BERBEDA dengan Krido Mardowo yang telah mempersiapkan diri sejak
pertengahan April, wayang orang Sriwedari dari Surakarta
tenang-tenang saja. Mereka tidak memerlukan banyak keringat
tambahan. Rombongannya yang didukung oleh 42 pemain (30 putera
12 puteri) dengan 3 ofisial mementaskan lakon "Bismo Gugur",
"Abimanyu Ranjab", "Gathutkaca Krama", "Gathutkaca Gugur" --
yang pukul rata sudah pernah mereka mainkan. Setiap nomor akan
makan waktu 3 jam.
Sriwedari adalah kompleks hiburan rakyat di Sala yang semula
menjadi bagian teritorial Kraton Surakarta. Sejak tahun 1957
dioper oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pemain-pemain kawakan
W.O. Sriwedari masih terasa berbau kraton karena nama pemberian
yang mereka terima. Sebagaimana diketahui, kraton suka
membagikan pangkat-pangkat seperti "Harjowibakso" dan
"Ronowibakso" -- yang tingkatnya sama dengan lurah. Misalnya
saja gelar pada pemain kawakan yang tersohor seperti
"Ronowibakso" Soerono dan "Harjowibakso" Roesman.
Harjowibakso Roesman -- yang dari zaman ke zaman tersohor
sebagai pemain Gathutkaca -- kini sudah berusia 52 tahun.
Pamornya tidak hanya di sekitar Sala. Isterinya juga beken:
Darsih -- seorang pemain wayang orang kelas satu -- yang top
untuk peranan Srikandi. Roesman memegang peran paling utama dari
4 nomor yang dipilih untuk Jakarta. Pilihan yang tepat,
mengingat kalibernya.
Bagi Roesman wayang orang adalah sawah ladang. Orang tuanya
seorang budak Belanda, tak mampu membiayai pendidikan Roesman.
Ia hanya sempat mengenyam kelas V SD. Dan karena sulit bekerja
tanpa ijazah, Roesman terjun ke wayang orang. Bermula ia hanya
melihat-lihat, akhirnya timbul kecintaan. Ia naksir hidup pemain
wayang yang cukupan dan terutama tidak membudak seperti
bapaknya. Jadi, main wayang pada awalnya dan kemudian pada
akhirnya, bagi Roesman tidak hanya menyalurkan kesenangan. Kini
ia membiayai hidup 7 orang anak. Salah satu anaknya sudah di
Perguruan Tinggi. Bila ia bertekad untuk main sampai mati, tentu
saja bukan karena cinta pada keharuman namanya.
Setidak-tidaknya, di samping itu, adalah karena wayang orang
sudah menjadi sumber hidup keluarga. Ia seorang profesional.
Karir Roesman sebagai penari dimulai sejak Jepang, 1942. Kini
honornya sebagai pemain agaknya cukup memadai -- meskipun ia tak
sudi menyebutkan secara terus terang berapa. Ia hanya mendapat
tekanan batin, karena menurut Roesman, pemain wayang sering
dihina atau dianggap remeh. Maka Gathutkaca ini pun selalu ingin
membuktikan -- terutama kepada yang menghinanya -- justru wayang
itulah yang menjadi sumbernya membiayai anak sekolah. Dan karena
wayang itulah Roesman dapat kesempatan melihat Amerika, Jepang,
Filipina, Birma, Singapura ....
Ronowibakso Soerono, 48 tahun, yang banyak menjalankan fungsi
sutradara juga hanya sampai kelas VI SD. Tidak tamat. Tapi ia
menaruh kepercayaan besar pada pekerjaannya karena itu dapat
menjadi andalan keluarga. "Mencari kehidupan bahagia itu bukan
hanya mencari nasi saja, tapi yang pokok mencari nama lebih
dulu. Kalau nama sudah beken, bahagia akan datang sendirinya,"
ujar Soerono yang biasa jadi kera di atas pentas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini