Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesta Penghabisan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Damhuri Muhammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila hari-hari kalian hanya menunggu dan menunggu, apa bedanya kalian dengan calo terminal? Menanti-nanti bus tiba, bersamaan dengan menunggu calon penumpang yang akan kalian rayu agar mau berangkat dengan bus itu. Sementara kalian tak beranjak dari sana, menghabiskan umur di terminal itu. Begitu ia menghadang kenyinyiran. Kapan saya bakal mendapat jodoh? Kapan aku kaya? Kapan mantanku kembali? Dan sederet pertanyaan yang bila ia jawab, hanya akan membuat mereka semakin menderita dalam penantian.
“Saya bukan peramal. Kebetulan saja ada sedikit kepandaian dalam membaca sasmita Tuhan,” katanya kepada seorang fan berat FC Barcelona, sekali waktu. Fan bernama Agus Khaidir itu tak henti-henti bertanya, kapan Barca akan kembali berjaya? Pada masa itu, Barca memang lebih banyak menyulut duka lara ketimbang sorak-sorai perayaan kemenangan atas laga-laga penting. Meski ia kerap diremehkan dengan gelar penujum amatir, setidaknya dari lima pertandingan yang dipasang dengan taruhan besar, dua kali prediksinya jitu. Itu sebabnya para petaruh tak dapat sungguh-sungguh mengabaikannya. Seburuk-buruknya tebakan penujum amatir, ia tetap lebih dipercaya ketimbang pengamat profesional yang kebanyakan teori.
“Akan tiba saatnya kalian tak sempat lagi menanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyol itu. Aku telah melihat tanda-tanda. Kenyinyiran kalian kelak akan menggumpal menjadi satu pertanyaan saja: Kapan wabah akan berhenti?” kata penujum amatir itu.
Itulah perjumpaan terakhir Alpin Topler dengan para pemburu ramalan. Para jomblo kehilangan tempat bertanya, komplotan penganggur kehilangan harapan, dan kaum petaruh bola bagai digilas gelombang kekalahan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Sejak Alpin Topler, si penujum amatir, menghilang dari kota itu, uang taruhan bagai mengalir ke sebuah kanal besar, lalu menumpuk di meja bandar. Derita kekalahan demi kekalahan bagi fan berat FC Barcelona lebih meletihkan daripada mematahkan batang hidung pendukung Real Madrid. Banyak yang menaruh curiga, raibnya Alpin Topler tak lepas dari konspirasi bandar judi bola guna mengembalikan bursa taruhan pada tatanan normal. Buktinya, beberapa petaruh yang pernah menang besar karena mengikuti prediksi Alpin Topler, kepesertaannya ditangguhkan. Bahkan ada akun taruhan yang diblokir tiada ampun.
Kecurigaan itu sebenarnya jauh dari kenyataan. Alpin Topler pergi atas kemauan sendiri. Bukan karena ancaman, apalagi sogokan bandar. Beberapa bulan setelah kepergiannya, fan Barca yang lain menemukan jejaknya di kota yang berjarak lebih-kurang 150 kilometer dari tempat bermukimnya Agus Khaidir cs. Dari temuan tak sengaja itu, diperoleh keterangan bahwa penujum amatir ini tidak lagi menggunakan ketajaman penglihatannya guna membaca tanda-tanda, karena ia telah beralih pekerjaan menjadi semacam pengepul data, entah untuk kepentingan apa.
“Apa mungkin ia bekerja sebagai surveyor bagi kontestan pilkada?” tanya Agus Khaidir lewat pesan pendek.
"Ndak ada urusannya dengan pilkada! Alpin Topler mengumpulkan data-data aneh.”
“Maksudmu data gaib?”
“Kalau dari dunia gaib, namanya kuntilanak. Bukan data, tolol.”
Di kota itu, konon ia tinggal untuk beberapa minggu, sesuai dengan agenda pesta yang telah ia catat dan perlu ia datangi. Saat pesta usai, Alpin Topler tiba dengan kalkulator sayur di tangan. Ia mendata tamu-tamu yang bahagia, dengan cara mengendus-endus jejak sepatu. Setelah pengendusan maksimal, kalkulator akan bekerja, lalu hasil akhirnya dipindahkan ke buku catatan. Alpin Topler juga menghitung jumlah tamu yang baper. Di pesta perkawinan mantan, misalnya, munafik bila tidak luka, meski di permukaan tampak riang saja. Tak luput pula tamu yang takut karena datang menggandeng pasangan serong. Bagaimana kalau ada yang memotret, lalu fotonya nongol di dinding Facebook atau Instagram? Data-data itu ia himpun dengan membaca jejak tangan saat memegang gelas. Sekilas metodenya seperti anggota tim forensik saat memeriksa TKP kasus jatanras. Sebelum pamit, ia memperlihatkan statistik sederhana kepada kapten tim wedding organizer. Tabel kecil dengan varia belantara lain: jumlah tamu bahagia, tamu pura-pura gembira, tamu cemburu. Ia tunjukkan pula kurva yang memvisualkan tren kepuasan tamu berdasarkan durasi kehadiran. Para kru wedding organizer menamainya “Pengepul Sisa Pesta”. Bukan sisa-sisa hidangan, melainkan remah-remah kenangan.
Begitulah Alpin Topler mengembara dari kota ke kota, dari pesta ke pesta. Di kota lain, yang semakin jauh dari markas Agus Khaidir cs, diperoleh pula jejak yang menjelaskan bahwa, setelah tuntas menggunakan modus pengumpulan data yang sama di pesta yang ia kunjungi, surveyor abal-abal itu berhadapan dengan seorang biduanita sewaan wedding organizer.
“Untuk apa kau membuat statistik itu?” tanya biduanita bernama Rince Romance itu saat berbenah sebelum pulang.
“Sudah berkali-kali aku mengamatimu. Di setiap panggungku di kota ini, kau selalu ada. Tolong katakan apa guna statistik itu, Kawan!” Rince Romance mengulang.
Pengepul Sisa Pesta tak bisa mengelak. Akhirnya, ia menjelaskan kepada Rince Romance bahwa sore itu adalah kunjungannya yang ke-235. Datanya telah sempurna.
“Ini pesta terakhir! Statistik ini akan menjadi nostalgia. Kau akan memerlukannya. Ambillah!” kata Alpin Topler kepada Rince Romance.
***
Lokasi perjumpaan Alpin Topler dan Rince Romance adalah pesta penghabisan di kota itu. Selepas itu, wabah merajalela. Wali Kota mati. Keluarga dan orang-orang dekatnya dikurung di rumah sakit yang dirahasiakan. Disebut-sebut penyebaran wabah mematikan itu bermula dari kerumunan di sebuah pesta pernikahan. Pihak berwenang memaklumatkan, segala bentuk pesta dan yang bukan pesta (tapi mengundang kerumunan) sebagai kegiatan terlarang. Barang siapa yang mengabaikan surat edaran itu, akan dikirim ke sel isolasi, yang juga bersifat sangat rahasia.
“Tak ada resepsi, tak ada keramaian, apalagi dangdutan!” demikian pengumuman disuarakan lewat berbagai saluran.
“Bila ada yang berani melanggar, kalian tak akan melihat pesta untuk 10 tahun ke depan. Bahkan untuk syukuran khitanan sekalipun,” kata kepala kepolisian setempat dengan tegas.
Wedding organizer, penyedia catering, dan organ tunggal gulung tikar. Semua izin keramaian dibekukan. Rince Romance tidak bisa manggung lagi. Beruntunglah, ia pernah menerima pemberian Alpin Topler di pesta penghabisan. Setelah lama terkurung di rumah dengan tabungan pas-pasan, biduanita itu beralih pekerjaan menjadi penghibur para pencandu pesta. Ia membuat kanal podcast bernama Sisa-sisa Pesta. Setiap hari, statistik 235 pesta ia bacakan dengan gaya dan intonasi suara penyiar radio. Ia mengemas rekaman nostalgia pesta-pesta itu seperti cerita pengantar tidur. Pada bagian-bagian dramatis, Rince Romance setengah menyanyikannya dengan cengkok dangdut khas, hingga tersimak sebagai kenangan yang melenakan perasaan. Para pendengar terbuai oleh suara serak-serak basah mantan biduanita organ tunggal itu hingga mereka lupa pada kurva kematian akibat virus berbahaya yang tak kunjung landai. Selain rutin memutakhirkan konten podcast, sesekali Rince juga menggelar live IG, yang bisa mengundang 1-2 pemirsa untuk gabung mengobrol tentang serba-serbi kenangan tatkala pesta belum terlarang. Dari situlah Rince Romance dapat menyambung hidup di musim genting yang tak berkesudahan.
Di kota yang kesekian, yang sudah ribuan kilometer jaraknya dari kota tempat bermukimnya Rince Romance (tentu telah menjadi kota mati), Pengepul Sisa Pesta dilanda cemas yang tak terbahasakan. Stok konten podcast si biduanita hanya tersisa dua. Pemirsanya akan sakau. Tak akan terbendung. Pesta pasti digelar kembali. Dan itu akan berubah menjadi upacara pemakaman.
“Beri aku statistik baru, hai Pengepul Sisa Pesta!” Rince Romance memohon lewat surat elektronik.
“Statistikku kini hanya statistik kematian! Tak ada nostalgia pesta lagi, biduanita!”
“Bukankah masih ada kota yang kau singgahi setelah bertolak dari kotaku? Pasti ada pesta yang kau survei, pasti ada sisa pesta yang masih kau simpan.”
“Ya. Kota mati! Kota yang bagai mengundang warganya untuk mati berjemaah! Tak ada pesta lagi setelah pesta terakhirmu!”
“Tidak bisa, Topler! Kau akan mengirimkan statistik baru. Bila tidak, situasi menganggur akan membunuhku lebih dulu dari virus bedebah itu.”
***
Kegentingan yang melanda kota tempat tinggal Rince Romance juga dirasakan oleh Agus Khaidir di kotanya. Perkumpulan fan Barca sudah bubar. Sebagaimana pesta pernikahan, sepak bola juga terlarang. Andai laga-laga penting masih ada, Agus Khaidir mau bertaruh dengan apa? Masih bisa hidup saja sudah mujur. Di kota Agus Khaidir, wabah telah menulari ratusan ribu orang. Ribuan nyawa telah melayang. Dan yang paling ingin diketahui warga adalah kapan wabah akan berhenti? Kapan mereka bebas dari takut mati?
Agus Khaidir ingat betul percakapan terakhirnya dengan Alpin Topler. Kelak, kenyinyiran kalian akan menggumpal jadi satu pertanyaan saja: Kapan wabah akan berhenti? Bagi petaruh seperti Agus Khaidir, bila ada orang yang bisa membaca tanda bakal ada marabahaya, pasti ia juga bisa membaca sasmita perihal kapan bahaya itu akan berlalu. Selain itu, warga tak percaya kepada pakar virus. Lebih tak percaya lagi kepada Menteri Kesehatan. Jawaban yang memuaskan hanya dapat diperoleh dari penujum amatir yang entah ke mana bakal dicari.
Namun sahabat sesama penggila sepak bola yang tergabung dalam perkumpulan Madridista di kota yang jauh, mengklaim telah menemukan Alpin Topler.
“Kau bisa dibaiat menjadi nabi bila muncul dalam situasi genting ini!” kata pentolan Madridista itu kepada Alpin Topler. “Anak buah Agus Khaidir sedang bekerja keras menemukan keberadaanmu,” ucapnya lagi.
“Sampaikan kepada Agus Khaidir, tinggalkan Barca, tim payah itu! Bubarkan Barca Fans Club, lalu proklamasikan kelompok mereka sebagai Madridista pemula. Akan kuberi tahu kapan pandemi berakhir,” kata Alpin Topler. Serius.
Begitulah kabar yang akhirnya sampai ke telinga Agus Khaidir. Ia tahu, kabar itu hanya siasat busuk pendukung Real Madrid, musuh Barca dunia-akhirat. Jauh sebelum kabar dusta itu tiba, Agus Khaidir sudah menerima info valid bahwa penujum amatir terinfeksi virus setelah ia berjumpa dengan biduanita bernama Rince Romance. Ia hanya dapat singgah di dua kota setelah pesta penghabisan itu. Kondisi Alpin Topler kian lemah, nyawanya tak terselamatkan. Ia meninggal dalam kesendirian sebelum dapat menyampaikan tanda-tanda perihal kemungkinan pandemi akan berhenti.
“Madridista keras kepala! Andai penujum amatir masih hidup pun dan ia meminta kami beralih menjadi pendukung Real Madrid, kami tak bakal goyah!” Agus Khaidir menggertak dalam percakapan via telepon.
“Lebih baik mati dibunuh virus ketimbang menfanakan musuh yang kekal!”
“Oh, terserah! Saya hanya menyampaikan apa yang perlu disampaikan.”
“Madridista licik! Alpin Topler sudah mampus, dan kalian akan menyusul.”
Depok, 2020
-----------------------------
Damhuri Muhammad. Cerpenis, kolumnis, dan pengajar di Universitas Darma Persada, Jakarta. Tinggal di Depok, Jawa Barat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo