal lebih untuk produksi. Produksi yang berlimpah memungkinkan kaum kapitalis untuk terus mengekspansikan produk-produknya, menyebarkan barang-barang hasil produksinya ke berbagai penjuru dunia yang sebelumnya tidak terjangkau.
Dengan kata lain, sistem kredit yang diakumulasikan melalui saham gabungan para individu ini dapat meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya juga bisa menyebabkan kelebihan produk. Surplus produksi inilah yang nantinya akan menjadi penyebab terjadinya ekspansi produk-produk.
Namun, bagi Rosa, kelebihan produksi bisa menyebabkan krisis. Produk-produk yang tidak terjual pada akhirnya menumpuk. Hal ini membawa dampak kerugian bagi perusahaan. Dalam kondisi demikian, para kreditor tak bisa berbuat banyak untuk mengatasi krisis kelebihan produksi tersebut.
Hal itu gamblang terjadi di Indonesia, khususnya ketika krisis 1998. Banyak perusahaan yang mengandalkan utang sekaligus melakukan ekspansi besar-besaran pada akhirnya mengalami kebangkrutan. Sistem kredit tak bisa membantu kapital keluar dari krisis. Bahkan, dalam beberapa kasus, beberapa lembaga kreditor memanfaatkan situasi dengan melipatgandakan bunga utang (hlm 89).
Rosa juga memiliki argumen berbeda dengan Bersntein soal kartel. Menurut Bersntein, melalui asosiasi, kartel, dan kongsi, para kapitalis saling bekerja sama. Adanya kerja sama dapat meminimalkan persaingan antarkapitalis, sehingga meminimalkan terjadinya krisis atau kerugian. Namun, menurut Rosa, kartel menjadi tidak berdaya tatkala produk atau jasa yang dijual tidak laku di pasar, sehingga tertimbun dan berpotensi menimbulkan krisis.
Perlawanan Rosa berlanjut dalam ide-ide demokrasi. Bagi Bernstein, demokrasi adalah sarana sekaligus tujuan demi tercapainya sosialisme. Bersntein meyakini, hanya dengan sistem demokrasi, sosialisme bisa terwujud. Sebab, dalam demokrasi, pemerintahan berwatak kelas akan pupus sehingga keadilan bisa tercapai.
Menurut Bersntein, bila kita menerima demokrasi, kita juga mesti menerima kapitalisme. Kapitalisme lahir dari pemberontakan kaum borjuis yang memperjuangkan demokrasi atau kebebasan. Jadi, kapitalisme dan demokrasi saling bertaut sehingga kapitalisme tidak akan runtuh.
Salah satu yang diperjuangkan dalam demokrasi adalah hak universal-termasuk kelas pekerja-untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Namun hak universal tersebut tak menjamin bisa menyejahterakan kelas pekerja. Ini dibuktikan dari negara-negara yang memperjuangkan demokrasi pada akhir abad ke-19 (hlm 124).
Di Prancis pasca-revolusi, beberapa kali kaum borjuis menekan hak pilih kelas pekerja. Di Jerman pasca-revolusi 1848, kaum borjuis hanya mendukung gerakan kelas pekerja terkait dengan penyatuan fiskal dan moneter. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa semua dukungan kaum borjuis terhadap gerakan kelas pekerja, pada akhirnya, hanya demi keuntungan perusahaan-perusahaan yang dikelola kaum borjuis.
Pada 1893 di Belgia, kaum borjuis mendukung gerakan kelas pekerja hanya karena melihat sudah lemahnya kekuatan militer dan geopolitik, yang bisa berdampak buruk bagi perekonomian kaum borjuis. Pada 1896, di Austria, kaum borjuis mendukung kelas pekerja karena sudah melihat lemahnya sistem monarki.
Berbagai peristiwa di atas sudah cukup menunjukan kelemahan dan kepicikan kaum kapitalis. Kapitalisme lemah ketika krisis ekonomi melanda, bahkan beberapa krisis disebabkan oleh kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme juga licik ketika menunggangi demokrasi demi keuntungan kaum kapitalis.
Rosa Luxemburg Buku 1: Sosialisme dan Demokrasi
Penulis : Dede Mulyanto
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan I : 2019
Tebal : 253 halaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo