Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Proposal Mengubah Etika Jurnalistik

Di era digital ini, etika jurnalistik mengalami disrupsi. Peran jurnalis dan prinsip-prinsip jurnalisme sudah harus diubah.

6 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Disrupting Journalism Ethics:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU ini tergolong tipis untuk menawarkan suatu proposal penting, yakni mengubah etika jurnalistik dalam era jurnalisme yang berkembang secara digital. Ide perubahan ini muncul ketika jurnalisme bersaing dengan media sosial, dengan muatan yang dihasilkan masyarakat, dan tak kalah pentingnya, jurnalisme berhadapan dengan disinformasi yang menyebar tak terkendali.

Pembuat proposal ini adalah Stephen J.A. Ward, pengajar di University of British Columbia, Kanada. Ward juga salah satu pendiri Center for Journalism Ethics di University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, dan bekas Direktur Graduate School of Journalism di University of British Columbia.

Menurut Ward, etika media perlu diganti secara konseptual. Hal yang harus disesuaikan itu menyangkut peran jurnalis dan prinsip-prinsip yang mesti dievaluasi, khususnya yang terkait dengan masalah penyampaian kebenaran dan verifikasi. Ward juga mengistilahkan etika jurnalistik sekarang telah mengalami disrupsi atau gangguan. Apa bukti bahwa gangguan itu sudah menjalar ke etika jurnalistik saat ini? Menurut Ward, ketidaksetujuan atas sejumlah prinsip dalam etika jurnalistik merebak di mana-mana, dan etika jurnalistik sudah berubah dari model yang normal menjadi model yang revolusioner.

Revolusi yang dirujuk Ward itu adalah kemunculan tiga fenomena. Pertama, fenomena media digital yang memungkinkan masyarakat awam mempublikasikan karya jurnalistik dan mempraktikkan kegiatan jurnalistik. Kedua, kebangkitan populisme ekstrem dan kelompok-kelompok intoleran yang diperkuat teknologi masa kini yang membuat mereka menghasilkan misinformasi dan mengotori ruang publik. Ketiga, kemunculan ruang publik secara global.

Salah satu proposal yang diusulkan Ward adalah mengganti konsep obyektivitas jurnalis yang selama ini hanya sebagai penyampai fakta, dengan konsep yang dia sebut sebagai holistic or pragmatic objectivity. Dalam konsep ini, Ward melihat peran jurnalis yang lebih menyeluruh, yaitu sebagai agen yang memiliki tujuan pribadi dan tujuan sosial.

Ward menyebut peran jurnalis yang demikian itu sebagai democratically engaged journalist, yang dia katakan memiliki dua kutub komitmen. Pertama, jurnalis berkomitmen pada metode yang imparsial sebagai alat dari komitmen parsial mereka terhadap demokrasi yang egaliter. Kedua, jurnalis juga berkomitmen pada obyektivitas yang holistik—yaitu metode yang rasional dan obyektif untuk memutuskan apa yang bisa dipublikasikan dan bagaimana mempengaruhi masyarakat.

Ward mengatakan kondisi ruang publik saat ini sudah banyak tercemar oleh ideologi populisme ekstrem, propaganda yang dilakukan secara serampangan, fake news (berita palsu) yang ada di mana-mana, dan serangan-serangan kepada kelompok minoritas.

Untuk merespons situasi ini, Ward pun mengusulkan agar jurnalis berani menyebutkan siapa yang menyampaikan berita palsu dan apakah orang tersebut sering mengemukakan berita palsu. Jurnalis juga harus berani menantang orang tersebut untuk menunjukkan bagian dari laporan tersebut yang dia anggap salah. Ward juga menulis, obat yang paling mungkin untuk mengatasi berita palsu ini adalah mendorongnya kembali kepada penggunanya.

Melawan berita palsu juga bisa dilakukan dengan memperkuat proses periksa fakta yang dilakukan jurnalis, agar masyarakat tahu apakah pernyataan yang dikeluarkan politikus adalah fakta, setengah fakta, atau menjurus pada kebohongan. Lebih jauh, ia juga mengajukan ide bagaimana melawan berita palsu lewat suatu koalisi global yang bisa melibatkan jurnalis, akademikus, dan masyarakat untuk menghasilkan media yang akuntabel.

Untuk melakukan detoksifikasi terhadap ruang publik yang tercemar itu, tak mungkin individu dalam masyarakat atau jurnalis profesional melakukannya sendirian. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menanggulangi masalah ini. Sistem pendidikan harus mempersiapkan warga yang melek digital. Pemerintah dapat menekan media sosial untuk mengidentifikasi berita palsu dan menolak akun-akun yang rasis, juga perlu ada transparansi tentang siapa yang membayar iklan tertentu.

Dalam kesimpulannya, Ward menyebutkan, etika jurnalistik saat ini menjadi baru, lebih kompleks, dan lebih dalam konsepnya, yaitu etika global untuk komunikasi yang bertanggung jawab. Etika jurnalistik akan tetap relevan jika jurnalis terlibat secara aktif sebagai pembela kemanusiaan. Namun hal ini juga membutuhkan norma untuk memandu jurnalisme yang lebih interpretatif itu. Etika baru ini akan menjadi bagian dari studi akademis, bagian dari advokasi, serta bagian dari pelaksanaan di lapangan. Proposal ini layak dipertimbangkan dengan serius.

Ignatius Haryanto, pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong


 

Disrupting Journalism Ethics: Radical Change on the Frontier of Digital Media

Penulis : Stephen J.A. Ward

Penerbit : London & New York: Routledge, 2019

Tebal : 106 halaman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus