Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA calon anggota legislatif inkumben yang menyelewengkan anggaran negara untuk kampanye politik jelas melakukan perbuatan culas. Tak hanya menabrak etika, pemakaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kepentingan pencalonan sebagai anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2014 merupakan pelanggaran hukum. Uang negara itu dialokasikan untuk menjalankan program pemerintah, bukan program politik perorangan dan partai politik.
Bila penyelewengan anggaran itu dilakukan secara terorganisasi, tingkat kebejatannya tentulah berlipat ganda. Misalnya sejak tahap perencanaan anggaran di DPR. Melalui kongkalikong antara legislator dan para petinggi di kementerian tertentu yang satu partai, mereka mengarahkan dana proyek kementerian untuk mendukung kegiatan partai, seperti kampanye calon legislator. Hak bujet anggota legislatif digunakan untuk mengemas alokasi dana yang bisa menguntungkan partai atau pribadi.
Pos anggaran yang "fleksibel" digunakan untuk kampanye adalah yang dialokasikan buat program sosial, seperti bantuan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok. Penelitian Indonesia Corruption Watch memperkuat dugaan itu. Menurut temuan ICW, alokasi dana bantuan sosial tahun anggaran 2013 meningkat dari tahun sebelumnya: dari Rp 18 triliun menjadi Rp 73,6 triliun. Dana itu termasuk pos bantuan sosial 10 kementerian yang para menterinya merupakan kader partai politik.
Persoalan sumber dan penggunaan dana kampanye memang selalu menjadi kontroversi. Mahalnya modal politik membuat banyak kader partai berakrobat mencari dana dengan berbagai cara, termasuk dari APBN. Sedangkan peraturan yang ada tidak tegas mengatur halal dan haram dana politik. Misalnya, Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2013 tentang dana kampanye tak mengatur batasan dana kampanye bagi calon legislator DPR dan DPRD.
Untuk memotong lingkaran setan ini, perlu penataan dari hulu dengan menutup kemungkinan APBN diselewengkan untuk dana politik partai dan perorangan. Caranya, kewenangan DPR menggunakan hak bujet dikembalikan dalam konteks pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Dengan cara ini, DPR, melalui Badan Anggaran-yang kini menjadi permanen-tak lagi bisa mengacak-acak anggaran demi kepentingan partai politik atau bahkan pribadi. Munculnya kasus dugaan korupsi yang dilakukan anggota Badan Anggaran menjadi bukti bahwa hak bujet para legislator rawan rasuah.
Untuk penanggulangan di hilir, lembaga-lembaga berwenang yang menangani pemilihan umum perlu kreatif "menangkap" calon anggota legislatif yang nakal. Komisi Pemilihan Umum, yang sudah memiliki peraturan pelaporan dana kampanye calon anggota legislatif ke KPU setempat, bisa membuat kesepakatan dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, untuk menjerat calon legislator dengan Undang-Undang Pencucian Uang.
Badan Pengawas Pemilihan Umum perlu bekerja sama dengan publik dan lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemilihan umum bersih. Kontrol publik di lapangan bisa menjadi cara efektif menjerat calon legislator curang. Kampanye "anticaleg dengan dana haram", misalnya, bisa dilakukan menjelang Pemilu 2014. Dibantu jaringan media sosial, pengawasan melekat bagi calon legislator pencoleng duit negara ini bisa lebih efektif.
berita terkait di halaman 44
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo