Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Politik di Tengah Diskriminasi Suku Bajo

Hiruk-pikuk Pemilu 2024 juga menjamah permukiman suku Bajo di tengah lautan di Sulawesi Tenggara. Apa saja janji para caleg?

18 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Baliho calon anggota legislatif suku Bajo di perkampungan Bajo Sampela di Desa Sama Bahari, Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hiruk-pikuk Pemilu 2024 juga menjamah permukiman suku Bajo di tengah lautan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

  • Para calon legislator berjanji memperjuangkan perbaikan kondisi permukiman suku Bajo, yang tertinggal jauh ketimbang permukiman masyarakat di daratan.

  • Tak hanya janji manis, ada juga caleg yang datang dengan ancaman merusak lahan permakaman suku Bajo.

Seperti di kota-kota besar, demam baliho dan spanduk bergambar calon anggota legislatif dari berbagai partai politik mewabah di perkampungan suku Bajo di perairan Wakatobi, di perbatasan Laut Flores dan Laut Banda. Lihat saja jalan-jalan setapak di depan rumah panggung berdinding kayu dan atap daun kelapa di Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu. Semua penuh dengan alat kampanye menjelang Pemilu 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkampungan yang disebut Bajo Sampela itu berdiri di atas laut yang beralaskan karang, terpisah dari daratan. Untuk mencapai lokasi itu, butuh dua jam pelayaran menggunakan kapal kayu dari Pulau Wangi-wangi, ibu kota Wakatobi. Dari Kendari ke Wangi-wangi, perjalanan memakan waktu 13 jam menggunakan feri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, caleg Partai Bulan Bintang untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Erni, terlihat sibuk berkeliling di permukiman suku Bajo tersebut bersama suami dan tim suksesnya. Mereka juga memasang baliho dan spanduk di perkampungan lain di wilayah Wakatobi. Erni merupakan keturunan suku Bajo yang berkontestasi dalam Pemilu 2024 bersama belasan orang Bajo lainnya.

Caleg 44 tahun ini merupakan satu dari sedikit perempuan Bajo yang memegang gelar master—lulusan pascasarjana jurusan kajian budaya di Universitas Halu Oleo, Kendari, dan sedang menjalani studi doktoral di Universitas Negeri Jakarta. Dia juga menjadi Ketua Persatuan Orang Bajo Seluruh Indonesia.

Erni mengklaim telah menyuarakan kepentingan masyarakat Bajo sejak 2014, yakni memperjuangkan agar masyarakat Bajo memiliki sertifikat kepemilikan wilayah di laut untuk meminimalkan sengketa. “Aspirasi kami ditertawakan,” kata Erni ditemui di Kampung Bajo Sampela pada Kamis, 11 Januari lalu.

Ini ketiga kalinya Erni maju sebagai caleg, setelah gagal dalam dua pencalonan terdahulu. Dia tidak kapok karena terpecut oleh perlakuan tidak adil yang dialami masyarakat suku Bajo yang bermukim di laut yang kondisinya timpang dibanding mereka yang tinggal di daratan.

Erni mencontohkan buruknya akses pendidikan menyebabkan banyak orang Bajo putus sekolah dan buta huruf. Untuk bisa bersekolah, sebagian anak-anak Bajo harus menempuh perjalanan ke daratan menggunakan kapal. Bila air laut sedang surut, anak-anak kesulitan berangkat sekolah sehingga terpaksa bolos.

Warga perkampungan suku Bajo pun kesulitan mendapatkan layanan air bersih. Di Kampung Bajo Sampela, misalnya, pipa air tawar rusak sejak 2022. Dampaknya, mereka harus berlayar sekian jam ke daratan demi mendapat air bersih.

Baliho calon anggota legislatif suku Bajo di Perkampungan Bajo Mola di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 11 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Di Perkampungan Bajo Mola—sekitar dua jam pelayaran dari Kampung Bajo Sampela—spanduk dan baliho caleg juga menjamur. Warga Kampung Bajo Mola menyatu dengan warga yang tinggal di darat, yakni di Desa Mandati. Rumah-rumah di kampung ini terlihat lebih modern dengan akses jalan yang mudah dilalui sepeda motor.

Jumlah papan kampanye caleg di kampung ini lebih banyak dan terlihat berjubel. Baliho-baliho itu berimpitan dan nyaris menutupi halaman rumah warga. Salah satu warga yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif adalah Majarudin. Calon anggota Dewan untuk Kabupaten Wakatobi itu maju dari Partai Golkar. Alasan politik mantan Kepala Desa Mola Utara ini kurang-lebih sama dengan Erna, yaitu menghilangkan marginalisasi suku Bajo yang mengalami ketimpangan dibanding masyarakat di daratan.

Menurut Majarudin, suku Bajo selama ini ditempatkan sebagai warga kelas dua yang tidak punya kedaulatan mengelola rumahnya sendiri, yakni lautan. Untuk menempati satu pulau tertentu, dia melanjutkan, warga Bajo harus mengurus izin yang rumit.

Dia mencatat terdapat 800 keluarga yang tak punya rumah layak huni. “Kami hanya ingin tinggal di laut dan hidup layak tanpa diskriminasi,” ujar Majarudin.

Perkampungan Bajo Mola merupakan permukiman terpadat di Wakatobi. Populasinya mencapai 20 ribu jiwa yang sebagian di antaranya tergolong masyarakat miskin. Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam DDI Maros di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, ini bertekad memperjuangkan hunian yang layak bagi warga suku Bajo.

Majarudin mengatakan makin banyak orang Bajo yang tergerak menjadi politikus dengan harapan bisa memperbaiki kondisi saudara-saudara mereka. Di Perkampungan Mola saja, setidaknya ada 17 caleg dalam Pemilu 2024 ini. Naik banyak dibanding Pemilu 2019. “Semuanya menyuarakan masalah permukiman yang layak,” katanya.

Orang Bajo Mola, Majarudin melanjutkan, mulai berpolitik praktis dengan menempatkan wakilnya pada 2004. Saat itu ada satu caleg yang lolos ke DPRD Wakatobi. Pada pemilu selanjutnya, kembali ada satu perwakilan mereka di DPRD tingkat II. Namun, pada Pemilu 2019, tak ada caleg Bajo Mola yang lolos.

Kepala Desa Sama Bahari, Ganis, menyebutkan warga sadar bahwa mereka langganan menjadi komoditas politik setiap pemilu. Caleg beramai-ramai datang dan menawarkan setumpuk janji manis, termasuk pembangunan jalan dan penyediaan air bersih. Dalam sebulan terakhir, misalnya, Ganis bolak-balik mendapat panggilan telepon dari 20 caleg.

Ogah termakan janji palsu, Ganis menantang mereka dengan menyodorkan kontrak politik secara tertulis tentang perbaikan kondisi masyarakat suku Bajo. Di antaranya berupa jaminan pelindungan hukum saat mengambil kayu bakau di laut dan membantu penyediaan rumah layak huni.

Kampung Bajo Sampela memiliki luas 18,6 hektare yang dihuni 2.003 orang. Satu rumah panggung yang sempit bisa menampung delapan keluarga atau sekitar 24 orang. Para caleg itu enggan menandatangani surat perjanjian yang disodorkan Ganis. “Mereka, kalau sudah jadi wakil rakyat di darat, lupa lautan,” kata Ganis.

Ada juga caleg yang datang dengan ancaman. Ganis menunjukkan pesan WhatsApp dari seorang anggota tim sukses caleg yang akan mempersulit penguburan warga Bajo Sampela di Desa Lefuto—daratan terdekat yang berjarak 2 kilometer—bila tak mendukung caleg jagoannya.

Menurut Ganis, ancaman yang sama kerap muncul pada tahun politik. Misalnya, pada Pemilu 2014, seorang caleg mengancam akan mengerahkan massa untuk merusak kuburan orang Bajo di Desa Lefuto bila tak didukung. Caleg tersebut gagal meraih kursi di DPRD dan membuktikan ancamannya. Pada 2015, sebanyak 50 kuburan orang Bajo dirusak. Sekelompok orang mencungkil batu nisan dan memporak-porandakan kuburan tersebut.

Tempo melihat permakaman orang Bajo yang rusak setelah menyusuri hutan bakau di desa tersebut. Kuburan orang Bajo dipisahkan dari kuburan warga setempat menggunakan pembatas berupa patok-patok kayu. “Kuburan kami tak boleh dicampur dengan warga daratan,” kata Ganis.

Suku Bajo Sampela juga menjadi sasaran politik elektoral menjelang Pemilu 2024 dalam bentuk bantuan sosial tunai—yang dikritik karena menguntungkan calon presiden tertentu. Belum lama ini, pemerintah pusat menggelontorkan bantuan sosial El Nino kepada 222 penerima.

Menurut Ganis, pemerintah desa tak pernah dilibatkan dalam verifikasi data penerima. Walhasil, banyak yang salah sasaran. Dari 222 penerima, ada nama yang muncul dua kali, ada yang telah lama merantau, ada yang meninggal, dan ada juga warga yang berkecukupan. "Tiba-tiba bantuan itu ditransfer ke rekening warga, Rp 400 ribu per keluarga," kata Ganis. Dia telah melayangkan protes ke kecamatan, tapi tak ada hasilnya.

SHINTA MAHARANI (WAKATOBI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus